"Harusnya kamu bawa anti histamin supaya kalau sewaktu-waktu kambuh nggak repot."
"Biasa cuma bersin. Nanti kalau sudah kena udara segar juga hilang sendiri," ujar Khalisa menerangkan, ia tak berani menatap muka laki-laki itu, Â khawatir laki-laki itu tahu kalau ia begitu gugup, Â jantungnya berdebar tak biasa.
"Oh ya, Affan," ujar laki-laki itu sambil menangkupkan kedua tangannya di dada.
"Khalisa," jawab Khalisa membalas dengan gerakan yang sama. Diam-diam ia penasaran, dengan ekor matanya ia melirik ke arah laki-laki itu. Namun seketika ia tertunduk, laki-laki itupun tengah melakukan hal yang sama. Jantung Khalisa seakan hendak melompat keluar, molekul-molekul  malu mengaliri seluruh nadinya.
Keduanya sibuk menikmati pikirannya masing-masing dalam diam, seakan menyembunyikan debaran di hati masing-masing dan bicara hanya akan membuat debaran itu semakin kencang.
KRL tiba di stasiun di mana Khalisa harus turun.
"Maaf aku turun di sini." Khalisa mengangguk sekilas untuk pamit. Tapi laki-laki itu justru ikut berdiri.
"Aku juga turun di sini," ujarnya lalu mengikuti Khalisa yang sudah turun lebih dulu.
Khalisa semakin gugup dan salah tingkah, ia tak tahu harus mempercepat langkahnya atau menunggu agar dapat berjalan bersama. Â Rasa malu menuntun kakinya berjalan lebih cepat, tapi di sisi lain ia ingin berbincang lebih banyak dengan laki-laki itu, sungguh ia ingin mengenal lebih jauh, tapi pantaskah seorang perempuan menanyakan pribadi orang yang baru dikenalnya lebih dulu ? Pikirannya absurt, hingga tanpa sadar ia menabrak seseorang yang berjalan dari arah berlawanan.
"Astagfirullah," ucapnya terkejut. Tumpukan buku terlepas dari tangannya dan berhamburan ke lantai. Sementara orang yang menabraknya hanya menoleh sekilas lalu pergi tanpa merasa bersalah.
Khalisa memungut buku-bukunya dengan cemberut. Tiba-tiba tangannya terhenti ketika ada tangan lain memungut buku yang sama. Khalisa mendongak, seketika matanya bersitubruk dengan pemiliknya, si jaket almamater biru.