Mohon tunggu...
Cerpen

-Tanpa Judul-

12 April 2016   11:59 Diperbarui: 12 April 2016   12:13 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Masih sama seperti kemarin, hujan deras menyapu jalanan kota yang berdebu, sekaligus menyapu pejalan kaki yang sedari tadi lalu lalang di depan kedai tempat aku bekerja paruh waktu, karna mereka lebih memilih untuk berteduh daripada harus membasahi baju mereka yang mahal. Masih sama seperti kemarin, hari ini pelanggan begitu ramai, membuatku harus mengeluarkan segenap staminaku, mencucurkan keringatku lebih dari biasanya. 

Maklum, ini adalah hari libur semester, bayak para remaja yang memilih nongkrong di kedai kopi daripada harus duduk termenung di rumah mereka masing-mamsing. Mencari suasana baru dengan mengobrol bersama teman-teman mereka dengan ditemani secangkir kopi kecil yang dihabiskan selama berjam jam. Mereka seumuranku, hanya saja yang membedakan aku dengan mereka di liburan ini adalah, aku bekerja, mereka tidak. Itu saja.

Untuk apa bekerja paruh waktu? Tentu saja untuk membiayai uang hidupku. Tak perlu bekerja yang full time, aku hanya menghidupi diriku sendiri, untuk kebutuhan sehari-hari, sedangkan biaya pendidikanku sudah diatur dengan baik oleh ‘Ayah’ku.  Ibuku? Saudara-saudaraku? Nenek? Kakek? Mereka hilang, sudah mati mungkin. Apa aku kesepian? Jelas. 

Hidup sendirian di sebuah kontrakan kecil di sekitar kampusku, di pusat kota, sendirian disini. Melakukan apapun sendiri  tanpa di temani saudara-saudara untuk bermain, tanpa ibu yang selalu memasakkan sarapan di pagi hari, tanpa nenek dan kakek yang menasehatiku atau menceritakan masa-masanya. Sedangkan ayahku yang masih tegak berdiri dengan jas setelannya entah tak mau menemuiku, mungkin karena pekerjaannya yang terlalu hebat dan sibuk, hingga tak sempat melihat anaknya yang terkapar dalam sepi disini. 

Mereka bilang aku sangat dewasa dalam memilih hidup yang seperti ini. Tidak! Jelas bukan karena aku memilih, tapi karena aku terpaksa menjadi seperti ini. Aku sama sekali belum dewasa, karena mungkin untuk selamanya aku akan hidup dalam keterpaksaan dan tak mampu mengikhlaskan semuanya. Terlalu kejam, terlalu sakit untuk dimaafkan.

Satu persatu pelangganpun mulai keluar dari kedai seiring dengan larutnya malam yang dinginnya mulai menusuk. Musim dingin memang melelahkan. Akupun mengganti pakaian kerjaku dengan pakaian santai, bersiap untuk pulang. Tak ada yang special, hanya itu saja. Bekerja, selesai, dan pulang. Hanya saja malam ini aku menerima honorku yang pas-pasan. Aku sudah berencana untuk membeli makanan yang enak untuk malam ini. Menyusuri pinggir jalan, berharap masih ada penjual sate yang masih menjajakan dagangannya. 

Namun, yang kudapati hanyalah sisa-sisa tusuknya yang berceceran di sana. Mungkin sudah tutup karena sudah larut malam juga. Akhirnya tiada pilihan lain selain membeli bahan makanan yang tersedia di supermarket yang buka 24 jam. Sesampainya di rumah, aku hanya memasak seadanya, aku harus tahu diri, ini bukan waktunya untuk bereksperimen, tiada gunanya kalau yang terjadi hanyalah kegagalan dalam memasak.

 Aku memasak 3 jenis makanan, dan menuangkan minuman ringan di gelas cantikku. Ku tata sedemikian rapi di meja makan yang kecil. Akupun duduk tenang, memandangi meja makanku, memandang apa yang ada di depanku, di samping kanan da kiriku, tak ada apa-apa, aku tersenyum simpul, memejamkan mata, dan berbisik “Happy Birthday to Me”.

Air mata terjatuh.

Aku menangis.

Lagi…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun