Mohon tunggu...
Ryan Ari Rap
Ryan Ari Rap Mohon Tunggu... Penulis - Petani dan Penikmat Kopi, dari Desa untuk Indonesia

Baca. Baca. Baca. Menulis. Menulis. Menulis. Seorang pemuda dari desa nun jauh di kaki perbukitan Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, berkecimpung di bidang pemeberdayaan masyarakat dan dunia digital marketing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Wanita yang Memunggungi Hujan

20 Oktober 2017   11:47 Diperbarui: 21 Oktober 2017   01:52 2181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: www.pinterest.com

Selama aku mengenalnya belum pernah aku melihat dia memesan minuman dingin. Tapi pagi ini Darti memesan segelas es teh hijau. Seperti biasa dia menempati kursi di pojok ruangan kedai Noltida, sebuah kedai yang selalu memutar kenangan bagi pengunjung setianya. Kenapa aku bisa memastikan kedai ini mampu memutar kenangan, karena begitulah lahirnya kedai ini, aku bagian masuk daftar pelanggan pertama yang sedikit banyak tahu seluk beluk kedai ini.

Darti adalah pelanggan setia, hampir bisa dipastikan setiap pagi dia berada di kedai ini, memesan minuman kesukaannya segelas kopi americano. Tapi pagi ini aku menyaksikan tidak ada segelas kopi americano di mejanya. Aku melirik Feny, dia barista di kedai ini, kami sama-sama bertanya ada apa dengan Darti dan segelas es teh hijau yang dia pesan.

Aku memesan segelas es teh hijau, ya minuman yang sama dengan Darti, walau ketika aku memutuskan datang ke kedai ini yang ingin aku minum adalah segelas kopi V60. Aku mengambil posisi duduk tak jauh dari Darti hanya selang beberapa meja. Dengan jelas aku bisa menyaksikan kegusaran yang sedang Darti rasakan, atau mungkin sebuah asumsi semata. Ingin aku mengambil posisi satu meja dengan Darti tapi raut wajahnya seolah menolak siapa pun untuk mendekat.

Pada posisi yang mantap aku nikmati segelas es teh hijau, sungguh nikmat dan dingin.

***

Hujan tiba-tiba mengguyur dengan derasnya, sesekali suara petir terdengar, langit begitu gelap, lampu jalan mulai menyala, orang-orang berlarian berebut tempat berteduh. Tepat di depan pandanganku halte bus kota yang semula kosong sudah sesak terisi. Lalu belum sampai enam menit guyuran hujan itu berhenti, langit kembali terang benderang. Dua pelangi mengaris di ujung sudut kota, begitu indah, orang-orang keluar dari tempat berteduh, berebut tempat terbaik untuk mengabadikan dua pelangi yang begitu memesona, berfoto ria. Lalu langit kembali mendung, kedua pelangi lenyap, suara petir kembali terdengar, kilatan menyambar-nyambar begitu mengerikan. Orang-orang kembali berebut tempat berteduh.

Sebentar, ada yang aku lewatkan dalam beberapa menit yang lalu. Di halte itu, ya ada seorang wanita yang tak beranjak ketika hujan reda, dan tetap setia pada posisinya, membelakangi jalan raya, memunggungi hujan, dan tak peduli dengan kedua pelangi yang begitu indah. Siapa wanita itu?

Sudah lebih enam menit dan hujan masih setia dengan derasnya, membasahi bumi dan mulai mencipta genangan di jalan beraspal, pada selokan kota yang sempit air mulai meluap, sampah-sampah plastik mulai beradu cepat muncul ke permukaan, meramaikan jalan raya yang sepi tanpa kendaraan satu pun. 

Lampu-lampu jalan yang semula melawan gelap hujan mulai padam, dari ujung sebelah kiri perempatan sebuah trafo sepertinya meledak entah sebab petir atau korsleting. Orang-orang mulai cemas, panik dan mengadu kepada layar datar yang setia di genggaman tangan. Aku pun demikian, mencoba mencari informasi namun sinyal telekomunikasi sama sekali tidak muncul.

Wanita itu masih pada tempat dan posisi yang sama, tiada layar datar di genggaman tangannya. Dia menunduk dan khusyuk, membenarkan posisi duduknya dan mengeluarkan sebuah buku dari tas punggungnya, lalu menyamankan posisi untuk membaca. Siapa wanita itu? Tidakkah dia tahu hujan yang begitu deras disertai angin ribut ini bisa mengirimkan tempias dab membasahi lembar-lembar buku yang dia baca?

Sudah lebih dua puluh satu menit dan hujan belum juga memberi tanda segera reda. Listrik yang padam dan jaringan telekomunikasi yang masih tidak bisa digunakan mulai membuat kepanikan. Kepala orang-orang yang sedari tadi menunduk berangsur mulai tegak, menyaksikan hujan dan amukan angin, serta luapan air yang mulai mendekati pijakan mereka. 

Beberapa mulai memaksakan diri untuk menerobos hujan dan pasrah untuk basah, sisanya masih ragu dan berharap cemas. Wanita itu semakin larut dengan buku bacaannya, sesekali ia tersenyum kemudian tampak marah, lalu bingung. Aku lebih bingung lagi menerka-nerka siapa wanita itu.

Di luar dugaan, ketika menit ke dua puluh sembilan hujan yang kedua ini, pohon beringin tidak jauh dari halte itu tumbang, suara pohon tumbang itu begitu dahsyat menghantam mobil sedan yang terparkir di bahu jalan lalu suara alarm mobil itu berdecit tidak karuan, orang-orang semakin panik. Beberapa memastikan bahwa tidak ada orang di dalam mobil itu, lalu kembali menuju tempat berteduh. Wanita itu masih acuh, dia tidak bergerak tidak mengalihkan pandangan dan masih memunggungi hujan dengan buku di pangkuan. Aku semakin bingung dan penasaran, siapa wanita itu?

Di menit selanjutnya, aku sudah tidak lagi tahu itu menit ke berapa, mungkin empat puluh tiga, hujan semakin deras angin ribut semakin tak terkendali, sampah-sampah beterbangan. Orang-orang semakin panik, mereka yang awalnya ragu menerobos hujan mulai bersiap pergi dari halte dan mencari tempat yang lebih aman. Ketakutan yang sama seperti yang aku rasakan melihat mereka dari kejauhan, di belakang halte itu ada pohon beringin besar, bisa saja pohon itu tumbang jika hujan dan angin tidak segera reda. Wanita itu tetap setia dengan posisinya, orang-orang mulai pergi.

Sumber gambar: www.pinterest.com
Sumber gambar: www.pinterest.com
Kini di halte itu tinggal wanita itu seorang. Hujan setia, dan aku menyaksikan pohon beringin di belakang halte mulai bergoyang, seperti menggeliat memberi tanda akar-akarnya tak lagi mampu menahan amukan hujan dan angin. Semua mata tertuju pada wanita itu, orang-orang dari seberang jalan berteriak memberi tanda dan wanita itu tetap memunggungi hujan. Aku tanpa sadar ikut berteriak. Sambaran petir, langit gelap, dan pohon beringin itu tumbang. Aku seketika berdiri dari tempat dudukku berteriak dan siap berlari.

***
"Hai, es teh hijaumu sudah habis, kau mau tambah satu gelas lagi?" Darti memegang tanganku. Aku masih tidak paham, posisiku sungguh membingungkan, aku sedang memegang segelas es teh hijau dengan sedotan di mulutku.

"Sebentar lagi hujan, apa boleh aku pindah di mejamu?" Darti melanjutkan. Aku hanya menganggukkan kepala, meletakan gelas, menarik sedotan dari mulutku dan membenarkan posisi duduk.

"Aku tidak suka hujan, aku ingin memunggunginya" Ucap Darti sembari mengambil sebuah buku dari tas punggungnya. Aku diam. Oh Darti.

Yogyakarta 20 Oktober 2017
Mudjirapontur

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun