"Saya dari Surabaya, Bu," jawabku, "kebetulan sedang liburan ke Magelang."
"Asli Surabaya?"
"Saya lahir di Surabaya, tapi ibu saya dari Magelang," jawabku lagi,i "kalau Ibu sendiri dari mana?"
"Saya dari Purwokerto, deket sini. Lha wong saya ini sering banget ke sini, makanya saya banyak kenal pendaki yang sering ke sini."
Mataku menatap tak berkedip, takjub dan entah apa lagi rasa yang menyeruak ketika ibu sepuh itu mengatakan sering mendaki gunung, sebuah aktivitas yang luar biasa untuk perempuan seusia beliau yang pastinya juga memiliki jiwa semangat yang luar biasa pula.
"Ibu sama siapa?" Rasa penasaran terus menggelitik
"Saya sama anak-anak." Dengan ujung dagunya menunjuk dua orang laki-laki bertubuh kekar di sebelahnya. Aku mengangguk takzim pada kedua laki-laki itu.
"Saya itu dari muda suka mendaki gunung, tapi waktu punya anak jadi mandeg karena anak masih kecil-kecil, Â tapi saya ndak nyerah, keinginan saya untuk menaklukkan puncak-puncak terus saya pendam. Nah, sekarang anak-anak sudah besar baru saya bisa melanjutkan mimpi saya. Lha, wong mimpi itu kan harus dikejar to, Mbak."
Ada yang menyelinap menggelitik hati. Seorang ibu sepuh dengan jiwa semangat yang masih membara mewujudkan mimpinya, merealisasikan hobi dan kegemarannya yang tertunda di usia yang melewati senja, bagiku itu menjadi inspirasi sendiri. Sedang aku ... apa yang aku lakukan di tempat ini.Â
Meninggalkan semua keruwetan masalah dan mencoba lari dari kenyataan tentang problematika hidup dengan mengatasnamakan liburan, dan itu bukan sikap ksatria, seorang pendaki gunung bukan pecundang yang menuangkan segala emosi jiwanya dengan menakhlukkan puncak.
"Mendaki gunung itu bagi saya suatu kesenangan yang tidak bisa ditukar dengan uang, Mbak. Karena itu adalah ekspresi dari rasa syukur di usia tua seperti saya yang masih diberi kuat, sehat, dan kesenangan sama Gusti." Â Bahagia jelas tergambar dalam setiap ucapan beliau, jiwa semangatnya berkobar memberi warna merah pada setiap ayunan kaki ringannya.