Mohon tunggu...
Mudjilestari
Mudjilestari Mohon Tunggu... Freelancer - Author motivator and mompreneur

Author, motivator, and mompreneur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis Lembah Cilengkrang

30 Agustus 2022   09:51 Diperbarui: 30 Agustus 2022   10:04 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bayangan angkuh Gunung Ciremai yang memiliki ketinggian 3.078 mdpl, tampak gagah dimalam hari. Gunung api tertinggi di Jawa Barat dengan topografi yang berombak, berbukit, hingga bergunung masih menyisakan keindahan yang baru saja kurengkuh dalam pendakian siang tadi. Berbagai macam tumbuhan anggrek dan tanaman hias yang menarik seperti Kantong semar dan Dadap Jingga, selain bunga abadi edelweis menambah keelokan gunung yang menjadi Puncak Jawa Barat tersebut.Melalui jalur Palutungan Kuningan, bisa ditemui aneka satwa langka,  macan tutul jawa, surili,  elang jawa, elang hitam, bahkan sempat juga bertemu lutung-- kera ekor panjang. Konon di gunung Ciremai juga ada 2 jenis burung yang terancam punah seperti cica matahari dan poksai kuda, ada lagi dua jenis burung dengan status rentan yaitu ciung mungkal jawa dan celepuk jawa. Sayangnya aku tak sempat menemukan satwa langka tersebut, Aku ingin memanfaatkan sisa waktu untuk menikmati air panas alami di lembah Cilengkrang sambil menikmati keindahan hamparan pinus yang menjulang tinggi.Rupanya keasikan membuatku lupa waktu, hari mulai gelap. Aku bergegas menuju tempat penitipan motor. Malam berselimut kabut pertanda hujan segera menyapa, gegas aku melajukan motor membelah larik-larik jalan menembus jalan yang berbatasan dengan lembah dan tebing. Namun, tiba-tiba motor terhenti, sedikit heran aku turun dan memeriksa. Jarum penunjuk bensin masih berada di atas,  busi masih memantikkan percikan api, aku mengerutkan alis tak mengerti, kunyalakan sebatang rokok pengusir kecamuk.

Habis sebatang rokok, kucoba kembali menyalakan motor, aneh ... kali ini menyala tanpa hambatan.  Ketika hendak melaju, seseorang menyapaku. Wajahnya orientalnya yang khas  dengan sepasang mata kecil tersenyum padaku. Aku menatap tak berkedip, otakku bekerja dengan cepat, mengingatkan agar hati-hati terhadap siapa saja yang tidak dikenal. Namun, di sisi lain, mata tak ingin lepas dari gadis berkulit kuning pucat yang ada di hadapanku saat ini.

Perasaanpun mulai riuh bergemuruh, di tengah malam kala gelap kian pekat, bertemu seorang gadis bak bidadari adalah suatu anugerah, sengaja mengabaikan rambu peringatan adanya bahaya, entah dari manusia berhati srigala yang siap memangsa, ataupun dari makhluk tak kasat mata yang sesekali ingin menunjukkan jati dirinya.

"Sendirian?" tanyaku berharap. Gadis berwajah pucat itu, hanya mengangguk.

"Di mana tinggalmu?" Aku bertanya lagi, berharap bisa memanfaatkan kesemparan untuk lebih dekat lagi. Siapa yang sanggup untuk tidak jatuh cinta pada wajah yang terpahat begitu sempurna.

"Mau kuantar pulang?" Aku menawarkan, ternyata gadis itu mengangguk, membuat hatiku bersorak girang.

"Kamu tinggal di mana?"  Gadis itu mengarahkan ujung dagunya ke lembah Cilengkrang.  Aku mengerutkan alis, merasa aneh ... tapi segera kutepis pikiran buruk. Mungkin gadis ini memang tinggal di daerah sekitar, bukankah banyak rumah semi permanen di sekitar taman nasional tersebut. Kebanyakan mereka adalah kaum urban yang menggantungkan hidup dari para wisatawan pengunjung wisata air panas.

Malam kian beranjak, aku bersiap menjalankan motor matik butut yang setia menemani perjalananku selama ini. Dengan sigap menyilakan gadis itu naik ke boncengan motor. Nampaknya perasaanku tak bertepuk sebelah tangan, gadis berkulit kuning pucat itu meski lebih banyak diam, tapi sorot matanya yang teduh cukup mewakili perasaan yang ingin disampaikan padaku.

Inikah yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama? Jika memang benar, aku akan sabar menunggu sampai kamu siap untuk mengampaikan  perasaanmu. Batinku mulai sibuk bersenandika.

Sebuah tepukan halus mendarat di pundak, aku menghentikan laju motor, di tepi hutan pinus.  Gadis berambut hitam sepinggang itu meloncat turun, dengan senyum yang masih melengkung sempurna ia mengangguk.

"Hai, siapa namamu?" tanyaku penasaran setengah berteriak.
 
Gadis itu menunduk, sambil jongkok menuliskan sesuatu di tanah dengan ujung jarinya, aku mengikuti telunjuknya yang mengukir rangkaian huruf. ''Devina." Perlahan aku mengeja, lalu memandang wajahnya yang tertimpa cahaya rembulan.

"Devina?" ulangku, dia mengangguk.

"Nama yang bagus, di mana rumahmu?"

Gadis itu menunjuk sebuah bangunan yang terlindung di antara kawanan pohon pinus. Sekilas bangunan itu nampak gelap dan menyeramkan, tapi sekali lagi kutepis pikiran buruk ... mungkin karena minimnya pencahayaan di lembah, hanya cahaya rembulan yang membiaskan kilau pada hamparan hutan yang luas.

Tiba-tiba, kurasakan angin bertiup kencang, disertai hawa dingin yang menusuk tulang. Bulan perlahan menghilang, langit berubah gelap pertanda sebentar lagi datang badai. Aku menoleh, mencari Devina, tak ingin terjebak badai, aku memutuskan untuk pulang dan bermaksud untuk pamit.

Namun, gadis itu telah menghilang, aku menyapu pandangan sekitar, rumah yang tadi di tunjuk oleh Devina pun tak nampak, hanya jajaran pohon pinus berdiri kokoh. Dahan yang meliuk diterjang angin membuat seram, seperti tangan-tangan yang siap mencengkeram.

"Dev ..., Devina," panggilku. Panik sekaligus takut, berbagai perasaan mulai menyapa.

"Devina ...!" teriakku, tak ada jawaban selain desau angin gunung yang makin menderu kencang. Tarian pinus seakan seakan menelan bebatuan yang bertengger disepanjang lembah. Yang terpikir adalah lari, tapi kaki ini seakan tertanam di tanah, mengakar tak bisa dicabut ....

Aku makin panik, dingin yang menembus tulang tak mampu menghalangi keringat  yang membasahi baju dan celana, aroma wangi bunga pinus membuat tengkukku makin meremang, sementara hanya beberapa depa di depan, ribuan tangan dengan jari-jari panjang seakan siap menerkam diriku yang kecil tak berdaya.

Kupaksakan berlari menyeret kaki yang terasa amat berat, tapi sesuatu membuatku tersandung hingga aku tersungkur. Ketika mencoba bangun, tak sengaja tangan ini mengenai sebuah batu berbentuk pipih seperti nisan. Leherku serasa tercekik. Kupaksa kaki yang terasa berat untuk berdiri, dan berjalan perlahan melewati beberapa batu nisan. Cahaya rembulan yang hampir tenggelam membantuku menemukan jalan. Aku yakin jalan keluar ada di arah sana. Aku harus fokus agar keluar dari area ini secepat mungkin.

Tiba-tiba sesuatu seperti menjeratku. Inilah yang paling kutakutkan, terdampar di gunung dan tersesat di hutan yang gelap dan mengerikan, ada rasa sesal kenapa ngotot pergi sendiri, merasa jumawa karena telah menakhlukkan banyak puncak ancala. Nyatanya nyaliku tak sebesar kesombongan dan egoku.

Tiba-tiba seseorang menepuk lenganku, "Aden ayo cepat turun, sebentar lagi hujan. Takut badai."

"I ... iya, Mang?" tanyaku bingung entah darimana lali-laki tua dengan motor keluaran tahun 70-an itu.  

"Motornya kenapa, Den?" tanya laki-laki tua itu sambil memindai besi roda dua yang kunaiki.

"eh, ini tadi habis nganterin seorang gadis tiba-tiba mesinnya mati, Mang." jawabku sedikit malu.

"Gadis ...? Astagfirullah, maksud Aden si Devina?" Rona terkejut tergurat jelas di wajah keriput laki-laki tua itu.

"Iya, Mang. Barusan saya mengantarnya, tapi tiba-tiba dia menghilang," lirih aku menjelaskan dengan takut-takut.

Laki-laki itu menepuk bahuku, lalu menatap lurus dengan pandangan kosong.

"Devina tertinggal dari keluarganya waktu mendaki Ciremai, entah bagaimana ceritanya saya menemukan di dekat pemandian air panas. Karena tidak bisa bicara, tidak ada yang bisa membantunya menemukan keluarganya. Konon mereka berasal dari negeri China."

"Jadi ... gadis itu bukan orang sini?" tukasku kaget.

'Benar, Den. Devina bukan orang sini, sejak itu dia cuma duduk menyendiri di bawah pohon pinus dekat pintu masuk sana. Tak ada yang bisa mengajaknya bicara." Aku mengikuti telunjuk laki-laki tua itu  pada jajaran pohon pinus dimana dia menghilang tiba-tiba semalam.

"Berhari-hari dia tak mau makan, tak mau bicara, hanya duduk di bawah pohon pinus, makin lama badannya makin kurus hingga akhirnya terserang demam tinggi dan meninggal." lanjut laki-laki tua itu, matanya berembun.

"Lalu, dimana mayatnya dikuburkan, Mang?"

"Saya kubur di bawah pohon pinus tempat Aden berdiri tadi, Di tempat biasanya dia duduk menunggu keluarganya menjemput." ujar lelaki itu, dengan suara bergetar.

Aku mengejang seketika, napasku memburu, keringat dingin membanjir seketika bersama aroma kas wangi bunga pinus yang menusuk tajam. Lututku gemetar sehingga motor yang kutuntun terasa begitu berat. Jadi gadis di lembah Cilengkrang yang kutemui adalah arwah Devina? Tiba-tiba kepalaku begitu berat, dan selanjutnya gelap.

Sidoarjo, 30 Agustus 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun