Mohon tunggu...
Mufid Muhammad Baihaqi
Mufid Muhammad Baihaqi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis Biasa

Memiliki ketertarikan dalam bidang ilmu humaniora, khususnya dalam bidang sejarah dan kebudayan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bagaimana Batik Menjadi Bahasa yang Menceritakan Sejarah dan Budaya Indonesia

21 September 2024   06:16 Diperbarui: 21 September 2024   09:07 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perang Diponegoro yang terjadi pada tahun 1825-1830 juga turut berdampak terhadap penyebaran batik ke berbagai wilayah. Pada masa itu para pasukan Kiai Maja mengundurkan diri ke arah timur yang sekarang bernama Majan, yang manamenjadi dikenallah Batik Majan yang muncul seusai perang itu.

Pernikahan antar keluarga kerajaan pun mempengaruhi penyebaran batik. Seperti pernikahan Kiai Hasan Basri dengan putri dari Keraton Solo, yang diantaranya dibawa ke Ponorogo dan Tegalsari. Sehingga muncullah batik tulis. Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal pasca Perang Dunia I yang dibawa oleh Kwee Seng seorang Tionghoa dari Banyumas.

Batik, yang awalnya merupakan hobi keluarga raja di Solo dan Yogyakarta, kemudian menyebar ke berbagai daerah di Pulau Jawa dan berkembang menjadi komoditas perdagangan. Batik Solo, dengan corak tradisional khas seperti Sidamukti dan Sidaluhur, sangat disukai kalangan ningrat. Di Yogyakarta, batik mulai dikenal pada masa Kerajaan Mataram Islam di bawah Panembahan Senopati, dengan desa Plered sebagai pusat pembatikan. Awalnya, batik dikerjakan oleh wanita keraton, namun semakin banyak masyarakat yang tertarik dan menirunya, sehingga pembatikan meluas. Selain itu, akibat peperangan antara keluarga raja dan dengan tentara Belanda, banyak keluarga raja yang mengungsi ke daerah baru seperti Banyumas, Pekalongan, Ponorogo, dan Tulungagung, dan turut mengembangkan seni batik di seluruh Pulau Jawa.

Berdasarkan peninggalan sejarah dan cerita turun-temurun, batik diperkirakan sudah dikenal di Tasikmalaya sejak zaman Kerajaan Tarumanagara, dengan kemungkinan pemanfaatan pohon tarum untuk pembuatan batik. Selain itu, batik juga berkembang di luar Jawa, termasuk di Sumatera Barat, yang menjadi konsumen batik, terutama dari Pekalongan, Solo, dan Yogyakarta, sejak sebelum Perang Dunia I. Meskipun industri tenun tangan seperti "tenun Silungkang" sudah ada, batik tetap digemari.

Pembatikan di Padang mulai berkembang setelah pendudukan Jepang, ketika pedagang batik mencari cara untuk membuat batik sendiri akibat lesunya perdagangan. Ciri khas Batik Padang adalah warna hitam, kuning, dan merah ungu dengan pola Banyumasan, Indramayuan, Solo, dan Yogyakarta.

Di antara berbagai jenis batik, Batik Pekalongan paling populer hingga kini. Interaksi masyarakat Pekalongan dengan berbagai bangsa seperti Cina, Belanda, Arab, India, Melayu, dan Jepang berpengaruh pada motif dan warna batik. Motif seperti Jlamprang terinspirasi dari India dan Arab, sementara Batik Encim dan Klengenan dipengaruhi oleh peranakan Cina. Batik Belanda (atau Batik VOC) dan Batik Pagi Sore berkembang pesat sejak pendudukan Jepang.

Dulunya, batik memiliki motif baku dengan makna filosofis, terdiri dari pola geometrik dan non-geometrik. Pakaian batik menunjukkan status sosial dan sering digunakan dalam upacara daur hidup. Namun, seiring perkembangan, batik juga berfungsi sebagai kain hiasan, digunakan untuk seprei, taplak meja, dan sarung kursi.

Secara umum, corak-corak batik sendiri tergolong sangat banyak, yang menyesuaikan dengan budaya masing-masing daerah batik tersebut dibuat, yang mana memerlukan tulisan ekstra untuk membahas tersebut. Berdasarkan lokasinya pun, batik terbagi menjadi dua macam, yakni batik pesisiran dan batik pedalaman. Batik pesisiran cenderung berkembang lebih cepat karena mendapatkan pengaruh dari luar, dari motif hingga teknik pembuatannya.

Mengenai teknologi dan metode produksi batik,  Sir Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java Volume I memberikan gambaran yang mendetail mengenai itu, serta menunjukkan pentingnya batik sebagai bagian dari tradisi dan budaya lokal. Raffles menggambarkan proses panjang dan melelahkan dalam pengolahan kapas menjadi kain, yang melibatkan beberapa tahapan manual seperti pemisahan biji dengan menggunakan gilng'an, pemukulan, dan pemintalan (ngnti). Proses-proses ini menunjukkan bahwa produksi tekstil, termasuk batik, sangat bergantung pada tenaga kerja manual dan teknik yang diwariskan secara turun-temurun. Hal ini memperlihatkan betapa pentingnya peran perempuan dalam industri tekstil, terutama karena mereka memegang kendali penuh atas proses ini.

Proses membatik yang digambarkan Raffles cukup detail, memperlihatkan bagaimana penggunaan lilin (wax) menjadi inti dari teknik membatik. Dia menjelaskan bahwa pembatik menggunakan alat canting, sejenis kuas kecil dengan tabung untuk mengalirkan malam cair guna menggambar pola di atas kain. Teknik ini memerlukan keterampilan tinggi karena motif dan warna harus diproses secara manual, lapis demi lapis.

Raffles juga menyebutkan bahwa motif-motif batik memiliki nilai sosial dan kultural yang berbeda-beda. Beberapa motif secara khusus hanya boleh dikenakan oleh kalangan bangsawan atau raja, seperti btik prang rsa dan btik swat, yang eksklusif bagi raja. Hal ini menekankan bahwa batik berfungsi sebagai penanda status sosial dalam masyarakat Jawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun