Mohon tunggu...
Mufid Rowi
Mufid Rowi Mohon Tunggu... -

"Berbuatlah sebanyak-banyaknya, dan sebaik-baiknya untuk keluarga dan umat".\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pengaruh Sensor terhadap Pengembangan Koleksi Perpustakaan (Studi Kasus di Lima Asosiasi Perpustakaan)

19 Februari 2010   09:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:51 2110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di Indonesia, sensor menjadi alat penguasa, terutama pada masa orde lama dan orde baru. Pada masa tersebut perpustakaan tidak dapat menentukan kebijakan-kebijakan koleksi sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Perpustakaan tidak berhak untuk menyimpan bahan pustaka yang telah dilarang oleh pemerintah kecuali Perpustakaan Nasional dan perpustakaan Kejaksaan Agung. Perpustakaan Nasional selain berhak menyimpan buku-buku terlarang juga berhak mensirkulasikan buku-buku tersebut melalui sistem lisensi. Pengecualian ini adalah berdasarkan UU No.4 tahun 1990 tentang serah simpan karya cetak dan karya rekam serta peraturan pemerintah Nomor 70 tahun 1991 pasal 17, yang menyebutkan bahwa karya cetak dan karya rekam yang terlarang hanya dapat dimanfatkan untuk kepentingan tertentu setelah mendapatkan ijin dari kepala perpustakaan Nasional.[8] Juga berlaku pada karaya rekam dalam bentuk film, dokumenter, Karya rekam film ceritera atau film dokumenter yang karena sifatnya dilarang Pemerintah.[9] Sedangkan Perpustakaan Kejaksaan Agung memang memiliki keistimewaaan karena perpustakaan tersebut bagian dari Kejaksaan Agung yang melakukan pelarangan buku. Pelarangan ini akan sangat berpengaruh pada pengembangan koleksi di semua jenis perpustakaan.

Di antara pengaruh sensor terhadap pengembangan koleksi adalah:

1). Mempengaruhi jumlah koleksi perpustakaan, dan layanannya. Jumlah koleksi akan berkurang jika sebagian koleksi berupa buku-buku terlarang yang harus diserahkan kepada pemerintah. Keadaan ini tidak akan terjadi jika perpustakaan mempunyai wewenang untuk menyimpan sendiri buku-buku terlarang yang dimilikinya meskipun tanpa mensirkulasikan kepada masyarakat pemakai.

2). Penyerahan buku tersebut akan menyebabkan perpustakaan kesulitan memperoleh kembali buku tersebut.

3). Bagi Perpustakaan Perguruan Tinggi, pelarangan ini akan bertentangan dengan konsep semangat kebebasan akademik yang menolak intervensi dari pihak luar.

4. Sensor versus Seleksi

Pengembangan koleksi identik dengan pembelian bahan pustaka. Salah satu kendala tidak terpenuhinya pembelian buku karena adanya sensor dari pemerintah. Maka akibat nyata larangan ini adalah kebutuhan bahan pustaka tertentu tidak terpenuhi. Sebab lain, adalah faktor dari internal perpustakaan. perpustakaan tidak mungkin membeli semua kebutuhan koleksi perpustakaan karena keterbatasan perpustkaan itu sendiri, baik keterbatasan fisik (gedung) untuk menampung bahan pustaka, juga keterbatasan lain, karena faktor minimnya alokasi anggaran perpustakaan.

Keterbatasan-keterbatasan perpustakaan ini kemudian muncul perlunya kebijakan dalam pengembangan koleksi. Inti dari kebijakan koleksi ini adalah memberikan prioritas-prioritas bahan pustaka apa yang perlu dibeli dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan oleh perpustakaan. Kegiatan ini dalam pengembangan koleksi disebut kegiatan seleksi.

Kegiatan seleksi pada pengembangan koleksi, sebagian pustakawan mengatakan bahwa perpustakaan sebenarnya telah melakukan sensor. sebaliknya pustakawan yang tidak setuju telah memberikan definisi tentang batasan sensor dan seleksi. Bahwa sepanjang seleksi itu murni karena faktor internal, maka bukan sensor. Sensor itu sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu pemerintah ataupun seseorang yang memiliki pengaruh sangat kuat di dalam kegiatan proses pengembangan koleksi.[10] perbedaan nyata antara sensor dan seleksi, kegiatan sensor karena adanya intervensi dari luar. Sebaliknya kegiatan seleksi murni ketidak berdayaan perpustakaan untuk membelinya karena keterbatasan-keterbatasan perpustakaan itu sendiri.

5. Peran Pustakawan

Di bawah ini uraian singkat tentang peran pustakawan sebagai profesional informasi, atau knowledge worker berdasarkan dari lima asosiasi perpustakaan di atas, adalah:

1). Pustakawan mempunyai tanggung jawab untuk memastikan bahwa pemilihan dan ketersediaan bahan-bahan informasi diatur semata-mata oleh pertimbangan profesional. Pertimbangan profesional ini termasuk penggunaan pengetahuan, keterampilan, manajemen koleksi pengalaman, dan kebijakan pengembangan.

2). Pustakawan mendukung pelaksanaan Article 19 of the Universal Declaration of Human Rights.

3). Pustakawan harus melawan semua upaya sensor, kecuali bahwa sensor diperlukan oleh hukum. Pustakawan bebas untuk meminta, dan untuk melobi, pencabutan undang-undang untuk berkompromi dengan prinsip-prinsip yang sesuai dengan kode etik perpustakaan.

4). Pustakawan, dengan kode etik mereka, harus menentang tekanan-tekanan yang membatasi akses terhadap koleksi perpustakaan.

5). Pustakawan secara professional bertanggung jawab dalam pengembangan koleksi. Pustakawan harus menjamin bahwa bahan pustaka dapat diakses oleh semua pengguna.

6). Pustakawan memegang prinsip kebebasan intelektual dan menjauhkan diri dari usaha sensor sumber bahan perpustakaan dan informasi.

7). Pustakawan menyadari dan menghormati hak milik intelektual yang berkaitan dengan bahan perpustakaan dan informasi.

6. Kesimpulan

Sensor merupakan isu yang masih hangat dan selalu actual dari masa ke masa. Karena sensor merupakan suatu kebijakan yang menyangkut hak kebebasan seseorang untuk berekspresi dan mengemukaan pendapat. Sensor telah megalami evolusi atau perubahan dari masa ke masa, terutama dari sisi bentuk dan manifestasinya.

Sementara kebebasan berekspresi untuk mengemukaan pendapat, dan kebebasan untuk  menyebarkan dan mencari informasi termasuk salah satu hak asasi manusia. Keterbukaan informasi dan akses informasi kepada masyarakat adalah suatu kondisi untuk memungkinkan demokrasi itu berfungsi. Keterbukaan informasi ini sulit diharapkan berkembang di lingkungan masyarakat non demokratis. keterbukaan informasi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan proses demokratisasi.

Realitas sensor ini juga berdampak pada kegiatan pengembangan koleksi perpustakaan. Dalam menjalankan tugasnya, pustakawan dalam hal membuat kebijakan pengembangan koleksi diperhadapkan dengan dua hal. Satu sisi, ketika negara menerapkan kebijakan sensor terhadap informasi atau dokumen tertentu, di sisi lain, pustakawan berkewajiban untuk memberikan akses informasi seluas-luasnya kepada penggunanya. Oleh karena itu, menurut penulis, dalam batas-batas tertentu sensor perlu dilakukan sebagai alasan demi kepentingan yang lebih besar yaitu kepentingan masyarakat umum dan kepentingan negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun