Mohon tunggu...
Mudjilestari
Mudjilestari Mohon Tunggu... Freelancer - Author motivator and mompreneur

Author, motivator, and mompreneur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kutukan Ghibah

1 September 2022   10:38 Diperbarui: 1 September 2022   10:58 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bu Ratna -- warga perumahan yang sombong, banyak yang tidak suka padamya Selain sombong kebiasaannya berghibah membuat banyak orang gerah, bahkan tak jarang orang jadi  resah karena membicarakan aib orang tanpa rasa bersalah.Pagi masih malu menyapa, Bu Ratna yang melihat Bu Dewi melintas di depan rumahnya, melambaikan tangan."Jeng, mau belanja, ya?" sapanya. Bu Dewi mengangguk, enggan.

"Bareng, yuk! Saya juga mau belanja,  biasa lah papanya anak-anak lagi libur minta di masakin rendang." ujar Bu Ratna, keluar pagar dan melangkah menyusul Bu Dewi.

Meski sedikit kurang suka, bu Dewi mengiyakan juga karena rasa sungkan terhadap orang yang lebih tua.

"Hih ... dasar perempuan gatel," gumam Bu Ratna ketika melewati rumah Bu Sita.

"Apa apa, Bu?" tanya Bu Dewi mendekat.

"Itu, lho, Jeng,  tetangga baru yang di sebelah rumah Bu Sita,"  cerocos Bu Ratna.

"Maksudnya Jasmine?" tanya Bu Dewi mengerutkan alis.

"Iya, Jasmine ... jashujan ... apalah, nggak tahu  saya, ihhh ...." Bu Ratna mengedikkan bahu, mulutnya mencibir sinis.

"Memang kenapa dengan Jasmine, Bu? Kelihatannya dia perempuan baik-baik." Bu Dewi tak mengerti.
 
"Baik gimana? Dia itu, lho, kalau diliat dari umur ... sudah tiga puluh  lebih, tapi kok, ya, belum kawin-kawin, eh ... lha kok saya liat tiap malam dia itu pulang diantar laki-laki." Bu Ratna memonyongkan bibir seperti jijik.

"Ya, mungkin aja calon suaminya, Bu," sanggah Bu Dewi.

"Halah ... wong tiap malam yang ngantar mobilnya ganti-ganti, kok, yo pasti dia itu simpenan pejabat, pantes saja nggak kawin-kawin, lha wong jadi gundik pejabat."

"Ah, Bu Ratna ini, nggak baik, lho, nuduh tanpa bukti! Kita, kan, juga nggak tahu kebenarannya," bantah Bu Dewi.

"Kebenaran opo, nyatanya wong memang dia itu perempuan nggak bener. Lha kalo perempuan  bener nggak mungkin, toh, setua itu belum menikah."

Bu Dewi hanya menggelengkan kepala, pembicaraan mereka.terhenti saat sampai di tempat tukang sayur.

Bu Dewi segera memilih dan memilah sayur dalam jumlah banyak. Mbak Sumi -- tukang sayur yang sudah tahu kebiasaan Bu Ratna memaklumi sambil sesekali menghela napas panjang.

"Kok, belanjanya banyak banget, Bu?" ujar Bu Sita yang sudah berada di situ tanpa di sadari.

"Eh, Bu Sita. Ini, Bu ... papanya anak-anak libur jadi, ya, biasa lah masak istimewa, kebetulan minta dibikinkan rendang." jawab Bu Ratna sambil menimang-nimang sayuran.

"Tapi kok ada kakap sama udang juga?" Bu Sita penasaran.

"Lha ini untuk persediaan, anak-anak itu kalo nggak cocok menunya pasti minta menu lain," jawab bu Ratna dengan dagu terangkat.  Bu Dewi mencebik,  sebel dengan sikap bu Ratna yang menurutnya berlebihan.

"Kok banyak banget, Bu?" Bu Sita masih ingin tahu.

"Yo nggak banyak, toh, cuma daging sekilo, kakap sama udang masing-masing sekilo, anak-anak itu kalo nggak banyak pasti kurang, ini juga paling sehari habis." Bu Ratna menyombong, Bu Sita menggelengkan kepala.

"Bu Sita belanja apa?" tanya Bu Ratna yang melirik sinis pada belanjaan Bu Sita.

"Ah, biasa, Bu ... tahu, tempe, sayur asem sama ikan asin." jawab bu Sita lirih, merasa risih.

"Oalah, Bu, kasian amat, sampean itu, lha kalo tiap hari makannya cuma tahu tempe mana ada gizinya? Pantesan aja anak-anak sampean sering sakit, lha wong kurang gizi. Mbok, ya suaminya suruh kerja lebih giat supaya bisa beli makanan enak. Masa kasih duit belanja kok cuma bisa buat beli tahu tempe," nyinyir Bu Ratna.

Bu Sita menunduk, tersinggung dengan kata-kata bu Ratna, memang benar yang dikatakan, suaminya cuma pegawai rendahan dengan gaji dibawah umk, setelah dipotong untuk bayar sekolah anak-anak, listrik dan lain-lain, sisanya hanya cukup untuk belanja sederhana. Namun, bu Sita tak pernah mengeluh, semua disyukurinya tanpa pernah berharap lebih.

"Oya, ngomong-ngomong, Bu, tetangga sampean itu, lho, memangnya kerja apa? Kok tiap hari pulang malam, mana tiap malam diantar sama laki-laki, gonta ganti." selidik Bu Ratna masih dengan nada nyinyir.

"Saya nggak tahu, Bu, dan saya nggak mau ikut campur urusan orang, permisi." Bu Sita pamit dan bergegas pergi.

"Eh, diajak ngobrol kok main pergi aja, nggak sopan banget. Itu namanya nggak menghargai yang ngajak ngobrol, nggak tahu apa saya ini istrinya direktur bank," sungut Bu Ratna.

"Mungkin saja bu Sita ada perlu lainnya, Bu," Mbak Sumi ikut bicara.

"Perlu opo ... sok penting," sungut Bu Ratna lagi.

'Ya wes, mbak sampean hitung belanjaku."

Mbak Sumi dengan sigap menghitung belanjaan bu Ratna dan memasukkan ke dalam kantong plastik.

"Mbak Sumi, itu si Jasmine apa pernah belanja di sini?" tanya Bu Ratna dengan mulut dimonyongkan.

"Kadang-kadang," jawab Mbak Sumi pendek.

"Eee ... tak kiro kalo sudah jadi gundiknya pejabat itu belanjanya di swalayan, ternyata sama aja belanja di tukang sayur," nyinyir bu Ratna lagi.

"Apa salahnya belanja di tukang sayur, toh, Bu? Sampean itu kok ya aneh," tukas Bu Dewi.

"Yo, aneh, toh, biasanya orang kaya belanjanya, di swalayan, gengsi kalo belanja di tukang sayur kayak gini," ujar Bu Ratna. Bu Dewi dengan Mbak Sumi saling berpandangan, lalu menggelengkan kepala bersamaan.

"Lha, iya, sebenarnya apa toh, kerjaan si Jasmine itu ... sudah berumur nggak kawin-kawin, tiap hari pulang malam yang nganter laki-laki gonta ganti mobil. Jasmine juga bajunya bermerek, wajahnya glowing kayak operasi plastik ... wajar toh, kalo saya punya pikiran dia itu gundiknya pejabat," ujar Bu Ratna berapi-api.

"Ibu-ibu di komplek sini juga harus hati-hati, suaminya dijaga, secara ada perempuan cantik, biarpun nggak jelas dia itu perawan apa janda."

"Maaf, Bu, saya duluan, sudah ditungguin sama anak-anak." Bu Dewi yang makin gerah dengan gibahan Bu Ratna pamit,  melangkah tergesa karena takut Bu Ratna akan menyusulnya.

Namun, Bu Ratna masih betah dengan gibahnya, ia terus nyerocos meski Mbak Sumi tampak kesal.

"Kalo bukan gundiknya pejabat, pasti dia itu wanita bookingan," lanjut Bu Ratna.

"Saya bukan gundiknya pejabat, Bu! Dan saya juga bukan wanita bookingan," suara itu menggelegar menghantam tepat pada sasaran.

Bu Ratna langsung pucat saat menyadari Jasmine sudah ada di sampingnya entah sejak kapan, mungkin cukup lama untuk mendengar perkataan nyinyirnya. Mbak Sumi cuma menunduk, ikut gemetar.

Jasmine menatap bu Ratna tajam, kilat-kilat kemarahan terpancar dari matanya, tiba-tiba Bu Ratna seperti merinding menatap sorot mata Jasmine. Tubuhnya mengkerut ketakutan.

"Maaf, saya pamit dulu," ucap Bu Ratna salah tingkah, tergesa pergi dari tempat itu, ia makin merasa merinding saat Jasmine masih terus menatapnya dengan sorot yang menusuk.

"Sudah, Mbak, memang orangnya seperti itu," ujar Mbak Sumi menenangkan.

'Satu perumahan juga sudah tahu kelakuan Bu Ratna, tak ada satupun yang tidak pernah digibahnya," lanjut Mbak Sumi.

"Orang seperti itu harus dikasih pelajaran, Mbak, biar tidak menjadi penyakit."

"Tapi mau gimana lagi, nggak ada yang berani mengingatkan, dia itu orang paling kaya di sini," ujar Mbak Sumi.

"Orang kaya kok belanja di tukang sayur, harusnya di swalayan, dong!" kata Jasmine mencibir.

"Oalah, Mbak ... nggak usah di masukin hati,"  Mbak Sumi menenangkan sambil sedikit tersenyum.

'Mbak Jasmine mau belanja apa?"

Jasmine menghela napas panjang, menyerahkan selembaran merah pada Mbak Sumi.

"Hari ini saya pengin bikin soto ayam, tapi ayam kampung, ya, Mbak! Jangan pake ayam potong, tolong Mbak Sumi siapin belanjaan saya termasuk bumbunya, dan nanti tolong diantar ke rumah! Saya ada perlu." Setengah berlari Jasmine meninggalkan Mbak Sumi yang  bengong.

*

Bu Ratna, membanting tubuhnya di kursi panjang, lututnya masih gemetar, kakinya lemas setelah berjalan tergesa, takut, malu, kesal, campur satu, tapi sekaligus mendongkol.

Ia menggerutu karena Mbak Sumi dan ibu-ibu yang lain tidak memberitahu bahwa Jasmine ada di tempat itu juga, bagaimana jika perempuan yang digibah itu mendengar semuanya? Meski terkenal  sebagai ratu gibah, tapi nyalinya tak cukup besar untuk berhadapan dengan kemarahan orang yang digibahnya.

"Ada apa, Mama kok pulang belanja kelihatan gelisah gitu," tegur Pak Hendra suaminya.

"Eh, enggak, Pa. Tadi cuma buru-buru aja takut panas, udah siang soalnya," kelit Bu Ratna.

"Mama nggak lagi nyari masalah, kan?" selidik Pak Hendra curiga.

"Kok Papa ngomongnya gitu?" Bu Ratna mencebik.

"Papa cuma takut aja, kebiasaan Mama berghibah itu, bisa jadi masalah."

"Lho, mama kan ngomong apa adanya, apa yang mama omongin itu kan kenyataan," bantah Bu Ratna.

"Meskipun menurut Mama itu benar, tapi selama tidak ada buktinya bisa jadi jatuhnya fitnah. Ingat, lho, fitnah itu sangat di murkai Allah. Kalaupun itu benar, juga tidak dibenarkan membicarakan aib orang, karena dalam agama menyebutkan ghibah itu bagai memakan bangkai saudaranya sendiri."

Bu Ratna terdiam, ia mengakui apa yang dikatakan suaminya itu benar, tapi setan sudah menjajah pikirannya hingga tidak lagi mendengar nasihat suamiya, yang penting ada kepuasan ketika bisa membicarakan keburukan orang lain.

"Ya, udah, buruan ke dapur, papa udah lapar, nih! papa mau beli rokok dulu,"  ujar Pak Hendra, melangkah keluar.

Saat pintu terbuka Bu Ratna terpana, hatinya berdetak kencang. Sekilas matanya menangkap sosok seseorang yang berdiri di seberang jalan. Menatap tajam ke arahnya dengan penuh dendam.

"Jasmine," gumamnya, "Mau apa dia?"

Ada hawa aneh yang membuatnya menggigil meski matahari pagi bersinar  cukup terik. Tangannya dengan cepat menutup pintu, meraih tirai dan menutupnya rapat-rapat, tapi hawa dingin makin menusuk tulang membuatnya merinding. Bergegas ia berlari ke dapur.

*

Malam beranjak menggenapkan tugasnya, Bu Ratna masih terjaga, kantuk seperti enggan menyapa, perasaannya tidak tenang. Gelisah ia mondar mandir dari kamar ke ruang tamu, suami dan anak-anak semua sudah pulas. Dari seberang jalan, ia mendengar suara mobil berhenti, pikirannya meloncat. Diliriknya jam didinding, menunjukkan pukul sebelas, waktu biasanya Jasmine pulang.

Benar,  dari balik tirai ia mengintip, tampak Jasmine turun dari mobil, diantar seorang laki-laki, Bu Ratna tersenyum, tebersit iseng, mengambil ponsel dan memotretnya sebelum  bayangan Jasmine menghilang di balik pagar.

Bu Ratna tersenyum-senyum sendiri, dengan bukti jepretan photo di ponselnya  ia merasa menang, pasti besok ibu-ibu lainnya akan percaya padanya.

Tiba-tiba ia merasakan hawa aneh menyergap,  pandangan matanya mengabur, lehernya seperti tercekik, napasnya tersengal. Ia merasa lututnya lemas, mencoba berdiri, tapi kakinya tak kuat menyangga bobot tubuhnya, ia jatuh terduduk, dan merasa seakan wajah hingga dadanya diserang hawa panas seperti terbakar.

Bu Ratna mencoba berteriak memanggil suaminya, tapi mulutnya seperti beku, yang keluar hanya gumaman-gumaman tidak jelas.

Merasa putus asa, ia mencoba merangkat, dengan bertumpu pada kedua tangan, tapi justru jatuh tersungkur, mencoba lagi, jatuh lagi hingga berulang kali.

Bu Ratna benar-benar putus asa, wajahnya makin panas seperti ditempelkan bara, suaranya lenyap, mulutnya tak bisa digerakkan, ia hanya bisa menangis ketakutan.

Wajah cantiknya berubah mengerikan, membeku  seperti arca. Di seberang jalan, seorang perempuan tengah menatapnya tajam, bibirnya menyungging senyum puas kemenangan ...

****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun