Di meja-meja yang di susun memanjang di tengah ruangan, aneka kudapan tersaji, mulai dari makanan tradisional seperti lemper dan wajik, sampai keik-keik aneka rasa. Tawa dan candaan masih terdengar. Denting gelas yang beradu dengan meja kaca turut menambah riuh suasana. Nina hanya menyaksikan dan menyimak keramaian itu sambil sesekali menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya.
"Iya, itu Kiryono katanya menerima pembayaran ganti rugi 1,6 miliar karena sawahnya termasuk wilayah yang akan menjadi jalan tol baru. Punyamu dapat berapa, Lis?" Tanya Pakde Pur, suami Bude Ifa.
Pandangan mata Nina ikut mengarah pada ibunya ketika nama sang ibu disebut. Sementara itu, ibu Nina hanya tampak tersenyum, meski dipaksakan.
"Masa kamu nggak dapat? Bukannya sawah orang tuamu di kampung bersebelahan dengan sawah Kiryono?"
Sawah? Kampung? Ibu punya kampung halaman? Beragam pertanyaan menari-nari di pikiran Nina. Ia tak pernah ingat ibunya bercerita tentang kampung halaman. Seingatnya, ketika hari raya pun, ia dan kedua orang tuanya tak pernah meninggalkan kota. Sepengetahuan Nina, kedua orang tuanya asli kota itu karena rumah kakek nenek dari pihak ayahnya juga terletak di kota itu, hanya berbeda kecamatan. Demikian juga dengan rumah orang tua ibu Nina.
Nina kemudian ingat, ibunya tak pernah memanggil Nek Siti---orang yang selama ini Nina kira adalah neneknya dari pihak ibu---dengan sebutan "bulik".
*
"Ibu punya kampung halaman? Di mana? Kok tidak pernah cerita?" Tanya Nina di perjalanan pulang dari arisan keluarga.
Dari kaca spion, Nina melihat ekspresi wajah ibunya langsung berubah. Mata yang tadinya tenang dan ceria kini terbuka lebar, memperlihatkan kekagetan yang sulit disembunyikan.
Lis terdiam sejenak, terperangkap dalam momen yang membuat jantungnya berdebar kencang. Pandangannya seolah kabur, tidak fokus, sementara otaknya bekerja keras mencari jawaban yang tepat, atau mungkin cara untuk mengalihkan pembicaraan.
Dari belakang kemudi, sudut mata Aryo menangkap tangan istrinya yang semula tenang di pangkuan terlihat bergerak gelisah, jemarinya saling meremas atau bermain dengan ujung pakaian, seolah mencoba meredakan kegugupan yang semakin terasa.