Putusan Mahkamah Agung (MA) pada tanggal 13 September 2018 yang membolehkan Mantan Narapidana Korupsi menjadi calon anggota legislatif pada pemilu 2019 menjadi "angin busuk " dan sekaligus "angin segar" bagi bangsa Indonesia.Â
Bagi pejuang anti korupsi Putusan MA itu sebagai "angin busuk" karena jelas-jelas mencederai semangat dan komitmen pemberantasan korupsi yang sudah dinobatkan sebagai kejahatan luar biasa (ekstra ordinary crime).Â
Bagi para mantan napi koruptor, putusan MA benar benar "angin segar", karena akan memuluskan untuk menduduki kursi wakil rakyat selama lima tahun mendatang.Â
Para mantan napi yang awalnya dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) oleh KPU dengan putusan MA ini mereka secara otomatis harus dinyatakan memenuhi syarat (MS).
Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia telah meloloskan 38 bakal calon anggota legeslatif (Bacaleg) yang sebelumnya dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) oleh Komisi pemilihan Umum (KPU). Pada masa pendaftaran bacaleg, ke-38 mantan napi korupsi itu dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) oleh KPU.Â
Sebab, KPU berpedoman pada Pasal 4 ayat 3 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 tahun 2018 yang memuat larangan mantan koruptor menjadi bacaleg. Namun, para mantan koruptor tersebut, mengajukan sengketa pendaftaran ke Bawaslu dan Panwaslu setempat.Â
Hasil sengketa menyatakan seluruhnya memenuhi syarat (MS). Artinya ke 38 bacaleg diperbolehkan/dinyatakan memenuhi syarat untuk menjadi bacaleg pada pemilu tahun 2019.
Majelis Hakim MA yang terdiri dari tiga hakim agung yaitu Irfan fahrudin, Yudo Martono dan Supandi memutuskan bahwa PKPU nomor 20 tahun 2018 dinyatakan bertentangan dengan Undang Undang nomor 7 tahun 2017 khususnya pasal 240 ayat 1 huruf g yang berbunyi "Bakal calon DPR dan DPRD harus memenuhi persyaratan: tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana"
Perspektif EtikaÂ
Tindak pidana korupsi sudah dinyatakan sebagai salah satu kejahatan luar biasa (ekstra ordinary crime) yang mengharuskan adanya proses penanganan atau penyelesaian secara ekstra dalam artian ada komitmen semua pihak dan lembaga atau aparat penegak hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi sampai ke akar-akarnya.Â
Tindak pidana korupsi dikenal adagium,"mati satu tumbuh seribu", di mana adagium ini benar-benar mengusik perasaan dan kenyamanan bangsa Indonesia. Adagium tersebut mengandung makna bahwa korupsi menjadi musuh bersama karena cepat atau lambat akan merusak generasi penerus bangsa.Â
Korupsi tidak hanya melanggar nilai-nilai sosial kenegaraan, korupsi juga bertentangan dengan norma atau pesan semua agama yang dianut bangsa Indonesia. Semua agama selalu berpesan dan mengajarkan kepada umatnya untuk menjauhi segala bentuk praktik tindak pidana korupsi kapan saja dan dimana saja.
Pasca putusan MA yang membolehkan mantan napi korupsi "nyaleg", para aktivis anti korupsi melakukan kampanye dan meminta kepada KPU agar surat suara di beri tanda khusus agar masyarakat mengetahui dan memahami bahwa caleg tersebut pernah melakukan tindak pidana korupsi. Tujuannya satu, agar rakyat tidak salah pilih kepada caleg mantan napi korupsi.Â
Rakyat Indonesia tidak mungkin memilih, kalau mereka tahu ada caleg mantan napi korupsi di dalam surat suara. Mengapa demikian? Bagi bangsa Indonesia korupsi adalah musuh semua agama, musuh semua budaya. Artinya tidak ada satupun agama atau budaya yang mentolelir praktik korupsi.
Perspektif RealitaÂ
Seringkali bangsa Indonesia dipertontonkan dengan keanehan perilaku tindak pidana korupsi, mulai dari perlakuan yang terkesan "istimewa", tidak pernah di borgol sebagai layaknya pelaku tindak pidana teroris dan narkoba, sehingga bisa tebar pesona kepada wartawan, bisa berswafoto, vonis hukuman yang relatif ringan, bebas keluar masuk penjara selama masa hukuman, sampai dengan berbagai fasilitas mewah di dalam penjara.Â
Walaupun di penjara bertahun-tahun, pelaku tindak korupsi tetap nyaman saja, karena merasa hidup di hotel berbintang. Lengkap sudah kegembiraan para mantan napi korupsi, proses peradilan diperlakukan berbeda dengan pelaku kejahatan lainnya, di dalam penjara menikmati fasilitas istimewa dan setelah selesai menjalani hukuman masih bebas mencalonkan diri sebagai pejabat publik utamanya calon anggota legislatif.
Tidak hanya sampai disitu, pada pilkada serentak tahun 2018 terdapat dua calon kepala daerah yang dinyatakan sebagai tersangka dan bahkan sudah ditahan oleh KPK masih mendapat suara terbanyak dalam pilkada alias memenangkan pilkada yaitu Ahmad Hidayat Mus calon Gubernur Maluku dan Syahri Mulyo calon bupati Tulungagung, Jawa Timur.Â
Bukan sulap, bukan sihir. Ini adalah realita bahwa tersangka korupsi dan berada di dalam tahanan KPK masih mendapat kepercayaan dari rakyat untuk menjadi kepala daerah.Â
Apakah mereka terpilih dalam pilkada karena rakyat tidak tahu kalau calon yang dipilih sebagai tersangka korupsi? Tidak mungkin! di era sosial media seperti sekarang, sekecil apapun informasi sangat mudah sampai (viral) kepada masyarakat.
Dilema
Dari perspektif etika, korupsi dikatakan perilaku yang "menjijikan", memiliki daya rusak terhadap generasi bangsa yang sangat dahsyat sama seperti narkoba dan teroris.Â
Berbagai elemen berusaha secara optimal untuk memberantas korupsi salah satu contohnya telah di lakukan KPU melalui PKPU nomor 20 tahun 2018. Mengatakan benar-salah atau baik-buruk perilaku korupsi termasuk membolehkan atau tidaknya mantan napi korupsi tidak cukup berdasarkan pertimbangan normatif regulatif tetapi harus mengedepankan pertimbangan etik sosiologis.Â
Begitulah kira-kira yang ada di dalam pikiran komisioner KPU sehingga lahir PKPU nomor 20 tahun 2018. Sederhana pertimbangannya, seseorang yang sudah dinyatakan pernah melakukan tindak pidana korupsi memiliki potensi besar untuk mengulang kesalahannya.
Bawaslu dan Mahkamah Agung lebih mengedepankan pertimbangan normatif regulatif sehingga PKPU nomor 20 tahun 2018 dinyatakan bertentangan dengan Undang Undang nomor 7 tahun 2017 yang berimplikasi diperbolehkannya para mantan napi korupsi menjadi caleg pada pemilu tahun 2019.
Kebijakan atau putusan yang diambil oleh KPU, Bawaslu dan MA akan diuji oleh rakyat melalui proses pemilu tahun 2019. Berapa banyak mantan napi korupsi (38 orang) yang memperoleh dukungan suara dari rakyat sehingga mereka lolos menjadi anggota legeslatif?Â
Jika masih banyak yang lolos menjadi anggota legislatif berarti putusan Bawaslu dan MA sesuai dengan apa yang dirasakan rakyat, sebaliknya jika para mantan napi tidak ada yang lolos menjadi anggota legislatif itu artinya keputusan KPU yang sesuai kehendak rakyat.Â
Mungkinkah antara etika dan realita dalam memandang atau mensikapi tindak pidana korupsi bisa berbeda? Wallau 'alam.
Dr. M. Saekan Muchith, S.Ag, M.Pd, Peneliti Pada Tasamuh Indonesia Mengabdi (TIME), Pemerhati Pendidikan dan Sosial Keagamaan IAIN Kudus Jawa Tengah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H