Mohon tunggu...
Tari Abdullah
Tari Abdullah Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Nama lengkap Mudjilestari tapi lebih sering disapa dengan Tari Abdullah profesi sebagai penulis, conten creator, dan motivator. Ibu dari 4 anak berstatus sebagai single parent. Berdarah campuran sunda - jawa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sesal dalam Bingkai Rindu

7 Mei 2021   15:28 Diperbarui: 7 Mei 2021   16:36 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ingatannya seperti diputar ulang,  mamanya menatap lama saat ia pamit hendak ke kembali Jakarta. Perempuan yang merawatnya sejak bayi itu memeluknya erat seakan tak ingin melepas anak perempuannya pergi, tapi Tiar harus mengejar pesawat pertama yang akan membawanya kembali pada rutinitasnya untuk minggu ke depan.

Diciumnya pipi mamanya kiri dan kanan, sekilas ia melihat pipi itu makin tirus, hatinya berdesir, betapa ia tak pernah memperhatikan sedetil itu, mata tua mamanya yang mulai mengabur seakan menyimpan rindu dan ingin berlama-lama bersamanya. Tiar mengelus punggung tangan perempuan yang selalu menjadi tempatnya bercerita. Namun, akhir-akhir ini kesibukannya semakin meningkat hingga ia sering harus tinggal di Jakarta lebih lama, tiba-tiba perempuan itu merasa kangen bermanja di pangkuan mamanya, sekedar melepas penat sambil merasakan belaian tangan mamanya yang selalu membuatnya ingin bermanja meski usianya tak lagi remaja.

"Mama sabar, ya. Minggu ini banyak yang harus diselesaikan sebelum libur lebaran.  Insya Allah nanti lebaran aku cuti, kita sama-sama ke Magelang," ujar Tiar lembut. Mamanya cuma mengangguk, tangannya yang keriput mengelus kepala Tiar yang tertutup jilbab segiempat bermotif bunga-bunga kecil.

"Janji, ya," pinta mamanya lirih, menatap penuh harap. "Mama rindu Paklek sama Bulekmu."

"Iya, Ma. Sekarang aku pergi dulu, ya." Tiar mencium punggung tangan mama, perempuan itu memeluk putri kesayangannya sekali lagi, kali ini lebih erat seakan tak ingin melepaskan, sudut matanya basah.

Namun, janji tak selamanya bisa ditepati, lebaran Tiar lagi-lagi tak bisa pulang, ada rapat mendadak dengan para Manager Area se Asia Tenggara,  di Cipanas. Bahkan perempuan itu hanya sempat bersabar melakukan pesan singkat,  karena seluruh penjuru pikirnya terfokus pada evaluasi kinerja cabang yang dibawahinya. Sebulan setelah lebaran pun berlalu, hingga telepon dari Riska asisten rumah tangga yang bertugas merawat mamanya siang itu menyentakkan ingatan pada janjinya pada perempuan yang amat disayang.

Taksi Bandara yang ditumpanginya berhenti tepat di depan rumah, Tiar tersekat, pandangannya nanar, hatinya berdegup kencang, rumahnya ramai. Tetangga berkumpul di halaman yang sudah terpasang tenda dan beberapa orang nampak sedang menyiapkan keranda.

"Mama," pekik Tiar berusaha menerobos kerumunan orang yang memadat di ruang tengah. Kakinya mendadak lemas, perempuan itu jatuh terduduk ketika matanya menatap tubuh yang terbujur kaku terbungkus kafan. Air matanya tumpah tak terbendung, tangisnya pecah menyayat, bahunya terguncang.

"Mbak Tiar, yang ikhlas, Mbak." Seorang perempuan mengelus bahunya lembut.

"Mamamu orang baik, insya Allah husnul khotimah," ujar Bu Sri, sahabat mamanya sambil memeluk Tiar yang makin terguncang dalam sesal. Seandainya ia tak egois, mementingkan pekerjaannya, seandainya ia lebih mendengar kata hatinya, dan memilih pulang untuk memenuhi janji pada mamanya, mungkin ia masih sempat merayakan lebaran bersama  mamanya untuk  terakhir kalinya.  

Masih terngiang keinginan mamanya untuk lebaran di Magelang, kota kelahirannya, dan ia telah berjanji ... janji yang tak sempat ditepati. Namun, sesalnya tak berarti, mamanya telah pergi bersama rindu yang tak terobati.  Selanjutnya Tiar hanya bisa menyesali apa yang terjadi. Air matanya semakin deras mewakili sesal yang membungkus rindunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun