Mohon tunggu...
Mufid Rowi
Mufid Rowi Mohon Tunggu... -

"Berbuatlah sebanyak-banyaknya, dan sebaik-baiknya untuk keluarga dan umat".\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pengaruh Sensor terhadap Pengembangan Koleksi Perpustakaan (Studi Kasus di Lima Asosiasi Perpustakaan)

19 Februari 2010   09:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:51 2110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

1. Pendahuluan

Hak untuk mendapatkan informasi dan hak untuk bebas berpendapat atau berekspresi (freedom expression) tidak selalu bebas hambatan. Selalu saja ada konflik kepentingan (conflict of interest) yang memasung kebebasan tersebut. Padahal ketika seseorang tidak dapat dengan leluasa menuangkan pikiran baik lisan maupun tulisan karena hambatan-hambatan tersebut, maka pemikirannya itu menjadi tidak produktif dan jumud alias tidak berkembang. Bila hal ini terus menerus terjadi maka peradaban (civilization) juga akan berhenti.

Hambatan-hambatan tersebut bisa berupa penolakan (denial) penyebaran pemikiran, pelarangan (prohibition) dan pemberiaan sanksi (penalties) terhadap hasil pemikiran manusia yang dituangkan dalam media-media seperti buku, majalah, surat kabar, dan lain-lain. Dalam isu intellectual freedom, persoalan ini lebih dikenal dengan istilah sensor.

Jelas sekali bahwa pasal 19 dari deklarasi hak asasi manusia tersebut menjamin hak kebebasan berpendapat dan berekspresi yang mencakup kebebasan mempertahankan pendapat, aliran, faham, dan lain-lain tanpa interferensi. Disamping itu juga mencakup kebebasan untuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi dan gagasan melalui media apapun. Negara boleh melakukan sensor ataupun campur tangan demi kepentingan negara sesuai yang diamanatkan dalam deklarasi hak asasi manusia sedunia.

Dari realitas di atas, maka tulisan ringkas ini akan mencoba membahas sekelumit tentang penerapan sensor di perpustakaan dalam hal ini yaitu kebijakan sensor perpustakaan dan pengaruh sensor bagi pengembangan koleksi perpustakaan dengan mengkaji dan menganalisis beberapa kebijakan yang dibuat oleh asosiasi perpustakaan di dunia, termasuk pula yang dilakukan oleh Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI).

2. Kebijakan Sensor di Beberapa Asosiasi Perpustakaan di Negara-Negara Maju Dan Negara Berkembang

Perpustakaan merupakan lembaga yang berperan mengumpulkan, mengelola, dan menyebarkan informasi kepada masyarakat, sangat bersentuhan langsung dengan seluk beluk sensor ini. Karena bahan pustaka seperti buku, majalah, dan surat kabar adalah koleksi yang sering sekali menjadi objek sensor tersebut. Penerapan sensor dapat menghambat perpustakaan dalam menjalankan tugasnya yakni mengumpulkan, mengelola, dan menyebarkan informasi kepada masyarakat. Oleh karena itulah, beberapa perkumpulan atau asosiasi perpustakaan terutama sekali yang ada di luar negeri telah menyusun beberapa kebijakan atau statement problematika sensor ini.

Asosiasi perpustakaan yang dijadikan studi kasus di sini adalah empat asosiasi dari negara maju  (IFLA, LIANZA, LA, ALA, dan  satu asosiasi dari negara berkembang (IPI).

- IFLA (The International Federation of Library Association And Information)

Pada konferensi IFLA (The Council Of The International Federation Of Library Association And Information) ke-25 di Paris tahun 1989, IFLA mengeluarkan resolusi tentang kebebasan berekspresi, sensor, dan perpustakaan (resolution on freedom of expression, censorship, and libraries). Resoluisi tersebut memuat tentang:


  1. Pencabutan (recalling) resolusi yang dikeluarkan di Munich tahun 1983 karena cenderung melanggar HAM para pustakawan.
  2. Mendorong para pustakawan dan asosiasi mereka untuk secara global mendukung pelaksanaan Article 19 of the Universal Declaration of Human Rights.[1]

3. Menginstruksikan kepada presiden IFLA untuk campur tangan (intervene) menggunakan cara yang tepat dengan pemerintah yang berwenang mengenai freedom of expression.[2]

- LIANZA (The Library and Information Association of New Zealand)

The Library and Information Association of New Zealand(LIANZA) tahun 2002 mengeluarkan pernyataan tentang kebebasan intelektual sebagai berikut:

1). Masyarakat menciptakan perpustakaan sebagai lembaga untuk menyimpan dan membuat pengetahuan, informasi, dan gagasan-gagasan tersedia, dan untuk memfasilitasi belajar dan kreativitas dalam setiap bidang. Setiap perpustakaan memiliki tanggung jawab untuk menyediakan para penggunanya dengan jangkauan seluas mungkin bahan-bahan informasi, relevan bagi kebutuhan penggunanya dan yang mewakili spektrum sudut pandang pada topik yang sesuai masyarakat pengguna.

2). Pustakawan mempunyai tanggung jawab untuk memastikan bahwa pemilihan dan ketersediaan bahan-bahan informasi diatur semata-mata oleh pertimbangan profesional. Pertimbangan profesional ini termasuk penggunaan pengetahuan, keterampilan, manajemen koleksi pengalaman, dan kebijakan pengembangan koleksi untuk membuat keputusan tentang bahan pustaka apa yang akan dipilih untuk koleksi perpustakaan.

3). Tidak ada sumber-sumber informasi harus dikecualikan dari perpustakaan karena mengungkapkan pendapat mereka; juga bukan karena siapa pengarang; atau atas dasar kedudukan politik, sosial, moral atau tampilan lain dari penulis.

4). Tidak ada bahan pustaka harus disensor, terbatas, disingkirkan dari perpustakaan, atau memiliki akses kepada mereka ditolak karena partisan atau doktrinal ketidaksetujuan atau tekanan. Hal ini termasuk akses ke sumber daya informasi berbasis web.

5). Pustakawan harus melawan semua upaya sensor, kecuali bahwa sensor diperlukan oleh hukum. Pustakawan bebas untuk meminta, dan untuk melobi, pencabutan undang-undang untuk berkompromi dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam pernyataan ini.[3]

- LA (The Library Association)

The Library Association di Inggris juga telah mengeluarkan pernyataan serupa pada tahun 1963 dan telah mengalami 3 kali revisi yaitu pada 1978, 1989, dan 1997. pernyataan tersebut diantaranya memuat tentang:

1). the Library Association sangat mendukung dan sangat memperhatikan tentang kekebasan seluas mungkin dalam penyebaran informasi (dissemination of information). Karena menurut asosiasi ini, masyarakat yang maju dan demokratis hanya dapat dibangun apabila masyarakat itu mempunyai hak untuk mengakses semua ungkapan pengetahuan (expression of knowledge), kreatifitas (creativity), dan kegiatan ilmiah (intellectual activity). Kebebasan intelektual dan kebebasan berekspresi.

2). Bahan pustaka perpustakaan tidak boleh dibatasi kecuali bila dikehendaki oleh hukum. Namun demikian, dasar hukumnya harus jelas. Jika bahan pustaka tidak terkait sanksi hukum, maka bahan pustaka tersebut tidak boleh dikeluarkan dengan alasan moral, politik, agama, ras, atau gender untuk memenuhi tuntutan sekelompok kecil masyarakat.

3). Pustakawan, dengan kode etik mereka, harus menentang tekanan-tekanan yang membatasi akses terhadap koleksi perpustakaan.

4). LA menekankan kepada seluruh staf perpustakaan untuk memegang teguh prinsip akses informasi bebas (uninhibited access to information).[4]

- ALA (American library Association)

The American library association (ALA) menuangkan pernyataan tentang kebebasan intelektual dengan rinci di dalam Library Bill of Rights, di antaranya memuat tentang:

1). Bahan  pustaka di perpustakaan Amerika bebas diakses oleh siapa saja dan menentang segala sensor.

2). Bahan pustaka yang sudah melalui proses seleksi tidak boleh dikeluarkan atau dipindahkan dari perpustakaan meskipun untuk kepentingan hukum (legal or extra legal pressure)

3). Penghilangan bagian-bagian buku atau bahan pustaka lainnya oleh perpustkaan, agen perpustakaan, atau badan induk merupakan bentuk pelanggaran (violation) Library Bill of Rights karena penghilangan tersebut menghalangi akses keseluruhan karya.

4). Usaha-usaha untuk membatasi koleksi perpustakaan melanggar prinsip-prinsip dasar Library Bill of Rights.

5). Pustakawan secara professional bertanggung jawab dalam pengembangan koleksi. Pustakawan harus menjamin bahwa bahan pustaka dapat diakses oleh semua pengguna.

6). ALA sangat menentang intimidasi yang dilakukan pemerintah (governmental intimidation) terhadap warga atau penduduk dalam hal free expression.[5]

- IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia)

Sementara itu, Ikatan Pustakawan Indonesia , juga menuangkan pernyataan tentang akses informasi dan kebebasan Intelektual yang tertuang dalam Kode Etik Pustakawan. Yang menyatakan bahwa:

"Di alam keterbukaan informasi, perlu ada kebebasan intelektual dan memperluas akses informasi bagi kepentingan masyarakat luas. Pustakawan ikut melaksanakan kelancaran arus informasi dan pemikiran yang bertanggung jawab bagi keperluan generasi sekarang dan yang akan datang. Pustakawan berperan aktif melakukan tugas sebagai pembawa perubahan dan meningkatkan kecerdasan masyarakat untuk mengantisipasi perkembangan dan perubahan di masa depan"[6].

Prinsip yang tertuang dalam Kode Etik ini merupakan kaidah umum Pustakawan Indonesia. Kewajiban pustakawan dalam mengawal akses informasi dan kebebasan intelektual tertuang pada Bab 1, kewajiban pustakawan diurai dalam 5 subbab, yaitu kewajiban kepada bangsa dan negara, kewajiban kepada masyarakat dan kewajiban kepada profesi, kewajiban kepada rekan sejawat, dan kewajiban kepada pribadi.

Keperpihakan IPI terhadap akses informasi dan kebebasan intelektual ini dijelaskan secara detail pada kewajiban profesi yaitu:

1). Pustakawan melaksanakan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Pustakawan Indonesia dan Kode Etik Pustakawan Indonesia.

2). Pustakawan memegang prinsip kebebasan intelektual dan menjauhkan diri dari usaha sensor sumber bahan perpustakaan dan informasi.

3). Pustakawan menyadari dan menghormati hak milik intelektual yang berkaitan dengan bahan perpustakaan dan informasi.

Kata "menjauhkan diri dari sensor" bermakna bahwa pustakawan pada kondisi tertentu bisa melakukan sensor terhadap segala bentuk informasi (film, buku, dll) karena demi hukum yang berlaku.

Dari pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan lima asosiasi perpustakaan di atas, jelas sekali bahwa asosiasi perpustakaan tersebut mempunyai asumsi yang sama bahwa:

1)    Penerapan sensor terhadap pengembangan koleksi perpustakaan akan menghambat kebebasan intelektual seseorang dan melanggar hak asasi manusia.

2)   Masyarakat yang maju dan beradab hanya dapat dibangun di atas fondasi kebebasan akses terhadap semua informasi termasuk informasi yang dimiliki oleh perpustakaan.

3)    Perpustakaan berhak untuk tidak membatasi, memindahkan, dan mengeluarkan bahan pustaka yang telah diseleksi dari perpustakaan.

4)    Pustakawan secara professional bertanggung jawab dalam pengembangan koleksi. Pustakawan harus menjamin bahwa bahan pustaka dapat diakses oleh semua pengguna.

5)    Perpustakaan harus melawan semua bentuk sensor, namun sensor bisa dilakukan karena alasan demi hukum.

3. Pengaruh Sensor Terhadap pengembangan Koleksi Perpustakaan

Pengaruh sensor terhadap perpustakaan di negara-negara maju berdasarkan beberapa pernyataan di atas tidak begitu menonjol karena selain perpustakaan  telah mempunyai kebijakan yang jelas tentang sensor juga iklim demokrasi yang sangat mendukung. Sebagaimana yang diungkapan narasumber dalam seminar internasional tentang "Libraries Before and After Reunification" di Perpustakaan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia bahwa sensor sangat diberlakukan di perpustakaan-perpustakan di Jerman Timur yang berfaham negara sosialis, sensor menjadi senjata utama untuk menjernihkan dan membebaskan masyarakatnya dari pengaruh luar. Sebaliknya, perpustakaan-perpustakaan di Jerman barat yang berfaham negara kapitalis, perpustakaan tidak memberlakukan sensor dan juga negara tidak mengintervensi kegiatan perpustakaan. Lalu setelah reunifikasi kedua negara ini, maka sensorpun tetap tidak diberlakukan lagi diperpustakaan.[7]

Iklim demokrasi di suatu negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan berekspresi dan kebebasan intelektual sangat menentukan diberlakukannya sensor. Sensor di negara yang tidak mengenal demokrasi, sensor menjadi alat penguasa yang diktator, penguasa yang tidak mengenal demokrasi.

Di Indonesia, sensor menjadi alat penguasa, terutama pada masa orde lama dan orde baru. Pada masa tersebut perpustakaan tidak dapat menentukan kebijakan-kebijakan koleksi sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Perpustakaan tidak berhak untuk menyimpan bahan pustaka yang telah dilarang oleh pemerintah kecuali Perpustakaan Nasional dan perpustakaan Kejaksaan Agung. Perpustakaan Nasional selain berhak menyimpan buku-buku terlarang juga berhak mensirkulasikan buku-buku tersebut melalui sistem lisensi. Pengecualian ini adalah berdasarkan UU No.4 tahun 1990 tentang serah simpan karya cetak dan karya rekam serta peraturan pemerintah Nomor 70 tahun 1991 pasal 17, yang menyebutkan bahwa karya cetak dan karya rekam yang terlarang hanya dapat dimanfatkan untuk kepentingan tertentu setelah mendapatkan ijin dari kepala perpustakaan Nasional.[8] Juga berlaku pada karaya rekam dalam bentuk film, dokumenter, Karya rekam film ceritera atau film dokumenter yang karena sifatnya dilarang Pemerintah.[9] Sedangkan Perpustakaan Kejaksaan Agung memang memiliki keistimewaaan karena perpustakaan tersebut bagian dari Kejaksaan Agung yang melakukan pelarangan buku. Pelarangan ini akan sangat berpengaruh pada pengembangan koleksi di semua jenis perpustakaan.

Di antara pengaruh sensor terhadap pengembangan koleksi adalah:

1). Mempengaruhi jumlah koleksi perpustakaan, dan layanannya. Jumlah koleksi akan berkurang jika sebagian koleksi berupa buku-buku terlarang yang harus diserahkan kepada pemerintah. Keadaan ini tidak akan terjadi jika perpustakaan mempunyai wewenang untuk menyimpan sendiri buku-buku terlarang yang dimilikinya meskipun tanpa mensirkulasikan kepada masyarakat pemakai.

2). Penyerahan buku tersebut akan menyebabkan perpustakaan kesulitan memperoleh kembali buku tersebut.

3). Bagi Perpustakaan Perguruan Tinggi, pelarangan ini akan bertentangan dengan konsep semangat kebebasan akademik yang menolak intervensi dari pihak luar.

4. Sensor versus Seleksi

Pengembangan koleksi identik dengan pembelian bahan pustaka. Salah satu kendala tidak terpenuhinya pembelian buku karena adanya sensor dari pemerintah. Maka akibat nyata larangan ini adalah kebutuhan bahan pustaka tertentu tidak terpenuhi. Sebab lain, adalah faktor dari internal perpustakaan. perpustakaan tidak mungkin membeli semua kebutuhan koleksi perpustakaan karena keterbatasan perpustkaan itu sendiri, baik keterbatasan fisik (gedung) untuk menampung bahan pustaka, juga keterbatasan lain, karena faktor minimnya alokasi anggaran perpustakaan.

Keterbatasan-keterbatasan perpustakaan ini kemudian muncul perlunya kebijakan dalam pengembangan koleksi. Inti dari kebijakan koleksi ini adalah memberikan prioritas-prioritas bahan pustaka apa yang perlu dibeli dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan oleh perpustakaan. Kegiatan ini dalam pengembangan koleksi disebut kegiatan seleksi.

Kegiatan seleksi pada pengembangan koleksi, sebagian pustakawan mengatakan bahwa perpustakaan sebenarnya telah melakukan sensor. sebaliknya pustakawan yang tidak setuju telah memberikan definisi tentang batasan sensor dan seleksi. Bahwa sepanjang seleksi itu murni karena faktor internal, maka bukan sensor. Sensor itu sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu pemerintah ataupun seseorang yang memiliki pengaruh sangat kuat di dalam kegiatan proses pengembangan koleksi.[10] perbedaan nyata antara sensor dan seleksi, kegiatan sensor karena adanya intervensi dari luar. Sebaliknya kegiatan seleksi murni ketidak berdayaan perpustakaan untuk membelinya karena keterbatasan-keterbatasan perpustakaan itu sendiri.

5. Peran Pustakawan

Di bawah ini uraian singkat tentang peran pustakawan sebagai profesional informasi, atau knowledge worker berdasarkan dari lima asosiasi perpustakaan di atas, adalah:

1). Pustakawan mempunyai tanggung jawab untuk memastikan bahwa pemilihan dan ketersediaan bahan-bahan informasi diatur semata-mata oleh pertimbangan profesional. Pertimbangan profesional ini termasuk penggunaan pengetahuan, keterampilan, manajemen koleksi pengalaman, dan kebijakan pengembangan.

2). Pustakawan mendukung pelaksanaan Article 19 of the Universal Declaration of Human Rights.

3). Pustakawan harus melawan semua upaya sensor, kecuali bahwa sensor diperlukan oleh hukum. Pustakawan bebas untuk meminta, dan untuk melobi, pencabutan undang-undang untuk berkompromi dengan prinsip-prinsip yang sesuai dengan kode etik perpustakaan.

4). Pustakawan, dengan kode etik mereka, harus menentang tekanan-tekanan yang membatasi akses terhadap koleksi perpustakaan.

5). Pustakawan secara professional bertanggung jawab dalam pengembangan koleksi. Pustakawan harus menjamin bahwa bahan pustaka dapat diakses oleh semua pengguna.

6). Pustakawan memegang prinsip kebebasan intelektual dan menjauhkan diri dari usaha sensor sumber bahan perpustakaan dan informasi.

7). Pustakawan menyadari dan menghormati hak milik intelektual yang berkaitan dengan bahan perpustakaan dan informasi.

6. Kesimpulan

Sensor merupakan isu yang masih hangat dan selalu actual dari masa ke masa. Karena sensor merupakan suatu kebijakan yang menyangkut hak kebebasan seseorang untuk berekspresi dan mengemukaan pendapat. Sensor telah megalami evolusi atau perubahan dari masa ke masa, terutama dari sisi bentuk dan manifestasinya.

Sementara kebebasan berekspresi untuk mengemukaan pendapat, dan kebebasan untuk  menyebarkan dan mencari informasi termasuk salah satu hak asasi manusia. Keterbukaan informasi dan akses informasi kepada masyarakat adalah suatu kondisi untuk memungkinkan demokrasi itu berfungsi. Keterbukaan informasi ini sulit diharapkan berkembang di lingkungan masyarakat non demokratis. keterbukaan informasi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan proses demokratisasi.

Realitas sensor ini juga berdampak pada kegiatan pengembangan koleksi perpustakaan. Dalam menjalankan tugasnya, pustakawan dalam hal membuat kebijakan pengembangan koleksi diperhadapkan dengan dua hal. Satu sisi, ketika negara menerapkan kebijakan sensor terhadap informasi atau dokumen tertentu, di sisi lain, pustakawan berkewajiban untuk memberikan akses informasi seluas-luasnya kepada penggunanya. Oleh karena itu, menurut penulis, dalam batas-batas tertentu sensor perlu dilakukan sebagai alasan demi kepentingan yang lebih besar yaitu kepentingan masyarakat umum dan kepentingan negara.

Dari pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan lima asosiasi perpustakaan di atas, jelas sekali bahwa asosiasi perpustakaan tersebut mempunyai asumsi yang sama bahwa penerapan sensor terhadap pengembangan koleksi perpustakaan akan menghambat kebebasan intelektual seseorang dan melanggar hak asasi manusia. Masyarakat yang maju dan beradab hanya dapat dibangun di atas fondasi kebebasan akses terhadap semua informasi termasuk informasi yang dimiliki oleh perpustakaan. Perpustakaan berhak untuk tidak membatasi, memindahkan, dan mengeluarkan bahan pustaka yang telah diseleksi dari perpustakaan. Pustakawan secara professional bertanggung jawab dalam pengembangan koleksi. Pustakawan harus menjamin bahwa bahan pustaka dapat diakses oleh semua pengguna. Perpustakaan harus melawan semua bentuk sensor, namun sensor bisa dilakukan karena alasan demi hukum.

Sensor mempengaruhi jumlah koleksi perpustakaan, dan layanannya. Jumlah koleksi akan berkurang jika sebagian koleksi berupa buku-buku terlarang yang harus diserahkan kepada pemerintah. Keadaan ini tidak akan terjadi jika perpustakaan mempunyai wewenang untuk menyimpan sendiri buku-buku terlarang yang dimilikinya meskipun tanpa mensirkulasikan kepada masyarakat pemakai. Penyerahan buku tersebut akan menyebabkan perpustakaan kesulitan memperoleh kembali buku tersebut. Bagi Perpustakaan Perguruan Tinggi, pelarangan ini akan bertentangan dengan konsep semangat kebebasan akademik yang menolak intervensi dari pihak luar.

Di era keterbukaan sekarang ini, perpustakaan di Indonesia sudah memiliki ruang gerak yang lebih leluasa dalam menentukan kebijakan koleksi sendiri sehingga kebebasan intelektual dan kebebasan berekspresi akan dapat terlaksana. Namun sensor dapat dilakukan untuk menghormati hak dan reputasi pihak lain, menjaga  keutuhan bangsa dan negara, memelihara tatanan sosial, moral dan kesehatan masyarakat Sensor harus didasarkan pada hukum dan proses hukum yang adil.

Akhirnya, peran pustakawan sebagai profesional informasi harus mendukung pelaksanaan Article 19 of the Universal Declaration of Human Rights. Pustakawan harus melawan semua upaya sensor, kecuali bahwa sensor diperlukan oleh hukum. Pustakawan bebas untuk meminta, dan untuk melobi, pencabutan undang-undang untuk berkompromi dengan prinsip-prinsip yang sesuai dengan kode etik perpustakaan. Pustakawan, dengan kode etik mereka, harus menentang tekanan-tekanan yang membatasi akses terhadap koleksi perpustakaan. Pustakawan harus memberikan akses informasi seluas-luasnya kepada pengguna. sekarang muncul pertanyaan yang perlu dijawab. Mampukan perpustakaan menjadi sumber informasi yang mampu memberikan akses informasi kepada penguna seluas-luasnya?. Mampukah perpustakaan benar-benar terbebas dari sensor?. Wallahu a'lam bi shawab.

Catatan:

[1] Article 19 of the Universal Declaration of Human Rights (1948) menyebutkan bahwa : "Everyone has the right to freedom of opinion and expression: includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers".

[2] Resolution on freedon of expression, censorship and libraries. IFLA/FAIFE. 16 Des 2009. <http://archive.ifla.org/faife/policy/paris_e.htm>

[3]LIANZA.Statement and Intellectual fredom. <http://www.lianza.org.nz/about/governance/statements/intellectual-freedom.html>

[4] "Campaign Against Censorship in UK Public Libraries: defending Intellectual freedom for all" Tke Library Association, 1998.

[5] Intellectual Freedom Handbook. 5th Ed. the American Library Association. 16 Des 2009.<http://www.txla.org/pubs/ifhbk.html#ALA-LBR>

[6] Kode Etik Pustakawan Indonesia.16 Des 2009.< http://ipi.pnri.go.id/Organisasi/kode_etik.asp>

[7] Seminar internasional tentang"Libraries Before and After Reunification" pada tanggal 10 Desember 2009 di Perpustakaan Fakultas Ekonomi Univrsitas Indonesia.

[8]Pasal 17, Peraturan Pemerintah Nomor: 70 TAHUN 1991 Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1990 Tentang Serah-Simpan Karya Cetak Dan Karya-Rekam

[9] Pasal 31, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Serah-Simpan Dan Pengelolaan Karya Rekam Film Ceritera Atau Film Dokumenter

[10] Selection Versus Censorship in Libraries. 16 Des 2009. <http://www.informaworld.com/smpp/content~db=all~content=a902694242>

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun