Mohon tunggu...
Muchwardi Muchtar
Muchwardi Muchtar Mohon Tunggu... Jurnalis - penulis, pelaut, marine engineer, inspektur BBM dan Instruktur Pertamina Maritime Center

menulis, membaca, olahraga dan presentasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Biarlah Tuhan Mengutukku!

1 Oktober 2024   16:34 Diperbarui: 30 Oktober 2024   14:00 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Asli Muchwardi Muchtar

Cerpen :

Biarlah Tuhan Mengutukku.........!!!

Oleh MUCHWARDI MUCHTAR

Setelah mencocokan skema yang tergambar di kertas yang kupegang,  kemudian menyamakan nomor rumah serta RT dan RW-nya, lalu rumah yang berderet dan berdempet-dempet mirip asrama ini kuhampiri. Pintunya yang seakan tidak pernah disentuh cat, kuketuk.

Dari dalam rumah terdengar bunyi dipan menjerit, disusul dengan tarikan napas seperti orang bangun dari tidur. Pintu rumah terbuka.

"Ooh, orang jauh. Saya kira tadi siapa. Ayohlah, silakan masuk, Edward". Si Empunya rumah yang hanya memakai kaus singlet bercelana kolor, menyambut kedatanganku dengan wajah gembira.

Setelah menyalamiku, Si Empunya rumah yang bernama Effendi ini membantu mengangkat tas kecilku masuk ke dalam rumah.

Mungkin karena melihat aku memandang rumah kediamannya bagaikan James Bond dalam "Film Spy 007", tanpa ditanya Effendi telah memberi penjelasan kepadaku.

"Biasa, Edw. Beginilah bentuknya rumah-rumah rakyat kecil di Jakarta. Lantai tanah, dinding bambu. Yang kaya, ya kaya; yang melarat, ya tetap saja melarat. Apakah kau canggung, Sahabat?"

Mendapat penerangan yang bertubi-tubi datangnya ini membuat aku agak terkejut. Tidak kusangka sahabatku satu kampung, yang telah lebih dulu merantau dariku begitu arifnya ketika melihat mimik wajahku menguliti rumah kediamannya tadi.

"Tidak, ah. Rumah semacam ini bukanlah barang baru bagiku, Fend. Rumah-rumah di sini, sama dengan rumah Pak Dullah, di dekat rimba Rumbia di kampung kita tempo hari. Tentu kau masih ingat, bukan?", demikian aku cuci muka, sambil menghadiahkan senyum padanya.

"Ya, Edw. Di Jakarta yang perlu bagus ke luarnya saja. Di sini, yang penting plesir. Soal tempat kita tidur hanya persoalan sekunder", Effendi kembali berkata memberi bahan baru mengenai Jakarta.

"Ingat, kawan", dia melanjutkan. "Yang perlu kita bisa dapat hidup, dan dapat uang. Kau lihat di sini, rumahku berlantai tanah, dan hanya berdipan satu. Semua itu menjadi hal yang biasa bagi warga Jakarta seperti kami", kemudian sahabatku yang tak lain anak tunggal dari Pamanku Tan Sinaro ini, membuang pandangannya ke deretan rumah liliput yang berderet sepanjang gang kumuh yang baru saja menerima injakan sepatu kets Si Pendatang baru ini.

Aku terangguk-angguk mendengar pidato pertemuan dari Effendi ini.

Apakah memang keadaan Jakarta begitu?, nanti akan kubuktikan. Yang jelas, sekarang aku telah selamat sampai di kota metropolitan Jakarta setelah mengharungi lautan dua hari dua malam dengan menumpang KM.Belle Abeto dari Telukbayur menuju Tanjungpriok.

Selesai menceritakan keadaan sanak famili kami yang telah lima tahun lebih ia tinggalkan, maka aku pun bangun dari kursi reot yang kududuki untuk pergi mandi. Maklum, selama menjadi penumpang di kapal milik perusahaan angkutan laut PT. Arafat tersebut, tidak setetes pun air menyirami tubuhku.

Melihat bentuk kamar mandi, aku tertegun.

Kalau tadi aku heran melihat bentuk bangunan rumah yang didiami Effendi, maka kini aku heran melihat kamar mandi yang dinamakan Effendi ini. Betapa tidak...! Dinding penyekat yang terbuat dari bambu yang jarang-jarang anyamannya; sumur tempat menimba air yang tidak berpagar; benar-benar aneh. Beberapa langkah dari sumur yang berpredikat kamar mandi ini, berdiri sebuah tempat berdinding kardus bekas pengepak televisi serta lempengan plastik bekas, berwarna biru. Masya Allah, ini namanya kakus!?

Inikah dia yang dinamakan keindahan Jakarta itu?                                    

Sungguh jauh perbedaannya dengan apa yang dibayangkan oleh orang-orang dari desa. Kiranya, Jakarta itu tidak lebih dari panorama sekitar jalan Thamrin dan jalan Sudirman yang post-card-nya aku punya, kiriman anak Pamanku Effendi hari raya Idul Fitri tahun lalu.

Dengan tidak sadar, ingatanku melayang kembali pada suasana kampungku yang begitu indah. Alamiah sejati. Walau tidak mengenal gedung-gedung pencakar langit, namun kebersihannya tidaklah seperti yang kulihat ketika aku baru memasuki lingkungan rumah Effendi tadi. Mana ada di desa tempat aku dilahir dan dibesarkan, di sini tempat makan dan minum, di sananya ----hanya jarak beberapa langkah---tempat kita buang air besar?!

***

Aku yang dilahirkan ke atas dunia dengan nama Edward Mantiko, di sebuah desa yang dikelilingi tiga gunung, Marapi, Singgalang, dan Sago,  sebetulnya tidaklah miskin amat. Sebagai orang yang tinggal di kaki gunung, keluargaku dari pihak ibu ada mempunyai harta sawah peninggalan Nenek kami. Tetapi, sungguh pun demikian, gejolak darah muda ini, yakni semangat merantau yang  memang telah diturunkan leluhur kami dari doeloe, tidak mungkin bisa dipatahkan oleh bujuk manis Tek Na, adik ibuku.

Tekadku hanya satu.  Dari pada di kampung menganggur karena lapangan kerja tidak pernah ada disediakan pemerintah bagi kami generasi penerus ini, lebih baik hijrah ke Jakarta. Bukankah metropolitan Jakarta itu kota serba ada yang cukup banyak menyediakan lowongan kerja apa saja bagi mereka yang mau?

Masih kuingat, sewaktu menyusun baju ke dalam tas di malam keberangkatanku ke Jakarta, Tek Na memanggilku ke beranda rumah.

Tek Na, yang sudah menganggap aku sebagai anak kandungnya sendiri, karena beliulah yang memelihara dan membesarkanku semenjak aku berusia tiga tahun, membuka terus terang kisah keluarga kami yang sebenarnya, yang selama ini bisa beliau simpan rapi.

Di beranda rumah peninggalan Iyak kami --yang sekarang jadi rumah milik Tek Na-- perempuan yang tidak pernah menikah tersebut, membuka rahasia yang selama ini beliau simpan.

***

Ketika meletus peristiwa PRRI di Sumatra Barat 15 Februari 1958, ayahku waktu itu bekerja sebagai Penilik di Dinas Sosial Bukittinggi. Karena jabatan ayahku posisinya lumayan juga, kami dapat rumah dinas dari pemerintah daerah di desa Sanjai Bukittinggi. Namun, sebagai putra Tilatang Kamang, meski ayahku sudah jadi amtenaar semenjak usia 15 tahun, didorong rasa kesetiakawanan sesama orang Agam, ayahku ikut-ikutan lari ke rimba Pasaman. Meski eMak kami mencoba mengingatkan ayah selaku abdi negara untuk tidak ikut-ikutan masuk ke hutan,  tokh tetap tidak  berhasil mementahkan rencana ayah untuk bergabung dengan teman-temannya sesama Urang Til-Kam.

Di sinilah awal kemalangan menimpa keluarga kami. Ayahku yang seharusnya menjadi abdi negara yang harus patuh kepada pemerintah Pusat, malah ikut-ikutan bergabung dengan teman-temannya satu kampung menentang kebijakan Pusat. Karena usiaku ketika pecah peristiwa PRRI baru jalan tiga tahun,  tidak banyak yang dapat kuingat apa dan bagaimana nasib ayahku.

Yang jelas, sebagaimana dikisahkan Tek Na, ayahku sebagai pemuda Agam yang dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan surau Tilatang Kamang, lebih tiga bulan tidak pulang ke rumah kami di Sanjai. Ketika Pemancar RRI di seberang jalan rumah kami dibom oleh pesawat tempur tentara Pusat, semua perlawanan ayahku dan tema-temannya berakhir sudah.

Ketika menjelang magrib, ayahku mampir ke rumah kami di Sanjai untuk melepas kerinduannya kepada eMakku yang saat itu hamil tujuh bulan, mengandung adikku Si Bungsu, semuanya pun terjadi. Rupanya, ayahku yang sudah dimata-matai (oleh temannya sendiri Si Penjilat, istilah Tek Na) disergap oleh tentara Pusat ketika berada di dalam rumah kami. Kata Tek Na, eMakku ada meratap-ratap kepada tentara yang berseragam hijau --yang kabarnya didatangkan khusus dari pulau seberang-- tapi tidak diperdulikan mereka. Ayahku yang waktu itu bersembunyi di dalam lemari kamar utama, begitu keluar dari kamar sambil mengangkat tangan, didor oleh salah seorang tentara yang sedang menjalankan perintah "operasi pembersihan" di Bukittinggi.

Nah, seorang istri melihat suaminya yang sudah menyerah ditembak di depan matanya, benar-benar membuat  eMak histeris. eMak kami pingsan. Kata Tek Na, kakak kandungnya ini ada segera dibawa naik bendi ke Rumah Sakit untuk mendapat pertolongan pertama.  Namun Tuhan Yang Maha Kuasa mentakdirkan lain.

Bayi yang dalam perut eMak, keluar belum waktunya. Dokter Nizar yang mengatasi pesalinan eMak, sempat menjelaskan kepada Tek Na --satu-satunya adik eMak-- bahwa eMakku mengalami depresi berat. Hanya sekitar empat puluh senja semenjak suaminya ditembak di depan matanya, dan setelah anak ke tiganya lahir prematur meninggal ketika dilahirkan, ibu kami yang melahirkan dua orang anak, satu perempuan satu laki-laki, juga dipanggil Allah Subhana Wa Taala ke alam baqa.

Musibah yang bertubi inilah yang membuat porak porandanya keluarga kami. Rumah dinas yang selama ini kami tempati, karena ayahku bergabung dengan PRRI masuk rimba, diambil pemerintah (dengan alasan) untuk direnovasi paska PRRI. Tek Na yang hidupnya hanya mengandalkan sawah pusaka, tidak pernah terniat untuk berumah tangga. Aku satu-satunya anak bujang dari uninya yang meninggal ketika melahirkan anak ke tiga, benar-benar diasuh dan dididik Tek Na bagaikan anak kandungnya sendiri.

Ketika tentara yang telah berhasil memadamkan pemberontakan PRRI di Bukittinggi, sebagian ditarik kembali ke Pulau Jawa, seorang Letnan bernama Sudirman yang sangat empati dengan kondisi yang menimpa keluarga kami akibat dari kecerobohan anak buahnya membunuh ayahku,  berulang kali datang ke rumah kami di Sanjai.

Awalnya, Letnan tersebut datang hanya sebagai bentuk keprihatinan dan penyesalan atas kejadian yang menimpa keluarga kami. Namun, pada kunjungan hari ke tujuh, beliau terus terang bermohon kepada Tek Na agar daperkenankan membawa kakakku Roswita yang berumur lima tahun ikut ke Jawa besok pagi.

Dengan dalih sudah berumah tangga sepuluh tahun tetapi belum mepunyai anak juga, Letnan Sudirman meminta kakakku Roswita untuk dijadikan sebagai anak angkatnya. Namanya kondisi rakyat yang kalah paska perang saudara, di mana Mamak rumah kami Tan Sinaro (kakak eMak) tidak diketahui keberadannya semenjak lari ke hutan bersama teman-temannya tempo hari,  tentu saja Tek Na yang hidup sendiri tidak berdaya untuk menahan anak Uninya agar jangan dibawa merantau ke Semarang, di pulau Jawa.

Kata Tek Na, semenjak terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang diotaki oleh PKI, yang membunuh tujuh orang pahlawan revolusi, hubungan surat menyurat dengan Pak Sudirman terputus. Sampai malam keberangkatanku, tidak diketahui di mana dan bagaimana keberadaan kakakku Roswita tersebut. Kata Tek Na, tanda semenjak lahir yang menempel tubuh Roswita adalah tahi lalat sebesar benggol di kuduknya.

Sebagai kompas bagiku, dari lipatan kain yang diambilnya dari rak baju yang menempel di tembok kamar, Tek Na memberikan sebuah foto pusaka ukuran kartu pos yang telah kumal di makan zaman. Dalam foto tersebut tampak berdiri kami sekeluarga berempat beranak. Ayahku yang gagah berdasi, pakai pentolon ala Demang Belanda,  berdiri di kanan eMak  yang pakai kebaya pendek berselendang tergantung di bahu. Di depan ayahku, setinggi perut ayah berdiri kakakku Roswita berambut poni, dan aku yang pakai baju matros berdiri di atas bangku bulat, di depan eMak. Usia Uni Ros yang saat itu mungkin sekitar 4 tahun, dan aku yang sudah bisa berjalan, berusia 14 bulan. Benar-benar foto sejarah yang sangat mengharukan.

Semua yang diceritakan dan dipesankan Tek Na, sebagai ibunda kedua dalam kehidupanku, kupegang  dengan erat. Meski untuk memeriksa kuduk-kuduk wanita di Jakarta tidaklah segampang yang dipesankan Tek Na, namun aku tetap tekad. Di samping mencari kehidupan yang layak sesuai dengan ijazah Sekolah Teknik Menengah jurusan mesin yang kumiliki, misi mencari kakak nan maya bagiku tetap dilaksanakan.

***

Waktu berjalan, bumi berputar membawa perubahan pula pada manusia-manusia yang mendiami kulit bumi. Meski gubernur DKI Jaya Ali Sadikin waktu itu menerapkan peraturan, bagi setiap pendatang baru yang masuk Jakarta mesti menyerahkan uang seharga tiket kapal laut (untuk mengembalikan pendatang tersebut ke negeri asalnya jika gagal hidup di ibukota), ternyata semua persyaratan tersebut dapat diatasi oleh Effendi orang yang menjadi "backing-ku" di Jakarta.

Setelah tiga bulan mendiami Jakarta, setelah puas pula mendapat kata penolakan dari perusahaan-perusahaan yang kulamar, akhirnya aku dapat juga sebuah pekerjaan. Kalau dilihat dari ijazah yang kumiliki, kerja yang kudapat memang menyimpang jauh. Daripada tidak mendapatkan kerja guna menunjang aktivitas dalam melalui hidup dan kehidupan, lebih baik menjadi supir.

Secara kebetulan, seorang nyonya merasa berutang budi kepadaku, sewaktu tasnya kuselamatkan dari penjambretan di Pasar Cikini, Jakarta Pusat. Tidak kusangka kalau kejadian secara kebetulan ini malah membawa titik terang bagi kehidupanku di bumi perantauan. Sebab, semenjak peristiwa itulah aku ditawarkan oleh suaminya Pak Poniman yang bertubuh gendut, menjadi supir pribadi (Supri) keluarganya.

Foto asli : Muchwardi Muchtar
Foto asli : Muchwardi Muchtar

"Yang diutamakan sebagai Supri adalah kejujuran, dan selalu mengunci mulut. Saya melihat hal ini ada pada diri 'Dik Edward", demikian Pak Poniman Direktur perusahaan yang mengageni alat-alat berat produk Jepang tersebut, menjelaskan kepadaku dalam perjalanan hari pertama aku mengemudikan mobil Holden Primeir-nya menuju kantornya di daerah Pasar Baru, Jakarta Pusat.

Ucapan yang sama, selalu diulanginya kepadaku bila setiap Sabtu siang Pak Poniman minta kuantarkan ke "Amusements Center & Steam Bath" di Jalan Blora untuk dipijit massager girls. Berjam-jam aku menunggu Direktur ini melepaskan lelah di kamar tertutup. Dan, kunci untuk menjadi Supri profesional, berhasil kubuktikan : jujur dan tutup mulut.

Selaku supir keluarga kaya yang tingal di daerah Menteng, salah satu kawasan elite di selatan Jakarta, tugasku simple saja. Setiap pagi, mengantarkan Pak Poniman ke kantornya. Kemudian mengantarkan Putri, anak tunggal mereka yang baru kelas 5 SD ke sekolah di Perguruan Cikini. Kalau menjelang siangnya Nyonya Poniman perlu belanja ke Pasar Cikini ----salah satu proyek pasar bergengsi di zamannya-- aku harus stand-by mengantarkan, menunggu di mobil, dan kemudian membawanya kembali pulang ke rumah.

Selesai melayani antar jemput Nyonya Poniman, dan menjemput Putri ke sekolahnya, aku akan stand-by di kantor Pak Poniman untuk membawa Direktur ini kembali ke rumah. Suatu rutinitas yang cukup menyenangkan jauh dari kemacetan lalulintas yang umumnya akan menjadi problem bagi kota-kota besar kelak.

Pagi itu, pagi yang membawa kesialan bagi hidupku di atas dunia. Sebagaimana biasa, setelah menyelesaikan tugas mengantarkan Pak Poniman ke kantornya, dan mengantarkan Putri ke sekolahnya, tugasku adalah stand-by duduk-duduk sambil membaca koran-koran bekas, di garasi rumah menunggu Nyonya R. Sulastri Poniman berpakaian untuk diantar belanja ke Pasar Cikini.

Tiba-tiba saja aku dikagetkan oleh pekikan dari dalam kamar. Mulanya aku menyangka Nyonya Poniman ini hanya main-main saja. Tapi..., setelah mendengar teriakan minta tolong yang ke dua kalinya, aku pun melompat masuk ke ruang tengah. Pintu kamar utama yang kebetulan tidak dikunci, kubuka dengan semangat pasang kuda-kuda, sama ketika aku mensitaralak  sampai tersungkur Penjambret tas di Pasar Cikini tempo hari.

Astaga. Rupanya sewaktu Nyonya Poniman ini akan mengenakan pakaian dalamnya yang diambil dari laci bawah lemari, dari lipatan pakaian tersebut keluar anak tikus yang masih merah. Bayi tikus yang bergerak-gerak kemerah-merahan itulah yang membuat dia menjerit. Ada-ada saja.

Tikus sialan itu aku lemparkan keluar lewat jendela. Muka Nyonya rumah yang pucat pasi tadi telah berubah rona merah. Ya, ampun......., Nyonya Poniman yang dililit handuk seadanya ini masih belum sadar dengan kondisi tubuhnya yang putih bersih itu terlihat oleh supirnya yang baru bekerja jalan satu bulan. Sedangkan aku, memandang panorama yang hanya dibalut handuk kecil seadanya membuat mataku berkunang-kunang.

Aku bukanlah malaikat  yang ditakdirkan tidak punya nafsu. Aku bukanlah nabi Yusuf yang tegar ketika digoda Siti Zulaikha sewaktu berdua-duaan berada dalam kamar istana Firaun. Sebagai pemuda normal memandang kaum Hawa dalam wujud aslinya, tentu saja panas dingin. Nyonya Poniman sendiri tidak pula merasa malu atau menyuruhku keluar begitu anak tikus kulempar ke halaman tadi. Yang kusesalkan kenapa Mbok Sutinah --pembantu rumah--  yang katanya minta izin  satu hari menengok anaknya yang sakit di desanya, Cirebon, sudah dua hari belum kembali juga? Dan..... apaboleh buat, terjadilah sebuah dosa besar dalam kamar itu dengan disaksikan kaca lemari dan sebuah gambar di dinding.

Thobaatt.....! Menyadari apa yang sudah terjadi, aku cepat berdiri memakai kembali pakaianku yang bertebaran di lantai. Sewaktu menarik tangan kananku dari kuduk Nyonya R. Sulastri Poniman yang menelungkup puas, mataku terpandang pada tahi lalat sebesar uang logam di kuduknya. Kemudian, mata kulayangkan pula mengitari kamar yang baru kali ini kumasuki.

Aku semakin tersentak. Potret kuno berbingkai yang tergantung di dinding kamar ini juga ada dalam koperku......!!!

***

 

Catatan :

  • amtenaar = pegawai kantor zaman Belanda
  • benggol = jenis mata uang tempo doeloe dari logam (=4 cm) bernilai Rp 0,025
  • sitaralak = jurus ilmu silat Minangkabau, mensitaralak = menjadikan lawan bertekuk lutut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun