"Devina?" ulangku, dia mengangguk.
"Nama yang bagus, di mana rumahmu?"
Gadis itu menunjuk sebuah bangunan yang terlindung di antara kawanan pohon pinus. Sekilas bangunan itu nampak gelap dan menyeramkan, tapi sekali lagi kutepis pikiran buruk ... mungkin karena minimnya pencahayaan di lembah, hanya cahaya rembulan yang membiaskan kilau pada hamparan hutan yang luas.
Tiba-tiba, kurasakan angin bertiup kencang, disertai hawa dingin yang menusuk tulang. Bulan perlahan menghilang, langit berubah gelap pertanda sebentar lagi datang badai. Aku menoleh, mencari Devina, tak ingin terjebak badai, aku memutuskan untuk pulang dan bermaksud untuk pamit.
Namun, gadis itu telah menghilang, aku menyapu pandangan sekitar, rumah yang tadi di tunjuk oleh Devina pun tak nampak, hanya jajaran pohon pinus berdiri kokoh. Dahan yang meliuk diterjang angin membuat seram, seperti tangan-tangan yang siap mencengkeram.
"Dev ..., Devina," panggilku. Panik sekaligus takut, berbagai perasaan mulai menyapa.
"Devina ...!" teriakku, tak ada jawaban selain desau angin gunung yang makin menderu kencang. Tarian pinus seakan seakan menelan bebatuan yang bertengger disepanjang lembah. Yang terpikir adalah lari, tapi kaki ini seakan tertanam di tanah, mengakar tak bisa dicabut ....
Aku makin panik, dingin yang menembus tulang tak mampu menghalangi keringat  yang membasahi baju dan celana, aroma wangi bunga pinus membuat tengkukku makin meremang, sementara hanya beberapa depa di depan, ribuan tangan dengan jari-jari panjang seakan siap menerkam diriku yang kecil tak berdaya.
Kupaksakan berlari menyeret kaki yang terasa amat berat, tapi sesuatu membuatku tersandung hingga aku tersungkur. Ketika mencoba bangun, tak sengaja tangan ini mengenai sebuah batu berbentuk pipih seperti nisan. Leherku serasa tercekik. Kupaksa kaki yang terasa berat untuk berdiri, dan berjalan perlahan melewati beberapa batu nisan. Cahaya rembulan yang hampir tenggelam membantuku menemukan jalan. Aku yakin jalan keluar ada di arah sana. Aku harus fokus agar keluar dari area ini secepat mungkin.
Tiba-tiba sesuatu seperti menjeratku. Inilah yang paling kutakutkan, terdampar di gunung dan tersesat di hutan yang gelap dan mengerikan, ada rasa sesal kenapa ngotot pergi sendiri, merasa jumawa karena telah menakhlukkan banyak puncak ancala. Nyatanya nyaliku tak sebesar kesombongan dan egoku.
Tiba-tiba seseorang menepuk lenganku, "Aden ayo cepat turun, sebentar lagi hujan. Takut badai."