The Library Association di Inggris juga telah mengeluarkan pernyataan serupa pada tahun 1963 dan telah mengalami 3 kali revisi yaitu pada 1978, 1989, dan 1997. pernyataan tersebut diantaranya memuat tentang:
1). the Library Association sangat mendukung dan sangat memperhatikan tentang kekebasan seluas mungkin dalam penyebaran informasi (dissemination of information). Karena menurut asosiasi ini, masyarakat yang maju dan demokratis hanya dapat dibangun apabila masyarakat itu mempunyai hak untuk mengakses semua ungkapan pengetahuan (expression of knowledge), kreatifitas (creativity), dan kegiatan ilmiah (intellectual activity). Kebebasan intelektual dan kebebasan berekspresi.
2). Bahan pustaka perpustakaan tidak boleh dibatasi kecuali bila dikehendaki oleh hukum. Namun demikian, dasar hukumnya harus jelas. Jika bahan pustaka tidak terkait sanksi hukum, maka bahan pustaka tersebut tidak boleh dikeluarkan dengan alasan moral, politik, agama, ras, atau gender untuk memenuhi tuntutan sekelompok kecil masyarakat.
3). Pustakawan, dengan kode etik mereka, harus menentang tekanan-tekanan yang membatasi akses terhadap koleksi perpustakaan.
4). LA menekankan kepada seluruh staf perpustakaan untuk memegang teguh prinsip akses informasi bebas (uninhibited access to information).[4]
- ALA (American library Association)
The American library association (ALA) menuangkan pernyataan tentang kebebasan intelektual dengan rinci di dalam Library Bill of Rights, di antaranya memuat tentang:
1). Bahan pustaka di perpustakaan Amerika bebas diakses oleh siapa saja dan menentang segala sensor.
2). Bahan pustaka yang sudah melalui proses seleksi tidak boleh dikeluarkan atau dipindahkan dari perpustakaan meskipun untuk kepentingan hukum (legal or extra legal pressure)
3). Penghilangan bagian-bagian buku atau bahan pustaka lainnya oleh perpustkaan, agen perpustakaan, atau badan induk merupakan bentuk pelanggaran (violation) Library Bill of Rights karena penghilangan tersebut menghalangi akses keseluruhan karya.
4). Usaha-usaha untuk membatasi koleksi perpustakaan melanggar prinsip-prinsip dasar Library Bill of Rights.
5). Pustakawan secara professional bertanggung jawab dalam pengembangan koleksi. Pustakawan harus menjamin bahwa bahan pustaka dapat diakses oleh semua pengguna.
6). ALA sangat menentang intimidasi yang dilakukan pemerintah (governmental intimidation) terhadap warga atau penduduk dalam hal free expression.[5]
- IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia)
Sementara itu, Ikatan Pustakawan Indonesia , juga menuangkan pernyataan tentang akses informasi dan kebebasan Intelektual yang tertuang dalam Kode Etik Pustakawan. Yang menyatakan bahwa:
"Di alam keterbukaan informasi, perlu ada kebebasan intelektual dan memperluas akses informasi bagi kepentingan masyarakat luas. Pustakawan ikut melaksanakan kelancaran arus informasi dan pemikiran yang bertanggung jawab bagi keperluan generasi sekarang dan yang akan datang. Pustakawan berperan aktif melakukan tugas sebagai pembawa perubahan dan meningkatkan kecerdasan masyarakat untuk mengantisipasi perkembangan dan perubahan di masa depan"[6].
Prinsip yang tertuang dalam Kode Etik ini merupakan kaidah umum Pustakawan Indonesia. Kewajiban pustakawan dalam mengawal akses informasi dan kebebasan intelektual tertuang pada Bab 1, kewajiban pustakawan diurai dalam 5 subbab, yaitu kewajiban kepada bangsa dan negara, kewajiban kepada masyarakat dan kewajiban kepada profesi, kewajiban kepada rekan sejawat, dan kewajiban kepada pribadi.
Keperpihakan IPI terhadap akses informasi dan kebebasan intelektual ini dijelaskan secara detail pada kewajiban profesi yaitu:
1). Pustakawan melaksanakan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Pustakawan Indonesia dan Kode Etik Pustakawan Indonesia.
2). Pustakawan memegang prinsip kebebasan intelektual dan menjauhkan diri dari usaha sensor sumber bahan perpustakaan dan informasi.
3). Pustakawan menyadari dan menghormati hak milik intelektual yang berkaitan dengan bahan perpustakaan dan informasi.
Kata "menjauhkan diri dari sensor" bermakna bahwa pustakawan pada kondisi tertentu bisa melakukan sensor terhadap segala bentuk informasi (film, buku, dll) karena demi hukum yang berlaku.
Dari pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan lima asosiasi perpustakaan di atas, jelas sekali bahwa asosiasi perpustakaan tersebut mempunyai asumsi yang sama bahwa:
1)Â Â Â Â Penerapan sensor terhadap pengembangan koleksi perpustakaan akan menghambat kebebasan intelektual seseorang dan melanggar hak asasi manusia.
2)Â Â Â Masyarakat yang maju dan beradab hanya dapat dibangun di atas fondasi kebebasan akses terhadap semua informasi termasuk informasi yang dimiliki oleh perpustakaan.
3)Â Â Â Â Perpustakaan berhak untuk tidak membatasi, memindahkan, dan mengeluarkan bahan pustaka yang telah diseleksi dari perpustakaan.
4)Â Â Â Â Pustakawan secara professional bertanggung jawab dalam pengembangan koleksi. Pustakawan harus menjamin bahwa bahan pustaka dapat diakses oleh semua pengguna.
5)Â Â Â Â Perpustakaan harus melawan semua bentuk sensor, namun sensor bisa dilakukan karena alasan demi hukum.
3. Pengaruh Sensor Terhadap pengembangan Koleksi Perpustakaan
Pengaruh sensor terhadap perpustakaan di negara-negara maju berdasarkan beberapa pernyataan di atas tidak begitu menonjol karena selain perpustakaan telah mempunyai kebijakan yang jelas tentang sensor juga iklim demokrasi yang sangat mendukung. Sebagaimana yang diungkapan narasumber dalam seminar internasional tentang "Libraries Before and After Reunification" di Perpustakaan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia bahwa sensor sangat diberlakukan di perpustakaan-perpustakan di Jerman Timur yang berfaham negara sosialis, sensor menjadi senjata utama untuk menjernihkan dan membebaskan masyarakatnya dari pengaruh luar. Sebaliknya, perpustakaan-perpustakaan di Jerman barat yang berfaham negara kapitalis, perpustakaan tidak memberlakukan sensor dan juga negara tidak mengintervensi kegiatan perpustakaan. Lalu setelah reunifikasi kedua negara ini, maka sensorpun tetap tidak diberlakukan lagi diperpustakaan.[7]
Iklim demokrasi di suatu negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan berekspresi dan kebebasan intelektual sangat menentukan diberlakukannya sensor. Sensor di negara yang tidak mengenal demokrasi, sensor menjadi alat penguasa yang diktator, penguasa yang tidak mengenal demokrasi.