Mohon tunggu...
M Saekan Muchith
M Saekan Muchith Mohon Tunggu... Ilmuwan - Dosen UIN Walisongo Semarang dan Peneliti Pada Yayasan Tasamuh Indonesia Mengabdi

Pemerhati Masalah Pendidikan, Sosial Agama dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Mengkritisi Putusan MA tentang Mantan Napi Korupsi

16 September 2018   16:15 Diperbarui: 17 September 2018   09:23 1796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.kabarmakassar.com

Korupsi tidak hanya melanggar nilai-nilai sosial kenegaraan, korupsi juga bertentangan dengan norma atau pesan semua agama yang dianut bangsa Indonesia. Semua agama selalu berpesan dan mengajarkan kepada umatnya untuk menjauhi segala bentuk praktik tindak pidana korupsi kapan saja dan dimana saja.

Pasca putusan MA yang membolehkan mantan napi korupsi "nyaleg", para aktivis anti korupsi melakukan kampanye dan meminta kepada KPU agar surat suara di beri tanda khusus agar masyarakat mengetahui dan memahami bahwa caleg tersebut pernah melakukan tindak pidana korupsi. Tujuannya satu, agar rakyat tidak salah pilih kepada caleg mantan napi korupsi. 

Rakyat Indonesia tidak mungkin memilih, kalau mereka tahu ada caleg mantan napi korupsi di dalam surat suara. Mengapa demikian? Bagi bangsa Indonesia korupsi adalah musuh semua agama, musuh semua budaya. Artinya tidak ada satupun agama atau budaya yang mentolelir praktik korupsi.

Perspektif Realita 

Seringkali bangsa Indonesia dipertontonkan dengan keanehan perilaku tindak pidana korupsi, mulai dari perlakuan yang terkesan "istimewa", tidak pernah di borgol sebagai layaknya pelaku tindak pidana teroris dan narkoba, sehingga bisa tebar pesona kepada wartawan, bisa berswafoto, vonis hukuman yang relatif ringan, bebas keluar masuk penjara selama masa hukuman, sampai dengan berbagai fasilitas mewah di dalam penjara. 

Walaupun di penjara bertahun-tahun, pelaku tindak korupsi tetap nyaman saja, karena merasa hidup di hotel berbintang. Lengkap sudah kegembiraan para mantan napi korupsi, proses peradilan diperlakukan berbeda dengan pelaku kejahatan lainnya, di dalam penjara menikmati fasilitas istimewa dan setelah selesai menjalani hukuman masih bebas mencalonkan diri sebagai pejabat publik utamanya calon anggota legislatif.

Tidak hanya sampai disitu, pada pilkada serentak tahun 2018 terdapat dua calon kepala daerah yang dinyatakan sebagai tersangka dan bahkan sudah ditahan oleh KPK masih mendapat suara terbanyak dalam pilkada alias memenangkan pilkada yaitu Ahmad Hidayat Mus calon Gubernur Maluku dan Syahri Mulyo calon bupati Tulungagung, Jawa Timur. 

Bukan sulap, bukan sihir. Ini adalah realita bahwa tersangka korupsi dan berada di dalam tahanan KPK masih mendapat kepercayaan dari rakyat untuk menjadi kepala daerah. 

Apakah mereka terpilih dalam pilkada karena rakyat tidak tahu kalau calon yang dipilih sebagai tersangka korupsi? Tidak mungkin! di era sosial media seperti sekarang, sekecil apapun informasi sangat mudah sampai (viral) kepada masyarakat.

Dilema

Dari perspektif etika, korupsi dikatakan perilaku yang "menjijikan", memiliki daya rusak terhadap generasi bangsa yang sangat dahsyat sama seperti narkoba dan teroris. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun