Mohon tunggu...
Muchwardi Muchtar
Muchwardi Muchtar Mohon Tunggu... Jurnalis - penulis, pelaut, marine engineer, inspektur BBM dan Instruktur Pertamina Maritime Center

menulis, membaca, olahraga dan presentasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Biarlah Tuhan Mengutukku!

1 Oktober 2024   16:34 Diperbarui: 30 Oktober 2024   14:00 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto asli : Muchwardi Muchtar

Aku yang dilahirkan ke atas dunia dengan nama Edward Mantiko, di sebuah desa yang dikelilingi tiga gunung, Marapi, Singgalang, dan Sago,  sebetulnya tidaklah miskin amat. Sebagai orang yang tinggal di kaki gunung, keluargaku dari pihak ibu ada mempunyai harta sawah peninggalan Nenek kami. Tetapi, sungguh pun demikian, gejolak darah muda ini, yakni semangat merantau yang  memang telah diturunkan leluhur kami dari doeloe, tidak mungkin bisa dipatahkan oleh bujuk manis Tek Na, adik ibuku.

Tekadku hanya satu.  Dari pada di kampung menganggur karena lapangan kerja tidak pernah ada disediakan pemerintah bagi kami generasi penerus ini, lebih baik hijrah ke Jakarta. Bukankah metropolitan Jakarta itu kota serba ada yang cukup banyak menyediakan lowongan kerja apa saja bagi mereka yang mau?

Masih kuingat, sewaktu menyusun baju ke dalam tas di malam keberangkatanku ke Jakarta, Tek Na memanggilku ke beranda rumah.

Tek Na, yang sudah menganggap aku sebagai anak kandungnya sendiri, karena beliulah yang memelihara dan membesarkanku semenjak aku berusia tiga tahun, membuka terus terang kisah keluarga kami yang sebenarnya, yang selama ini bisa beliau simpan rapi.

Di beranda rumah peninggalan Iyak kami --yang sekarang jadi rumah milik Tek Na-- perempuan yang tidak pernah menikah tersebut, membuka rahasia yang selama ini beliau simpan.

***

Ketika meletus peristiwa PRRI di Sumatra Barat 15 Februari 1958, ayahku waktu itu bekerja sebagai Penilik di Dinas Sosial Bukittinggi. Karena jabatan ayahku posisinya lumayan juga, kami dapat rumah dinas dari pemerintah daerah di desa Sanjai Bukittinggi. Namun, sebagai putra Tilatang Kamang, meski ayahku sudah jadi amtenaar semenjak usia 15 tahun, didorong rasa kesetiakawanan sesama orang Agam, ayahku ikut-ikutan lari ke rimba Pasaman. Meski eMak kami mencoba mengingatkan ayah selaku abdi negara untuk tidak ikut-ikutan masuk ke hutan,  tokh tetap tidak  berhasil mementahkan rencana ayah untuk bergabung dengan teman-temannya sesama Urang Til-Kam.

Di sinilah awal kemalangan menimpa keluarga kami. Ayahku yang seharusnya menjadi abdi negara yang harus patuh kepada pemerintah Pusat, malah ikut-ikutan bergabung dengan teman-temannya satu kampung menentang kebijakan Pusat. Karena usiaku ketika pecah peristiwa PRRI baru jalan tiga tahun,  tidak banyak yang dapat kuingat apa dan bagaimana nasib ayahku.

Yang jelas, sebagaimana dikisahkan Tek Na, ayahku sebagai pemuda Agam yang dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan surau Tilatang Kamang, lebih tiga bulan tidak pulang ke rumah kami di Sanjai. Ketika Pemancar RRI di seberang jalan rumah kami dibom oleh pesawat tempur tentara Pusat, semua perlawanan ayahku dan tema-temannya berakhir sudah.

Ketika menjelang magrib, ayahku mampir ke rumah kami di Sanjai untuk melepas kerinduannya kepada eMakku yang saat itu hamil tujuh bulan, mengandung adikku Si Bungsu, semuanya pun terjadi. Rupanya, ayahku yang sudah dimata-matai (oleh temannya sendiri Si Penjilat, istilah Tek Na) disergap oleh tentara Pusat ketika berada di dalam rumah kami. Kata Tek Na, eMakku ada meratap-ratap kepada tentara yang berseragam hijau --yang kabarnya didatangkan khusus dari pulau seberang-- tapi tidak diperdulikan mereka. Ayahku yang waktu itu bersembunyi di dalam lemari kamar utama, begitu keluar dari kamar sambil mengangkat tangan, didor oleh salah seorang tentara yang sedang menjalankan perintah "operasi pembersihan" di Bukittinggi.

Nah, seorang istri melihat suaminya yang sudah menyerah ditembak di depan matanya, benar-benar membuat  eMak histeris. eMak kami pingsan. Kata Tek Na, kakak kandungnya ini ada segera dibawa naik bendi ke Rumah Sakit untuk mendapat pertolongan pertama.  Namun Tuhan Yang Maha Kuasa mentakdirkan lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun