Dia kembali menatap mataku. Sementara itu aku membayangkan kembali fragmen demi fragmen yang tanpa direncanakan sebelumnya menyeret kami jadi bersahabat, dan malah semakin akrab.
Aku mula pertama kali mengenal wanita ini adalah ketika berada di negeri orang. Di pojok selatan Arab Street, Singapura.
Bagi turis yang pernah menginjak negara bikinan Lee Kwan Yew ini pasti tahu, bahwa di kawasan Arab Street ada beberapa toko yang menjajakan barang berupa perabotan atau aksesori kegemaran wanita modern.
Semua barang tersebut terbuat dari rotan. Sebagai “turis dadakan” yang percaya pada Buku Panduan Singapura (Guides Book to Singapore), sudah jelas wanita yang bersua denganku di Rattan Shop itu, disuruh buku panduan tersebut untuk datang ke selatan Arab Street.
Pertemuan yang biasa saja barangkali. Dia menawar barang dalam Bahasa Inggris, tapi ketika bicara dengan temannya yang wanita juga, pakai bahasa ibunya. Dialek Jakarta, lagi.
Ketika teman di sebelahku Aloysius Perdata, yang terkenal sense of humour-nya nekad menggoda. Dan ternyata, gayung bersambut.
“Ngeborong nih, ye?”, tegur Aloy.
Dua wanita yang tampaknya akan keluar meninggalkan Rattan Shop tersebut menengok kepada kami. Dan, keakraban awal pun terjadi.
Kaum hawa ini lupa, laki-laki yang baru dikenal jangan pernah disenyumi. Sebab ---umumnya sifat laki-laki normal--- jika dapat hati akan meminta jantung. Inilah yang repot. Entah karena Aloys yang pakai stelan jins atas bawah ini bertubuh bebas dari tato, entah karena aku yang memakai baju kaus motif batik bali tidak ada potongan pelaut, atau karena wanita di negeri orang ini butuh teman laki-laki, kami cepat akrab.
Bahkan ketika wanita (yang ditemani asisten pribadinya) tersebut memperkenalkan nama lengkapnya dengan Derita Prahara, mengajak kami singgah ke flatnya di Glove Avenue, kami menurut saja. Kusingkirkan tanda tanya di kepalaku, mendengar namanya yang rada aneh bunyinya itu. Kubuang hobi “melapor” (melamun porno) yang muncul tiba-tiba, ketika ia begitu ramah menjamu kami dua laki-laki di flat yang disewa orangtuanya.
Itu adalah perkenalan pertama yang tidak dilanjutkan dengan perjanjian untuk bertemu lagi hari beriktunya. Biarlah pertemuan yang terjadi terasa indah, tanpa dilanjutkan dengan kunjungan-kunjungan lain. Ini adalah prinsipku, yang selalu kupegang semenjak menginjakkan kaki bekerja di dunia laut.