Mohon tunggu...
Muchwardi Muchtar
Muchwardi Muchtar Mohon Tunggu... Jurnalis - penulis, pelaut, marine engineer, inspektur BBM dan Instruktur Pertamina Maritime Center

menulis, membaca, olahraga dan presentasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Biarlah Tuhan Mengutukku!

1 Oktober 2024   16:34 Diperbarui: 30 Oktober 2024   14:00 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto asli : Muchwardi Muchtar

Bayi yang dalam perut eMak, keluar belum waktunya. Dokter Nizar yang mengatasi pesalinan eMak, sempat menjelaskan kepada Tek Na --satu-satunya adik eMak-- bahwa eMakku mengalami depresi berat. Hanya sekitar empat puluh senja semenjak suaminya ditembak di depan matanya, dan setelah anak ke tiganya lahir prematur meninggal ketika dilahirkan, ibu kami yang melahirkan dua orang anak, satu perempuan satu laki-laki, juga dipanggil Allah Subhana Wa Taala ke alam baqa.

Musibah yang bertubi inilah yang membuat porak porandanya keluarga kami. Rumah dinas yang selama ini kami tempati, karena ayahku bergabung dengan PRRI masuk rimba, diambil pemerintah (dengan alasan) untuk direnovasi paska PRRI. Tek Na yang hidupnya hanya mengandalkan sawah pusaka, tidak pernah terniat untuk berumah tangga. Aku satu-satunya anak bujang dari uninya yang meninggal ketika melahirkan anak ke tiga, benar-benar diasuh dan dididik Tek Na bagaikan anak kandungnya sendiri.

Ketika tentara yang telah berhasil memadamkan pemberontakan PRRI di Bukittinggi, sebagian ditarik kembali ke Pulau Jawa, seorang Letnan bernama Sudirman yang sangat empati dengan kondisi yang menimpa keluarga kami akibat dari kecerobohan anak buahnya membunuh ayahku,  berulang kali datang ke rumah kami di Sanjai.

Awalnya, Letnan tersebut datang hanya sebagai bentuk keprihatinan dan penyesalan atas kejadian yang menimpa keluarga kami. Namun, pada kunjungan hari ke tujuh, beliau terus terang bermohon kepada Tek Na agar daperkenankan membawa kakakku Roswita yang berumur lima tahun ikut ke Jawa besok pagi.

Dengan dalih sudah berumah tangga sepuluh tahun tetapi belum mepunyai anak juga, Letnan Sudirman meminta kakakku Roswita untuk dijadikan sebagai anak angkatnya. Namanya kondisi rakyat yang kalah paska perang saudara, di mana Mamak rumah kami Tan Sinaro (kakak eMak) tidak diketahui keberadannya semenjak lari ke hutan bersama teman-temannya tempo hari,  tentu saja Tek Na yang hidup sendiri tidak berdaya untuk menahan anak Uninya agar jangan dibawa merantau ke Semarang, di pulau Jawa.

Kata Tek Na, semenjak terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang diotaki oleh PKI, yang membunuh tujuh orang pahlawan revolusi, hubungan surat menyurat dengan Pak Sudirman terputus. Sampai malam keberangkatanku, tidak diketahui di mana dan bagaimana keberadaan kakakku Roswita tersebut. Kata Tek Na, tanda semenjak lahir yang menempel tubuh Roswita adalah tahi lalat sebesar benggol di kuduknya.

Sebagai kompas bagiku, dari lipatan kain yang diambilnya dari rak baju yang menempel di tembok kamar, Tek Na memberikan sebuah foto pusaka ukuran kartu pos yang telah kumal di makan zaman. Dalam foto tersebut tampak berdiri kami sekeluarga berempat beranak. Ayahku yang gagah berdasi, pakai pentolon ala Demang Belanda,  berdiri di kanan eMak  yang pakai kebaya pendek berselendang tergantung di bahu. Di depan ayahku, setinggi perut ayah berdiri kakakku Roswita berambut poni, dan aku yang pakai baju matros berdiri di atas bangku bulat, di depan eMak. Usia Uni Ros yang saat itu mungkin sekitar 4 tahun, dan aku yang sudah bisa berjalan, berusia 14 bulan. Benar-benar foto sejarah yang sangat mengharukan.

Semua yang diceritakan dan dipesankan Tek Na, sebagai ibunda kedua dalam kehidupanku, kupegang  dengan erat. Meski untuk memeriksa kuduk-kuduk wanita di Jakarta tidaklah segampang yang dipesankan Tek Na, namun aku tetap tekad. Di samping mencari kehidupan yang layak sesuai dengan ijazah Sekolah Teknik Menengah jurusan mesin yang kumiliki, misi mencari kakak nan maya bagiku tetap dilaksanakan.

***

Foto Asli Muchwardi Muchtar
Foto Asli Muchwardi Muchtar

Waktu berjalan, bumi berputar membawa perubahan pula pada manusia-manusia yang mendiami kulit bumi. Meski gubernur DKI Jaya Ali Sadikin waktu itu menerapkan peraturan, bagi setiap pendatang baru yang masuk Jakarta mesti menyerahkan uang seharga tiket kapal laut (untuk mengembalikan pendatang tersebut ke negeri asalnya jika gagal hidup di ibukota), ternyata semua persyaratan tersebut dapat diatasi oleh Effendi orang yang menjadi "backing-ku" di Jakarta.

Setelah tiga bulan mendiami Jakarta, setelah puas pula mendapat kata penolakan dari perusahaan-perusahaan yang kulamar, akhirnya aku dapat juga sebuah pekerjaan. Kalau dilihat dari ijazah yang kumiliki, kerja yang kudapat memang menyimpang jauh. Daripada tidak mendapatkan kerja guna menunjang aktivitas dalam melalui hidup dan kehidupan, lebih baik menjadi supir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun