"I ... iya, Mang?" tanyaku bingung entah darimana lali-laki tua dengan motor keluaran tahun 70-an itu. Â
"Motornya kenapa, Den?" tanya laki-laki tua itu sambil memindai besi roda dua yang kunaiki.
"eh, ini tadi habis nganterin seorang gadis tiba-tiba mesinnya mati, Mang." jawabku sedikit malu.
"Gadis ...? Astagfirullah, maksud Aden si Devina?" Rona terkejut tergurat jelas di wajah keriput laki-laki tua itu.
"Iya, Mang. Barusan saya mengantarnya, tapi tiba-tiba dia menghilang," lirih aku menjelaskan dengan takut-takut.
Laki-laki itu menepuk bahuku, lalu menatap lurus dengan pandangan kosong.
"Devina tertinggal dari keluarganya waktu mendaki Ciremai, entah bagaimana ceritanya saya menemukan di dekat pemandian air panas. Karena tidak bisa bicara, tidak ada yang bisa membantunya menemukan keluarganya. Konon mereka berasal dari negeri China."
"Jadi ... gadis itu bukan orang sini?" tukasku kaget.
'Benar, Den. Devina bukan orang sini, sejak itu dia cuma duduk menyendiri di bawah pohon pinus dekat pintu masuk sana. Tak ada yang bisa mengajaknya bicara." Aku mengikuti telunjuk laki-laki tua itu  pada jajaran pohon pinus dimana dia menghilang tiba-tiba semalam.
"Berhari-hari dia tak mau makan, tak mau bicara, hanya duduk di bawah pohon pinus, makin lama badannya makin kurus hingga akhirnya terserang demam tinggi dan meninggal." lanjut laki-laki tua itu, matanya berembun.
"Lalu, dimana mayatnya dikuburkan, Mang?"