Selama aku mengenalnya belum pernah aku melihat dia memesan minuman dingin. Tapi pagi ini Darti memesan segelas es teh hijau. Seperti biasa dia menempati kursi di pojok ruangan kedai Noltida, sebuah kedai yang selalu memutar kenangan bagi pengunjung setianya. Kenapa aku bisa memastikan kedai ini mampu memutar kenangan, karena begitulah lahirnya kedai ini, aku bagian masuk daftar pelanggan pertama yang sedikit banyak tahu seluk beluk kedai ini.
Darti adalah pelanggan setia, hampir bisa dipastikan setiap pagi dia berada di kedai ini, memesan minuman kesukaannya segelas kopi americano. Tapi pagi ini aku menyaksikan tidak ada segelas kopi americano di mejanya. Aku melirik Feny, dia barista di kedai ini, kami sama-sama bertanya ada apa dengan Darti dan segelas es teh hijau yang dia pesan.
Aku memesan segelas es teh hijau, ya minuman yang sama dengan Darti, walau ketika aku memutuskan datang ke kedai ini yang ingin aku minum adalah segelas kopi V60. Aku mengambil posisi duduk tak jauh dari Darti hanya selang beberapa meja. Dengan jelas aku bisa menyaksikan kegusaran yang sedang Darti rasakan, atau mungkin sebuah asumsi semata. Ingin aku mengambil posisi satu meja dengan Darti tapi raut wajahnya seolah menolak siapa pun untuk mendekat.
Pada posisi yang mantap aku nikmati segelas es teh hijau, sungguh nikmat dan dingin.
***
Hujan tiba-tiba mengguyur dengan derasnya, sesekali suara petir terdengar, langit begitu gelap, lampu jalan mulai menyala, orang-orang berlarian berebut tempat berteduh. Tepat di depan pandanganku halte bus kota yang semula kosong sudah sesak terisi. Lalu belum sampai enam menit guyuran hujan itu berhenti, langit kembali terang benderang. Dua pelangi mengaris di ujung sudut kota, begitu indah, orang-orang keluar dari tempat berteduh, berebut tempat terbaik untuk mengabadikan dua pelangi yang begitu memesona, berfoto ria. Lalu langit kembali mendung, kedua pelangi lenyap, suara petir kembali terdengar, kilatan menyambar-nyambar begitu mengerikan. Orang-orang kembali berebut tempat berteduh.
Sebentar, ada yang aku lewatkan dalam beberapa menit yang lalu. Di halte itu, ya ada seorang wanita yang tak beranjak ketika hujan reda, dan tetap setia pada posisinya, membelakangi jalan raya, memunggungi hujan, dan tak peduli dengan kedua pelangi yang begitu indah. Siapa wanita itu?
Sudah lebih enam menit dan hujan masih setia dengan derasnya, membasahi bumi dan mulai mencipta genangan di jalan beraspal, pada selokan kota yang sempit air mulai meluap, sampah-sampah plastik mulai beradu cepat muncul ke permukaan, meramaikan jalan raya yang sepi tanpa kendaraan satu pun.Â
Lampu-lampu jalan yang semula melawan gelap hujan mulai padam, dari ujung sebelah kiri perempatan sebuah trafo sepertinya meledak entah sebab petir atau korsleting. Orang-orang mulai cemas, panik dan mengadu kepada layar datar yang setia di genggaman tangan. Aku pun demikian, mencoba mencari informasi namun sinyal telekomunikasi sama sekali tidak muncul.
Wanita itu masih pada tempat dan posisi yang sama, tiada layar datar di genggaman tangannya. Dia menunduk dan khusyuk, membenarkan posisi duduknya dan mengeluarkan sebuah buku dari tas punggungnya, lalu menyamankan posisi untuk membaca. Siapa wanita itu? Tidakkah dia tahu hujan yang begitu deras disertai angin ribut ini bisa mengirimkan tempias dab membasahi lembar-lembar buku yang dia baca?
Sudah lebih dua puluh satu menit dan hujan belum juga memberi tanda segera reda. Listrik yang padam dan jaringan telekomunikasi yang masih tidak bisa digunakan mulai membuat kepanikan. Kepala orang-orang yang sedari tadi menunduk berangsur mulai tegak, menyaksikan hujan dan amukan angin, serta luapan air yang mulai mendekati pijakan mereka.Â