Mohon tunggu...
Ryan Ari Rap
Ryan Ari Rap Mohon Tunggu... Penulis - Petani dan Penikmat Kopi, dari Desa untuk Indonesia

Baca. Baca. Baca. Menulis. Menulis. Menulis. Seorang pemuda dari desa nun jauh di kaki perbukitan Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, berkecimpung di bidang pemeberdayaan masyarakat dan dunia digital marketing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Wanita yang Memunggungi Hujan

20 Oktober 2017   11:47 Diperbarui: 21 Oktober 2017   01:52 2181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: www.pinterest.com

Beberapa mulai memaksakan diri untuk menerobos hujan dan pasrah untuk basah, sisanya masih ragu dan berharap cemas. Wanita itu semakin larut dengan buku bacaannya, sesekali ia tersenyum kemudian tampak marah, lalu bingung. Aku lebih bingung lagi menerka-nerka siapa wanita itu.

Di luar dugaan, ketika menit ke dua puluh sembilan hujan yang kedua ini, pohon beringin tidak jauh dari halte itu tumbang, suara pohon tumbang itu begitu dahsyat menghantam mobil sedan yang terparkir di bahu jalan lalu suara alarm mobil itu berdecit tidak karuan, orang-orang semakin panik. Beberapa memastikan bahwa tidak ada orang di dalam mobil itu, lalu kembali menuju tempat berteduh. Wanita itu masih acuh, dia tidak bergerak tidak mengalihkan pandangan dan masih memunggungi hujan dengan buku di pangkuan. Aku semakin bingung dan penasaran, siapa wanita itu?

Di menit selanjutnya, aku sudah tidak lagi tahu itu menit ke berapa, mungkin empat puluh tiga, hujan semakin deras angin ribut semakin tak terkendali, sampah-sampah beterbangan. Orang-orang semakin panik, mereka yang awalnya ragu menerobos hujan mulai bersiap pergi dari halte dan mencari tempat yang lebih aman. Ketakutan yang sama seperti yang aku rasakan melihat mereka dari kejauhan, di belakang halte itu ada pohon beringin besar, bisa saja pohon itu tumbang jika hujan dan angin tidak segera reda. Wanita itu tetap setia dengan posisinya, orang-orang mulai pergi.

Sumber gambar: www.pinterest.com
Sumber gambar: www.pinterest.com
Kini di halte itu tinggal wanita itu seorang. Hujan setia, dan aku menyaksikan pohon beringin di belakang halte mulai bergoyang, seperti menggeliat memberi tanda akar-akarnya tak lagi mampu menahan amukan hujan dan angin. Semua mata tertuju pada wanita itu, orang-orang dari seberang jalan berteriak memberi tanda dan wanita itu tetap memunggungi hujan. Aku tanpa sadar ikut berteriak. Sambaran petir, langit gelap, dan pohon beringin itu tumbang. Aku seketika berdiri dari tempat dudukku berteriak dan siap berlari.

***
"Hai, es teh hijaumu sudah habis, kau mau tambah satu gelas lagi?" Darti memegang tanganku. Aku masih tidak paham, posisiku sungguh membingungkan, aku sedang memegang segelas es teh hijau dengan sedotan di mulutku.

"Sebentar lagi hujan, apa boleh aku pindah di mejamu?" Darti melanjutkan. Aku hanya menganggukkan kepala, meletakan gelas, menarik sedotan dari mulutku dan membenarkan posisi duduk.

"Aku tidak suka hujan, aku ingin memunggunginya" Ucap Darti sembari mengambil sebuah buku dari tas punggungnya. Aku diam. Oh Darti.

Yogyakarta 20 Oktober 2017
Mudjirapontur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun