"Clothes are like a language that could tell you a lot about history and cultures."
- LEP - Learn English Podcast, "Fashion & Times," LEP Learn English Podcast, May 11, 2024, YouTube video, 1:16, https://youtu.be/uspDh2_dz1Y.
Malam tadi saya sedang menonton video di YouTube berjudul Fashion & Times yang diunggah oleh LEP - Learn English Podcast. Dalam video itu ada satu dialog yang menarik perhatian saya, yakni "Clothes are like a language that could tell you a lot about history and cultures".Â
Pikiran saya menjadi teralihkan karena dialog tersebut, setelah saya selesai menonton videonya, saya pun mulai menulis ini. Pikiran saya menjadi menjadi teralihkan karena saya langsung mengingat batik yang oleh UNESCO dimasukkan ke dalam daftar the Intangible Cultural Heritage of Humanity pada September 2009, yang mana sebagai bentuk rasa syukur, kita menetapkan 2 Oktober sebagai hari Batik Nasional.
Representasi Sejarah dan Warisan Budaya
Batik, sebuah teknik mewarnai dan menggambar motif serta pola pada kain dengan menggunakan lilin. Secara umum motif dan pola yang digambar berbeda-beda dalam berbagai daerah di Indonesia. Beberapa motif dan pola memiliki makna simbolis dan hanya digunakan pada acara-acara tertentu, sedangkan yang lain diciptakan untuk memenuhi permintaan pasar dan tren.
Dalam sejarahnya, meskipun batik sudah ada di mana-mana sejak lama, untuk asal muasal munculnya batik tersebut sulit untuk dilacak, sebagaimana yang dikatakan oleh McCabe Elliott dalam bukunya Batik, fabled cloth of Java.
Sejarah batik di Indonesia--bisa jadi--berkaitan dengan Kerajaan Mataram Hindu pada kisaran abad ke-9 s/d ke ke-10 dan Kerajaan Majapahit pada abad ke-13 dan seterusnya, masa Kerajaan Mataram Islam, lalu diterusan oleh Kesultanan Surakarta dan Yogyakarta.Â
Pada abad ke-17 diperkirakan batik mulai dikenal luas, yang memang pada awalnya batik dikhususkan untuk pakaian keluarga para raja Jawa dan pengikutnya sehingga pengerjaannya terbatas dalam lingkungan keraton, namun seiring bertambah banyaknya pengikut raja maka pengerjaan batik ini dikerjakan di masing-masing rumah para abdi dalem.Â
Selanjutnya batik ini ditiru mula-mula oleh orang terdekat abdi dalem dan meluas menjadi pekerjaan harian kaum wanita untuk mengisi waktu senggang mereka, yang pada akhirnya batik ini menjadi pakaian yang bisa dipakai dari segala golongan.Batik kemudian semakin berkembang menjelang akhir abad ke-18, paling tidak pada awal abad ke-19. Batik yang dihasilkan awalnya ialah batik tulis sampai awal abad ke-20. Lalu sekitar tahun 1920-an--seusai Perang Dunia I--batik cap mulai diperkenalkan. Konon jejak-jejak peninggalan Batik pada masa Kerajaan Majapahit masih dapat ditelusuri di daerah Tulungagung, Jombang dan Mojokerto, yang sampai abad ke-19 batik masih populer di Mojokerto.
Perang Diponegoro yang terjadi pada tahun 1825-1830 juga turut berdampak terhadap penyebaran batik ke berbagai wilayah. Pada masa itu para pasukan Kiai Maja mengundurkan diri ke arah timur yang sekarang bernama Majan, yang manamenjadi dikenallah Batik Majan yang muncul seusai perang itu.
Pernikahan antar keluarga kerajaan pun mempengaruhi penyebaran batik. Seperti pernikahan Kiai Hasan Basri dengan putri dari Keraton Solo, yang diantaranya dibawa ke Ponorogo dan Tegalsari. Sehingga muncullah batik tulis. Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal pasca Perang Dunia I yang dibawa oleh Kwee Seng seorang Tionghoa dari Banyumas.
Batik, yang awalnya merupakan hobi keluarga raja di Solo dan Yogyakarta, kemudian menyebar ke berbagai daerah di Pulau Jawa dan berkembang menjadi komoditas perdagangan. Batik Solo, dengan corak tradisional khas seperti Sidamukti dan Sidaluhur, sangat disukai kalangan ningrat. Di Yogyakarta, batik mulai dikenal pada masa Kerajaan Mataram Islam di bawah Panembahan Senopati, dengan desa Plered sebagai pusat pembatikan. Awalnya, batik dikerjakan oleh wanita keraton, namun semakin banyak masyarakat yang tertarik dan menirunya, sehingga pembatikan meluas. Selain itu, akibat peperangan antara keluarga raja dan dengan tentara Belanda, banyak keluarga raja yang mengungsi ke daerah baru seperti Banyumas, Pekalongan, Ponorogo, dan Tulungagung, dan turut mengembangkan seni batik di seluruh Pulau Jawa.
Berdasarkan peninggalan sejarah dan cerita turun-temurun, batik diperkirakan sudah dikenal di Tasikmalaya sejak zaman Kerajaan Tarumanagara, dengan kemungkinan pemanfaatan pohon tarum untuk pembuatan batik. Selain itu, batik juga berkembang di luar Jawa, termasuk di Sumatera Barat, yang menjadi konsumen batik, terutama dari Pekalongan, Solo, dan Yogyakarta, sejak sebelum Perang Dunia I. Meskipun industri tenun tangan seperti "tenun Silungkang" sudah ada, batik tetap digemari.
Pembatikan di Padang mulai berkembang setelah pendudukan Jepang, ketika pedagang batik mencari cara untuk membuat batik sendiri akibat lesunya perdagangan. Ciri khas Batik Padang adalah warna hitam, kuning, dan merah ungu dengan pola Banyumasan, Indramayuan, Solo, dan Yogyakarta.
Di antara berbagai jenis batik, Batik Pekalongan paling populer hingga kini. Interaksi masyarakat Pekalongan dengan berbagai bangsa seperti Cina, Belanda, Arab, India, Melayu, dan Jepang berpengaruh pada motif dan warna batik. Motif seperti Jlamprang terinspirasi dari India dan Arab, sementara Batik Encim dan Klengenan dipengaruhi oleh peranakan Cina. Batik Belanda (atau Batik VOC) dan Batik Pagi Sore berkembang pesat sejak pendudukan Jepang.
Dulunya, batik memiliki motif baku dengan makna filosofis, terdiri dari pola geometrik dan non-geometrik. Pakaian batik menunjukkan status sosial dan sering digunakan dalam upacara daur hidup. Namun, seiring perkembangan, batik juga berfungsi sebagai kain hiasan, digunakan untuk seprei, taplak meja, dan sarung kursi.
Secara umum, corak-corak batik sendiri tergolong sangat banyak, yang menyesuaikan dengan budaya masing-masing daerah batik tersebut dibuat, yang mana memerlukan tulisan ekstra untuk membahas tersebut. Berdasarkan lokasinya pun, batik terbagi menjadi dua macam, yakni batik pesisiran dan batik pedalaman. Batik pesisiran cenderung berkembang lebih cepat karena mendapatkan pengaruh dari luar, dari motif hingga teknik pembuatannya.
Mengenai teknologi dan metode produksi batik, Â Sir Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java Volume IÂ memberikan gambaran yang mendetail mengenai itu, serta menunjukkan pentingnya batik sebagai bagian dari tradisi dan budaya lokal. Raffles menggambarkan proses panjang dan melelahkan dalam pengolahan kapas menjadi kain, yang melibatkan beberapa tahapan manual seperti pemisahan biji dengan menggunakan gilng'an, pemukulan, dan pemintalan (ngnti). Proses-proses ini menunjukkan bahwa produksi tekstil, termasuk batik, sangat bergantung pada tenaga kerja manual dan teknik yang diwariskan secara turun-temurun. Hal ini memperlihatkan betapa pentingnya peran perempuan dalam industri tekstil, terutama karena mereka memegang kendali penuh atas proses ini.
Proses membatik yang digambarkan Raffles cukup detail, memperlihatkan bagaimana penggunaan lilin (wax) menjadi inti dari teknik membatik. Dia menjelaskan bahwa pembatik menggunakan alat canting, sejenis kuas kecil dengan tabung untuk mengalirkan malam cair guna menggambar pola di atas kain. Teknik ini memerlukan keterampilan tinggi karena motif dan warna harus diproses secara manual, lapis demi lapis.
Raffles juga menyebutkan bahwa motif-motif batik memiliki nilai sosial dan kultural yang berbeda-beda. Beberapa motif secara khusus hanya boleh dikenakan oleh kalangan bangsawan atau raja, seperti btik prang rsa dan btik swat, yang eksklusif bagi raja. Hal ini menekankan bahwa batik berfungsi sebagai penanda status sosial dalam masyarakat Jawa.
Dari aspek ekonomi, Raffles menjelaskan variasi harga berdasarkan kualitas kain, baik dari segi benang yang digunakan maupun teknik pewarnaan, seperti perbedaan antara kain yang diwarnai sebelum ditenun (lri) dan setelah ditenun (btik). Ini menunjukkan bahwa batik merupakan komoditas ekonomi yang berharga, dengan nilai yang bervariasi tergantung pada tingkat kerumitan dan kualitas pengerjaannya. Ia mencatat, "The price of each advances sometimes fifty per cent. beyond this, when the production is scarce or out of season." Hal ini menunjukkan bahwa batik dan kain tradisional lainnya dapat menjadi sumber pendapatan yang signifikan, terutama dalam situasi produksi terbatas.
Deskripsi Raffles menekankan bahwa batik adalah bagian integral dari budaya dan ekonomi Jawa. Tidak hanya sebagai barang konsumsi, tetapi juga sebagai artefak budaya yang merefleksikan status sosial dan keterampilan seni.
Pada tahun 1873, saudagar Belanda Van Rijekevorsel menyumbangkan selembar batik yang diperolehnya di Indonesia ke Museum Etnik di Rotterdam. Awal abad ke-19 menandai masa keemasan batik, yang semakin dikenal saat dipamerkan di Exposition Universelle di Paris pada tahun 1900 dan memukau publik serta seniman.
Dengan masuknya industrialisasi dan globalisasi, muncul batik jenis baru, yaitu batik cap dan batik cetak. Sementara itu, batik tradisional yang diproduksi dengan teknik tulisan tangan menggunakan canting dan malam disebut batik tulis. Selain itu, imigran Indonesia ke Persekutuan Malaya turut membawa batik, memperluas penyebarannya.
Instrumen Politik hingga Komoditas Ekonomi Batik
Batik telah berperan sebagai instrumen politik yang signifikan hingga saat ini. Dalam berbagai acara resmi dan publik, batik sering digunakan oleh para pemimpin dan pejabat negara sebagai bentuk identitas nasional. Penggunaan batik dalam acara kenegaraan, seperti pelantikan presiden atau perayaan hari besar nasional, menunjukkan komitmen terhadap pelestarian warisan budaya dan memperkuat rasa kebanggaan masyarakat terhadap kain tradisional ini.
Lebih jauh lagi, pengakuan UNESCO terhadap batik sebagai Warisan Budaya Takbenda menegaskan nilai global dari batik, yang tidak hanya dilihat sebagai produk lokal tetapi juga sebagai bagian dari warisan dunia. Upaya perlindungan dan pelestarian ini menggambarkan bagaimana batik berfungsi sebagai jembatan antara budaya lokal dan global, sekaligus memperkuat posisinya dalam kebijakan budaya dan ekonomi Indonesia.
Selain itu, kebijakan pemerintah Indonesia yang menetapkan Hari Batik Nasional pada tanggal 2 Oktober setiap tahun bertujuan untuk merayakan dan mempromosikan batik sebagai bagian integral dari budaya Indonesia.Â
Kebijakan ini tidak hanya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya batik, tetapi juga menggerakkan industri kreatif dan ekonomi lokal. Dengan adanya perayaan ini, batik menjadi lebih dari sekadar kain; ia berfungsi sebagai simbol persatuan dan identitas nasional.
Batik telah muncul sebagai salah satu produk unggulan Indonesia di pasar internasional, berkontribusi signifikan terhadap perekonomian lokal dan penciptaan lapangan kerja. Dengan meningkatnya minat global terhadap produk-produk berbudaya, batik telah menjadi daya tarik bagi wisatawan dan eksportir.Â
Hal ini tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga mendukung pengrajin lokal dan industri kreatif yang bergantung pada keterampilan tradisional, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dalam komunitas lokal.
Namun, batik juga menghadapi berbagai tantangan dalam era globalisasi. Salah satu tantangan utama adalah maraknya imitasi dan produksi massal yang mengancam orisinalitas batik tulis. Produk-produk imitasi sering kali dijual dengan harga lebih murah, yang dapat mempengaruhi nilai dan persepsi masyarakat terhadap batik asli. Selain itu, mass production dapat merusak keterampilan tradisional dan menghancurkan keunikan yang menjadi ciri khas batik, yang seharusnya mencerminkan keragaman budaya Indonesia.
Untuk menjaga keaslian dan nilai budaya batik, masyarakat dan pemerintah telah melakukan berbagai upaya, seperti penguatan regulasi perlindungan hak kekayaan intelektual dan promosi batik sebagai warisan budaya. Selain itu, ada dorongan untuk mendorong inovasi dalam desain dan produksi batik, dengan menggabungkan teknik tradisional dan modern.Â
Program-program pelatihan bagi pengrajin dan inisiatif untuk menciptakan desain yang relevan dengan tren global diharapkan dapat meningkatkan daya saing batik di pasar internasional tanpa mengorbankan nilai-nilai budaya yang ada.
 Upaya ini bertujuan untuk memastikan bahwa batik tetap menjadi simbol identitas budaya Indonesia, sekaligus berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi di era globalisasi.
Akhir dari tulisan ini
Batik, sebagai warisan budaya Indonesia yang diakui oleh UNESCO, tidak hanya berfungsi sebagai kain, tetapi juga sebagai medium komunikasi yang merefleksikan sejarah, identitas, dan nilai-nilai sosial masyarakat. Sejarahnya yang kaya, mulai dari masa Kerajaan Mataram hingga penyebarannya ke berbagai daerah, menunjukkan evolusi batik dari simbol status sosial ke komoditas ekonomi yang signifikan.
Proses pembuatan batik yang melibatkan teknik tradisional serta keterampilan tangan yang diwariskan secara turun-temurun, mencerminkan kontribusi perempuan dalam industri tekstil, sekaligus menegaskan nilai-nilai budaya yang terintegrasi dalam motif dan desainnya.Â
Dalam konteks kontemporer, batik telah menjadi simbol identitas nasional dan instrumen politik yang memperkuat rasa kebanggaan masyarakat terhadap warisan budaya mereka.
Namun, tantangan era globalisasi, seperti produksi massal dan imitasi, mengancam keaslian batik. Oleh karena itu, perlunya upaya pelestarian yang melibatkan regulasi perlindungan hak kekayaan intelektual dan inovasi dalam desain menjadi semakin mendesak. Melalui upaya tersebut, batik diharapkan tetap menjadi simbol kekayaan budaya Indonesia sekaligus berkontribusi terhadap perekonomian lokal dan global.
Dengan demikian, batik bukan sekadar produk tekstil, melainkan bahasa yang mengungkapkan cerita sejarah dan budaya, yang perlu terus dilestarikan untuk generasi mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H