Belum juga separuh perjalanan, air mineral yang dibawa dari bawah sudah banyak berkurang. Memang saat pendakian hal yang paling sulit dikontrol adalah pengelolaan bekal air.Â
Beruntung di pos 5 rombongan kami  menemukan sumber air. Dio, yang sudah beberapa kali mendaki Gunung, dengan cekatan mengumpulkan botol-botol kosong dari anggota rombongan dan mengisinya di sumber air tersebut. Setelah puas menikmati sejuknya mata air yang menyegarkan,  menghilangkan lelah dan haus, kami pun melanjutkan perjalanan.
Medan yang ditempuh makin terjal dan mendaki. Meski medan gunung Slamet ini sebenarnya cukup landai dan tidak terlalu terjal. Apalagi saat ini sedang musim kemarau, hingga medan tidak terlalu licin atau becek untuk dilalui.
Menuju puncak, medan mulai banyak bebatuan, Dio menyarankan untuk berhati-hati dalam menapaki batu, agar tidak salah pilih jalur. Ngeri juga membayangkan jika terpeleset, karena di kanan-kiri jurang menganga siap menerkam.
"Hati-hati!" seru Dio berkali-kali mengingatkan, ketika melihatku gamang mengambil pijakan.
"Ikuti aku," perintah Restu, laki-laki itu setengah melompati tubuhku yang kecil supaya bisa mengambil posisi di depan.
Aku hanya mengangguk, mengikuti dari belakang. Setelah berpuluh tahun sibuk dalam kesibukan di kota, Â ini adalah pendakian pertama, diusia yang tak lagi muda. Banyak hal baru yang belum pernah kutemukan sebelumnya.
Kebersamaan dan persahabatan yang sesungguhnya, fisikku tidak lagi sekuat dulu saat masih menjadi anggota mapala. Beberapa kali aku sering mencuri waktu untuk sekedar mendiamkan kaki sejenak. Belum lagi cuaca dan medan yang harus ditempuh tidak selalu bisa diprediksi. Mendaki  gunung memang tidak semudah bayangan untuk mereka yang tidak terbiasa.
"Kalo capek istirahat aja dulu, Ti," ujar Dio berkali-kali menyampaikan, sepertinya paham jika teman seperjuangannya berpuluh tahun lalu telah banyak berubah, mungkin karena tidak terlatih. Berbeda dengan Dio dan Restu yang hingga usia senja menyapa masih perkasa menakhlukkan puncak-puncak.
"Mendaki itu ndak usah terlalu ngoyo, nikmati perjalanan, kendalikan tenagamu," ujar Restu ketika kami beristirahat di pos 6
"Kita naik gunung itu, kan, untuk menikmati keindahan alam, supaya kita bisa mensyukuri betapa agungnya ciptaan Allah, dan bukan berlomba."
Kata-kata itu yang membuatku termotivasi untuk tidak menyerah, padahal nafas ini serasa sudah di ujung tenggorokan. Namun, aku bersyukur, mereka yang sering mendaki gunung, tetapi tetap bersedia menungguku yang tidak sekuat mereka.Â
Tiada alasan untuk mengeluh, mereka selalu memompakan jiwa semangat. Meski rasanya  ingin segera sampai ke puncak, tetapi bukan seperti itu esensinya. Harus tetap mengontrol energi agar bisa tetap terjaga sampai tujuan.
Rasa syukur yang tak terukur ketika kaki ini berhasil menjejak di puncak. Begitu dekat dengan awan, biru langit, sejuk angin, dan sejauh mata memandang, bentang alam yang indah, menyihir pikiran dengan rasa kagum. Â Seakan berada di tengah samudera awan yang maha luas. Betapa diri ini begitu kecil di tengah ciptaan-Nya yang Maha Agung.
Keindahan matahari terbit dari puncak gunung pun terasa berbeda. Aku belajar dari mentari pagi, yang kehadirannya selalu dinantikan untuk bisa menghangatkan.Â
Dari sisi inilah, timbul rasa syukur dan memahami setiap alam yang tercipta untuk mengindahkan bumi ini.
Ada yang mengusik pandangan mata, ketika tatap ini terpaku pada seorang perempuan sepuh berusia sekitar enam puluhan tahun. Tak nampak raga yang dimakan usia, tetap jumawa berdiri perkasa dengan senyum melengkung menghias wajahnya yang tak lagi muda.Â
Dengan sepasang mata ramahnya menyapa sesama pendaki yang paripurna sampai pada tujuan.
Saat di puncak tegur sapa dengan para pendaki lain, seperti menjadi sebuah tradisi. Hal ini yang membedakan antara tradisi dengan keramah tamahan yang memang ada dalam setiap orang.Â
Para pendaki itu seperti bertemu dengan kerabat jauh. Tak jarang sering menyapa, tersenyum, sedikit-sedikit memberi semangat dan saling menyemangati. Tidak hanya tegur sapa, terkadang sering bertanya asal dan pengalaman.
"Pendaki baru, ya." Sebuah sapa mengagetkanku yang tengah meluruskan kaki melepas penat. Aku mengangguk, melempar senyum termanis kala menyadari ibu sepuh itu telah berada di sampingku.
"Dari mana?" tanyanya lagi
"Saya dari Surabaya, Bu," jawabku, "kebetulan sedang liburan ke Magelang."
"Asli Surabaya?"
"Saya lahir di Surabaya, tapi ibu saya dari Magelang," jawabku lagi,i "kalau Ibu sendiri dari mana?"
"Saya dari Purwokerto, deket sini. Lha wong saya ini sering banget ke sini, makanya saya banyak kenal pendaki yang sering ke sini."
Mataku menatap tak berkedip, takjub dan entah apa lagi rasa yang menyeruak ketika ibu sepuh itu mengatakan sering mendaki gunung, sebuah aktivitas yang luar biasa untuk perempuan seusia beliau yang pastinya juga memiliki jiwa semangat yang luar biasa pula.
"Ibu sama siapa?" Rasa penasaran terus menggelitik
"Saya sama anak-anak." Dengan ujung dagunya menunjuk dua orang laki-laki bertubuh kekar di sebelahnya. Aku mengangguk takzim pada kedua laki-laki itu.
"Saya itu dari muda suka mendaki gunung, tapi waktu punya anak jadi mandeg karena anak masih kecil-kecil, Â tapi saya ndak nyerah, keinginan saya untuk menaklukkan puncak-puncak terus saya pendam. Nah, sekarang anak-anak sudah besar baru saya bisa melanjutkan mimpi saya. Lha, wong mimpi itu kan harus dikejar to, Mbak."
Ada yang menyelinap menggelitik hati. Seorang ibu sepuh dengan jiwa semangat yang masih membara mewujudkan mimpinya, merealisasikan hobi dan kegemarannya yang tertunda di usia yang melewati senja, bagiku itu menjadi inspirasi sendiri. Sedang aku ... apa yang aku lakukan di tempat ini.Â
Meninggalkan semua keruwetan masalah dan mencoba lari dari kenyataan tentang problematika hidup dengan mengatasnamakan liburan, dan itu bukan sikap ksatria, seorang pendaki gunung bukan pecundang yang menuangkan segala emosi jiwanya dengan menakhlukkan puncak.
"Mendaki gunung itu bagi saya suatu kesenangan yang tidak bisa ditukar dengan uang, Mbak. Karena itu adalah ekspresi dari rasa syukur di usia tua seperti saya yang masih diberi kuat, sehat, dan kesenangan sama Gusti." Â Bahagia jelas tergambar dalam setiap ucapan beliau, jiwa semangatnya berkobar memberi warna merah pada setiap ayunan kaki ringannya.
"Saya itu prihatin liat anak muda sekarang, lha wong banyak yang mendaki gunung cuma sebagai pelarian dari masalah. Akhirnya yang ndak nemu essensi dari kesenangan ketika bisa nyampe di puncak."
Aku tertunduk, perih, sakit, dan malu. Kalimat ibu sepuh itu bagai pisau yang tepat menghujam ke ulu hati. Â Begitu kerdil kah jiwa ini? Begitu picikkan pikiran ini?Â
Jika hanya ingin lari dari masalah, untuk apa menyiksa diri dengan sebuah pendakian? Jika cuma ingin melepas semua keruwetan, untuk apa membuat tubuh lelah dengan penaklukan puncak dan meraih kemenangan semu?Â
Beberapa hari aku menyibukkan diri membelah lembah, mendaki tebing terjal hanya untuk mengalihkan penat dan beban hidup yang menyesakkan.
Karena sesungguhnya kemenangan itu bukan saat diri ini berada di puncak dalam euforia, melainkan saat kita bisa mengalahkan sisi lemah yang membuat kita hilang semangat ketika berada dalam kesulitan.
Aku menemukan kembali semangat itu dalam jiwa ibu sepuh bernama Yuni ini. Wajah yang selalu menyungging senyum, menebarkan semangat pada para pendaki yang mungkin sedang kehilangan kompas kehidupan seperti diriku. Wajah malaikat yang mengobarkan jiwa semangat pada yang lebih muda untuk tak menyerah pada kerasnya tantangan hidup.
Menuruni puncak seiring mentari yang mulai lengser, Â terasa lebih ringan. Sebagian bebanku terlepas bersama lelah yang terbayar oleh bahagia bisa menaklukkan puncak.
Namun, ada yang lebih berharga, ketika ibu sepuh itu memelukku erat sebelum kami berpisah di pos 5, pelukan hangat seorang ibu yang menyadarkan tentang hakikat kemenangan yang sesungguhnya, senyum dari seorang malaikat yang membangkitkan kembali jiwa semangatku yang hampir kalah oleh masalah.
Magelang, 03 September 2020
#repost
#catatan perjalanan
#salam hormat untuk bu Yuni, pendaki sepuh asal Purwokerto.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI