Mohon tunggu...
Muchwardi Muchtar
Muchwardi Muchtar Mohon Tunggu... Jurnalis - penulis, pelaut, marine engineer, inspektur BBM dan Instruktur Pertamina Maritime Center

menulis, membaca, olahraga dan presentasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Derita Prahara

17 Oktober 2024   15:01 Diperbarui: 17 Oktober 2024   20:52 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto asli Muchwardi Muchtar

Dan Derita Prahara ---adikku yang selama ini ceria--- kini seakan tanpa cita-cita. Kutemani ia berkeliling di TMII sampai sore. Makan gado-gado, minum es kopyor dan menikmati Indonesia di Teater Imax. Ohooi hari yang ceria.

Tapi Ketika Rita meminta alamatku, berniat datang bertamu ke rumahku ---tempat kediaman kakaknya ini--- di belahan timur Jakarta, aku mulai sangsi. Pertemuan demi pertemuan yang tidak disengaja, yang kemudian menimbulkan rasa simpati itu, tampaknya akan membuahi sesuatu. Akankah hukum evolusi terhadap manusia kembali berlaku?

Bukan aku tak mau dikunjungi. Bukan aku tidak suka padamu. Bukan itu, Nona. Ah…., kalau saja hidup ini dapat diulang dari awal, betapa indahnya.

“Rita, sebaiknya persahabatan yang sejati itu adalah persahabatan yang tidak dirasuki unsur lain, adikku”, demikian pernah aku menulis SMS via WhatsApp  padanya. Ketika sama-sama mencicipi minuman cincau (grass jelly) Ratu Plaza, kalimat yang sama juga kuulang. 

Dan…… ucapan itu kuulang lagi hari ini….., ketika butir-butir air sudah mulai membasahi kelopak mata Rita. Ia merebahkan kepalanya ke dadaku di bangku taman yang terletak di pojok anjungan Sumatra Barat, tanpa kuminta.

Meski adegan bagai dalam film India ini membuat pengunjung anjungan TMII siang menjelang sore itu banyak yang tertegun ketika melewati tempat kami duduk, aku tidak perduli. Persetan dengan pengunjung lainnya. Kalian membeli tiket masuk, aku juga. Jadi hak kita sama di TMII. Jangan ganggu kami…!

Isak Rita semakin keras. Kuusap kepalanya dengan kasih. Kubetulkan anak rambutnya yang tergerai ke wajahnya. Tapi akankah semua ini dapat mentuntaskan gejolak dari sanubari kami?

Sayang kediamanku sudah ada yang memagarnya, Nona.

Meski niatmu tulus barangkali, tapi aku takut dengan kenyataan  yang sering kualami dulu-dulu. Sungguh dik, dalam perjumpaan kita terakhir ini, aku merasakan sesuatu dari tatapan matamu itu. Mulut dapat diajak berdusta, tapi beningnya bola matamu yang menusuk hatiku mungkinkah dapat diajak sandiwara? Dan perasaaanku terhadapmu belakangan ini?

Cinta itu ---kata orang nan bijak--- memang indah, mempesona dan juga memabukkan. Ia jadi malapetaka besar bagi orang yang sudah mempunyai pelabuhannya di tempat lain. Akh, kalau saja hidup ini dapat diputar ulang…..

Dapatkah kau memahami ceritaku yang kau suruh tuliskan di Kompasiana yang jadi langgananmu dalam menikmati bacaan yang bermutu di medsos ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun