“18 Tahun, Yah” . diapun mulai menanyakan hal-hal yang basa-basi menurutku, bahkan dia lupa anaknya sekarang berumur berapa. aku hanya menjawab seperlunya saja, dan aku merasa kurang nyaman dengan perbincangan sperti ini.
“Ayah ada urusan apa tiba-tiba kemari?” tanyaku tegas.
“untuk melihatmu tumbuh, Nak. Mutia, ada hal yang harus ayah sampaikan ke kamu. Apa kamu berfikir kalau selama ini Ibu sudah meninggal, saudara-saudaramu, dan nenek kakekmu?”
“iya, bukankah memang seperti itu?”. Aku sudah muak mengigat mereka.
“Tidak Mut, mereka masih ada” kata-kata itu sungguh mengusik diriku
“lantas kenapa!! Kenapa jika mereka masih hidup mereka tak mau hidup denganku? Kenapa aku harus hidup sendirian seperti ini. Apa ayah pikir Mutia sanggup seperti ini? Ayah salah! Mutia tak pernah ikhlas hidup seperti ini Yah!”
Pria itu hanya tersenyum, apa yang lucu dari perkataanku itu, perlahan akupun menjauh dari meja dan mulai berlari menuju kamar. Mengeluarkan air mata yang sedari tadi aku tahan. Isak tangispun menderu-deru, tak bisa aku kendalikan dengan baik. Tak kudengar suara langkah kaki di luar kamar. Mungkia dia hanya tetap duduk disitu. Masih saja hati ini terasa sakit, bahkan sakitnya bertambah karena faktanya mereka masih ada, masih hidup. Mataku yang berair tiada henti-hentinya tiba-tiba tertuju pada suatu bingkisan di pojok kamar dari pak pos tadi, entah kenapa hatiku tergerak utuk membukanya. Kubuka setiap lapis bungkusnya, aku hanya bisa diam saat mengetahui isinya.
Buku “Laporan Perkembangan Mutia Tri Gunawan/Melania Rose”
Beberapa foto..
Baju penuh bekas darah..
Boneka Hello Kitty..