Mohon tunggu...
Mugi です
Mugi です Mohon Tunggu... Freelancer - manusia biasa

Sedang belajar

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Kutukan Pantai Viral (Bagian 3)

10 Juli 2024   21:53 Diperbarui: 16 Juli 2024   21:05 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Horor. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Mystic Art Design

Suasana riuh rendah penuh canda tawa langsung menyambut begitu Nina dan kedua orang tuanya keluar dari mobil. Anak-anak tampak berlarian di halaman yang menjadi tempat parkir dadakan itu. Sementara orang-orang dewasa tampak duduk sambil berbincang penuh semangat di berbagai bagian teras.

Nina mengekor ibu dan ayahnya menuju teras, menyalami orang-orang yang ada di sana, dilanjutkan memasuki rumah yang saat itu menjadi tuan rumah acara kumpul keluarga besarnya. Sepengetahuannya, acara tersebut rutin diadakan setiap bulan dengan salah satu agenda utamanya adalah arisan.

Dari pintu ruang depan, tampak ruang tamu yang cukup luas. Di dalamnya, terlihat kelompok-kelompok kecil ibu-ibu yang sedang asyik berbicara. Ada yang sedang bernostalgia tentang masa lampau, ada yang berbagi kabar terbaru tentang kehidupan mereka sekarang, tak sedikit pula yang pamer pencapaian suami atau anaknya.

"Lis... Aryo...," si tuan rumah langsung menyalami kedua orang tua Nina begitu ibu Nina mengucapkan salam.

"Ini Nina? Ya ampun... sudah besar ya...."

Nina tersenyum dan menyalami orang yang dipanggilnya Bude Ifa itu.

"Tumben kamu ikut? Biasanya tak pernah ikut, lho...," sambungnya.

"Iya, Mbak, mumpung sedang tidak ada kegiatan. Biar dia sekalian tahu keluarga besarnya," ibu Nina yang menjawab. Sementara Nina hanya tersenyum mengiyakan.

"Iya, betul. Anak sekarang kalau tidak diajari tidak akan paham. Ayo, silakan, silakan...," si tuan rumah mempersilakan Nina beserta kedua orang tuanya masuk.

Sudah semiggu berlalu sejak kejadian yang menimpa Nina di hutan tepi kota. Pasca peristiwa itu, orang tua Nina menjadi ekstra waspada dan tak lagi membiarkan anak semata wayangnya itu sendirian. Maka, Nina pun terpaksa ikut jika kedua orang tuanya harus bepergian bersama seperti saat itu.

*

Di meja-meja yang di susun memanjang di tengah ruangan, aneka kudapan tersaji, mulai dari makanan tradisional seperti lemper dan wajik, sampai keik-keik aneka rasa. Tawa dan candaan masih terdengar. Denting gelas yang beradu dengan meja kaca turut menambah riuh suasana. Nina hanya menyaksikan dan menyimak keramaian itu sambil sesekali menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya.

"Iya, itu Kiryono katanya menerima pembayaran ganti rugi 1,6 miliar karena sawahnya termasuk wilayah yang akan menjadi jalan tol baru. Punyamu dapat berapa, Lis?" Tanya Pakde Pur, suami Bude Ifa.

Pandangan mata Nina ikut mengarah pada ibunya ketika nama sang ibu disebut. Sementara itu, ibu Nina hanya tampak tersenyum, meski dipaksakan.

"Masa kamu nggak dapat? Bukannya sawah orang tuamu di kampung bersebelahan dengan sawah Kiryono?"

Sawah? Kampung? Ibu punya kampung halaman? Beragam pertanyaan menari-nari di pikiran Nina. Ia tak pernah ingat ibunya bercerita tentang kampung halaman. Seingatnya, ketika hari raya pun, ia dan kedua orang tuanya tak pernah meninggalkan kota. Sepengetahuan Nina, kedua orang tuanya asli kota itu karena rumah kakek nenek dari pihak ayahnya juga terletak di kota itu, hanya berbeda kecamatan. Demikian juga dengan rumah orang tua ibu Nina.

Nina kemudian ingat, ibunya tak pernah memanggil Nek Siti---orang yang selama ini Nina kira adalah neneknya dari pihak ibu---dengan sebutan "bulik".

*

"Ibu punya kampung halaman? Di mana? Kok tidak pernah cerita?" Tanya Nina di perjalanan pulang dari arisan keluarga.

Dari kaca spion, Nina melihat ekspresi wajah ibunya langsung berubah. Mata yang tadinya tenang dan ceria kini terbuka lebar, memperlihatkan kekagetan yang sulit disembunyikan.

Lis terdiam sejenak, terperangkap dalam momen yang membuat jantungnya berdebar kencang. Pandangannya seolah kabur, tidak fokus, sementara otaknya bekerja keras mencari jawaban yang tepat, atau mungkin cara untuk mengalihkan pembicaraan.

Dari belakang kemudi, sudut mata Aryo menangkap tangan istrinya yang semula tenang di pangkuan terlihat bergerak gelisah, jemarinya saling meremas atau bermain dengan ujung pakaian, seolah mencoba meredakan kegugupan yang semakin terasa.

Sementara itu, Nina melihat ibunya sesekali mengalihkan pandangan ke samping dan kembali lagi ke depan, mencari sesuatu untuk dipandang, menghindari kontak mata dengannya. Napasnya terdengar lebih cepat dan dangkal, menandakan betapa terkejut dan tidak nyaman sang ibu dengan pertanyaan yang dilontarkannya. Bibirnya yang gemetar mencoba tersenyum, tapi senyum itu terlihat dipaksakan, tidak bisa menyembunyikan kegelisahan di baliknya.

"Y... Yah, mampir ke minimarket bentar. Sabun cuci... dan... kebutuhan lain habis."

Kata-kata yang keluar dari mulut Lis terdengar terputus-putus. Terlihat ia berusaha mengalihkan perhatian. Dalam hatinya, perasaan takut dan cemas bercampur menjadi satu, mengingatkan bahwa rahasia yang selama ini dijaga dengan hati-hati tengah terancam terbongkar. Perasaan tersebut terlihat jelas di wajahnya, meskipun ia berusaha keras untuk tetap tenang. Pandangan mata yang berkedip cepat dan sering, suara yang sedikit bergetar, dan gerakan tubuh yang gelisah menjadi tanda betapa tidak nyamannya ia dengan situasi saat itu.

Nina yang menangkap gelagat aneh ibunya tak jadi melanjutkan pertanyaannya dan memilih diam di kursi belakang.

*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun