*
Bu Ratna, membanting tubuhnya di kursi panjang, lututnya masih gemetar, kakinya lemas setelah berjalan tergesa, takut, malu, kesal, campur satu, tapi sekaligus mendongkol.
Ia menggerutu karena Mbak Sumi dan ibu-ibu yang lain tidak memberitahu bahwa Jasmine ada di tempat itu juga, bagaimana jika perempuan yang digibah itu mendengar semuanya? Meski terkenal  sebagai ratu gibah, tapi nyalinya tak cukup besar untuk berhadapan dengan kemarahan orang yang digibahnya.
"Ada apa, Mama kok pulang belanja kelihatan gelisah gitu," tegur Pak Hendra suaminya.
"Eh, enggak, Pa. Tadi cuma buru-buru aja takut panas, udah siang soalnya," kelit Bu Ratna.
"Mama nggak lagi nyari masalah, kan?" selidik Pak Hendra curiga.
"Kok Papa ngomongnya gitu?" Bu Ratna mencebik.
"Papa cuma takut aja, kebiasaan Mama berghibah itu, bisa jadi masalah."
"Lho, mama kan ngomong apa adanya, apa yang mama omongin itu kan kenyataan," bantah Bu Ratna.
"Meskipun menurut Mama itu benar, tapi selama tidak ada buktinya bisa jadi jatuhnya fitnah. Ingat, lho, fitnah itu sangat di murkai Allah. Kalaupun itu benar, juga tidak dibenarkan membicarakan aib orang, karena dalam agama menyebutkan ghibah itu bagai memakan bangkai saudaranya sendiri."
Bu Ratna terdiam, ia mengakui apa yang dikatakan suaminya itu benar, tapi setan sudah menjajah pikirannya hingga tidak lagi mendengar nasihat suamiya, yang penting ada kepuasan ketika bisa membicarakan keburukan orang lain.