Dari aspek ekonomi, Raffles menjelaskan variasi harga berdasarkan kualitas kain, baik dari segi benang yang digunakan maupun teknik pewarnaan, seperti perbedaan antara kain yang diwarnai sebelum ditenun (lri) dan setelah ditenun (btik). Ini menunjukkan bahwa batik merupakan komoditas ekonomi yang berharga, dengan nilai yang bervariasi tergantung pada tingkat kerumitan dan kualitas pengerjaannya. Ia mencatat, "The price of each advances sometimes fifty per cent. beyond this, when the production is scarce or out of season." Hal ini menunjukkan bahwa batik dan kain tradisional lainnya dapat menjadi sumber pendapatan yang signifikan, terutama dalam situasi produksi terbatas.
Deskripsi Raffles menekankan bahwa batik adalah bagian integral dari budaya dan ekonomi Jawa. Tidak hanya sebagai barang konsumsi, tetapi juga sebagai artefak budaya yang merefleksikan status sosial dan keterampilan seni.
Pada tahun 1873, saudagar Belanda Van Rijekevorsel menyumbangkan selembar batik yang diperolehnya di Indonesia ke Museum Etnik di Rotterdam. Awal abad ke-19 menandai masa keemasan batik, yang semakin dikenal saat dipamerkan di Exposition Universelle di Paris pada tahun 1900 dan memukau publik serta seniman.
Dengan masuknya industrialisasi dan globalisasi, muncul batik jenis baru, yaitu batik cap dan batik cetak. Sementara itu, batik tradisional yang diproduksi dengan teknik tulisan tangan menggunakan canting dan malam disebut batik tulis. Selain itu, imigran Indonesia ke Persekutuan Malaya turut membawa batik, memperluas penyebarannya.
Instrumen Politik hingga Komoditas Ekonomi Batik
Batik telah berperan sebagai instrumen politik yang signifikan hingga saat ini. Dalam berbagai acara resmi dan publik, batik sering digunakan oleh para pemimpin dan pejabat negara sebagai bentuk identitas nasional. Penggunaan batik dalam acara kenegaraan, seperti pelantikan presiden atau perayaan hari besar nasional, menunjukkan komitmen terhadap pelestarian warisan budaya dan memperkuat rasa kebanggaan masyarakat terhadap kain tradisional ini.
Lebih jauh lagi, pengakuan UNESCO terhadap batik sebagai Warisan Budaya Takbenda menegaskan nilai global dari batik, yang tidak hanya dilihat sebagai produk lokal tetapi juga sebagai bagian dari warisan dunia. Upaya perlindungan dan pelestarian ini menggambarkan bagaimana batik berfungsi sebagai jembatan antara budaya lokal dan global, sekaligus memperkuat posisinya dalam kebijakan budaya dan ekonomi Indonesia.
Selain itu, kebijakan pemerintah Indonesia yang menetapkan Hari Batik Nasional pada tanggal 2 Oktober setiap tahun bertujuan untuk merayakan dan mempromosikan batik sebagai bagian integral dari budaya Indonesia.Â
Kebijakan ini tidak hanya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya batik, tetapi juga menggerakkan industri kreatif dan ekonomi lokal. Dengan adanya perayaan ini, batik menjadi lebih dari sekadar kain; ia berfungsi sebagai simbol persatuan dan identitas nasional.
Batik telah muncul sebagai salah satu produk unggulan Indonesia di pasar internasional, berkontribusi signifikan terhadap perekonomian lokal dan penciptaan lapangan kerja. Dengan meningkatnya minat global terhadap produk-produk berbudaya, batik telah menjadi daya tarik bagi wisatawan dan eksportir.Â
Hal ini tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga mendukung pengrajin lokal dan industri kreatif yang bergantung pada keterampilan tradisional, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dalam komunitas lokal.
Namun, batik juga menghadapi berbagai tantangan dalam era globalisasi. Salah satu tantangan utama adalah maraknya imitasi dan produksi massal yang mengancam orisinalitas batik tulis. Produk-produk imitasi sering kali dijual dengan harga lebih murah, yang dapat mempengaruhi nilai dan persepsi masyarakat terhadap batik asli. Selain itu, mass production dapat merusak keterampilan tradisional dan menghancurkan keunikan yang menjadi ciri khas batik, yang seharusnya mencerminkan keragaman budaya Indonesia.