Berbagai elemen berusaha secara optimal untuk memberantas korupsi salah satu contohnya telah di lakukan KPU melalui PKPU nomor 20 tahun 2018. Mengatakan benar-salah atau baik-buruk perilaku korupsi termasuk membolehkan atau tidaknya mantan napi korupsi tidak cukup berdasarkan pertimbangan normatif regulatif tetapi harus mengedepankan pertimbangan etik sosiologis.Â
Begitulah kira-kira yang ada di dalam pikiran komisioner KPU sehingga lahir PKPU nomor 20 tahun 2018. Sederhana pertimbangannya, seseorang yang sudah dinyatakan pernah melakukan tindak pidana korupsi memiliki potensi besar untuk mengulang kesalahannya.
Bawaslu dan Mahkamah Agung lebih mengedepankan pertimbangan normatif regulatif sehingga PKPU nomor 20 tahun 2018 dinyatakan bertentangan dengan Undang Undang nomor 7 tahun 2017 yang berimplikasi diperbolehkannya para mantan napi korupsi menjadi caleg pada pemilu tahun 2019.
Kebijakan atau putusan yang diambil oleh KPU, Bawaslu dan MA akan diuji oleh rakyat melalui proses pemilu tahun 2019. Berapa banyak mantan napi korupsi (38 orang) yang memperoleh dukungan suara dari rakyat sehingga mereka lolos menjadi anggota legeslatif?Â
Jika masih banyak yang lolos menjadi anggota legislatif berarti putusan Bawaslu dan MA sesuai dengan apa yang dirasakan rakyat, sebaliknya jika para mantan napi tidak ada yang lolos menjadi anggota legislatif itu artinya keputusan KPU yang sesuai kehendak rakyat.Â
Mungkinkah antara etika dan realita dalam memandang atau mensikapi tindak pidana korupsi bisa berbeda? Wallau 'alam.
Dr. M. Saekan Muchith, S.Ag, M.Pd, Peneliti Pada Tasamuh Indonesia Mengabdi (TIME), Pemerhati Pendidikan dan Sosial Keagamaan IAIN Kudus Jawa Tengah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H