Mohon tunggu...
Mudjilestari
Mudjilestari Mohon Tunggu... Freelancer - Author motivator and mompreneur

Author, motivator, and mompreneur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis Lembah Cilengkrang

30 Agustus 2022   09:51 Diperbarui: 30 Agustus 2022   10:04 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Devina?" ulangku, dia mengangguk.

"Nama yang bagus, di mana rumahmu?"

Gadis itu menunjuk sebuah bangunan yang terlindung di antara kawanan pohon pinus. Sekilas bangunan itu nampak gelap dan menyeramkan, tapi sekali lagi kutepis pikiran buruk ... mungkin karena minimnya pencahayaan di lembah, hanya cahaya rembulan yang membiaskan kilau pada hamparan hutan yang luas.

Tiba-tiba, kurasakan angin bertiup kencang, disertai hawa dingin yang menusuk tulang. Bulan perlahan menghilang, langit berubah gelap pertanda sebentar lagi datang badai. Aku menoleh, mencari Devina, tak ingin terjebak badai, aku memutuskan untuk pulang dan bermaksud untuk pamit.

Namun, gadis itu telah menghilang, aku menyapu pandangan sekitar, rumah yang tadi di tunjuk oleh Devina pun tak nampak, hanya jajaran pohon pinus berdiri kokoh. Dahan yang meliuk diterjang angin membuat seram, seperti tangan-tangan yang siap mencengkeram.

"Dev ..., Devina," panggilku. Panik sekaligus takut, berbagai perasaan mulai menyapa.

"Devina ...!" teriakku, tak ada jawaban selain desau angin gunung yang makin menderu kencang. Tarian pinus seakan seakan menelan bebatuan yang bertengger disepanjang lembah. Yang terpikir adalah lari, tapi kaki ini seakan tertanam di tanah, mengakar tak bisa dicabut ....

Aku makin panik, dingin yang menembus tulang tak mampu menghalangi keringat  yang membasahi baju dan celana, aroma wangi bunga pinus membuat tengkukku makin meremang, sementara hanya beberapa depa di depan, ribuan tangan dengan jari-jari panjang seakan siap menerkam diriku yang kecil tak berdaya.

Kupaksakan berlari menyeret kaki yang terasa amat berat, tapi sesuatu membuatku tersandung hingga aku tersungkur. Ketika mencoba bangun, tak sengaja tangan ini mengenai sebuah batu berbentuk pipih seperti nisan. Leherku serasa tercekik. Kupaksa kaki yang terasa berat untuk berdiri, dan berjalan perlahan melewati beberapa batu nisan. Cahaya rembulan yang hampir tenggelam membantuku menemukan jalan. Aku yakin jalan keluar ada di arah sana. Aku harus fokus agar keluar dari area ini secepat mungkin.

Tiba-tiba sesuatu seperti menjeratku. Inilah yang paling kutakutkan, terdampar di gunung dan tersesat di hutan yang gelap dan mengerikan, ada rasa sesal kenapa ngotot pergi sendiri, merasa jumawa karena telah menakhlukkan banyak puncak ancala. Nyatanya nyaliku tak sebesar kesombongan dan egoku.

Tiba-tiba seseorang menepuk lenganku, "Aden ayo cepat turun, sebentar lagi hujan. Takut badai."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun