Mohon tunggu...
Muchammad Nasrul Hamzah
Muchammad Nasrul Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Asli

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Andre Rosiade, Film India, dan Stigma tentang PSK

8 Februari 2020   17:36 Diperbarui: 8 Februari 2020   20:34 3284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster film Beguum Jaan| Istimewa

Salah seorang Anggota DPR RI, Andre Rosiade, kerap menggegerkan publik melalui lontaran statemennya yang cukup pedas dalam mengkritik pemerintahan. Kini, politisi Gerindra itu kembali beraksi dengan melakukan penggerebekan terhadap salah satu pekerja seks komersial (PSK) yang menjajah menggunakan sistem online.

Sontak saja, apa yang dilakukan Andre Rosiade, menjadi bahan pembicaraan warganet. Pro dan kontra tercipta dalam ruang dialektika yang terbangun dari aksi sang wakil rakyat.

Ada yang setuju. Namun lebih banyak yang menyayangkan. Andre mengaku aksinya dilakukan lantaran banyak mendapatkan masukan dari para konstituennya.

Hal yang menarik dari aksi penggerebekan itu justru pada sisi sang PSK. Ia mengaku dijebak. Lebih parah lagi, sebelum dijebak dan digrebek, sang PSK harus "dipakai" terlebih dahulu.

Terlebih, sebagaimana dalam berbagai pemberitaan media massa, kamar yang dipakai untuk menjebak PSK itu diketahui merupakan kamar hotel milik ajudan Andre Rosiade yang dipinjamkan kepada orang yang memakai jasa PSK sekaligus melakukan jebakan itu.

Lantas, dari pemberitaan itu, sejumlah pihak sangat menyayangkan apa yang dilakukan dari anggota kader partai berlambang garuda tersebut. Bahkan, beberapa menilai, sang PSK hanya dijadikan sebagai subjek dalam hal ini.

Penulis berpandangan, tanggapan terkait dengan PSK yang dijadikan subjek sehingga dianggap sebagai korban itu tidak berlebihan.

Apalagi, untuk memutus mata rantai prostitusi online, tidak cukup dengan menjebak satu PSK lalu diumbar ke media.

Jika memang prostitusi hendak diperangi dan dilawan, maka menurut penulis harus ada desain yang besar dalam memutus pola dan mata rantainya.

Sehingga, membutuhkan serangkaian aksi besar, yang melibatkan energi besar, untuk mencapai tujuan besar.

Misal, apa yang dilakukan oleh Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, menutup Dolly adalah langkah memutus mata rantai prostitusi. Jika hanya dari satu kasus semata, maka akan sangat wajar, kasus lain bermunculan.

Bahkan, hingga saat ini masih ada PSK menjajakan diri lewat jalur online yang seolah tak bergeming dengan apa yang dilakukan Andre Rosiade.

Sehingga, anggapan beberapa kalangan yang prihatin dengan PSK sebagai subjek dalam kasus Andre Rosiade ini bisa dimaklumi adanya. Sejak kasus Andre Rosiade ini merebak, penulis lantas ingat beberapa film India yang menceritakan tentang PSK atau ada kisah kecil tentang PSK di dalamnya.

Hal ini, bisa dijadikan gambaran, bagaimana film India sudah sedikit menggeser paradigma PSK dari subjek, menjadi objek.

Dari PSK yang dikisahkan terpaksa masuk dalam kubangan gelap dan menunggu laki-laki baik untuk menyelamatkannya, hingga mereka yang punya posisi sederajat dan melawan masyarakat yang terlalu munafik.

Pergeseran Gambaran PSK dalam Film India

Pada Era tahun 1950 an, beberapa film India kerap menggambarkan PSK sebagai wanita yang tidak layak untuk memenuhi hak-hak dasarnya sebagai manusia. Mereka kerap dianggap sebagai manusia kelas dua, di mana harus menerima mentah-mentah kemunafikan dari masyarakat.

Beberapa film seperti "Amar Prem" dan "Mausam" yang dirilis pada era itu, menunjukkan bagaimana masyarakat yang menggunakan jasa PSK lantas mencaci dan turut serta sok-sokan suci menghakimi para wanita itu dengan dalih norma sosial.

Apa yang ada dalam film "Amar Prem" dan "Mausam" ini seperti gambaran "operasi tangkap tangan" PSK yang dimotori oleh anggota DPR RI.

Sebagaimana saya singgung di atas, salah satu media online sempat mewawancara sang PSK berinisial NN dan mengaku "dipakai" dulu sebelum digrebek.

Lebih parah lagi, sang penjebak atau laki-laki yang memakai jasa PSK itu masih menawar harga yang sudah disepakati. Bisa jadi skema ini akan menjadi standar operasional prosedur dalam menangkap tangan PSK yakni dengan tiga bagian: tawar, pakai, lalu grebek. Duh.

Kembali lagi ke film India. Pada tahun 1975 gambaran ekstrem tentang PSK sebagai masyarakat kelas dua ditunjukkan secara gamblang oleh film berjudul "Mausam". Film yang diperankan Sharmila Tagore ini, dalam beberapa adegan sangat diskriminatif.

Ada adegan, seorang majikan dengan lantang menolak masakan yang dimasak oleh PSK yang diperankan Sharmila Tagore.

Bahkan, sutradara film menampilkan sedikit diferensiasi dari PSK dan wanita biasa dari gaya berpakaian dan penerimaannya di masyarakat.

Padahal jika mau mundur dua tahun ke belakang, stereotip tentang PSK dalam film India melalui "Amar Prem" sudah agak diperhalus dengan menjadikannya seolah sebagai "ibu rumah tangga".

Amar Prem yang diperankan oleh Sharmila Tagore dan Almarhum Rajesh Khanna ini bercerita tentang seorang PSK bernama Pushpa, seorang primadona desa yang terpaksa dijual untuk dijadikan PSK.

Di lokalisasi, ia bertemu dengan klien regulernya bernama Anand Babu yang diperankan Rajesh Khanna dan mulai menjalin hubungan asmara. Puspha dalam film itu juga digambarkan menyayangi anak tetangganya dan memberikan perhatian layaknya ibu.

Berbeda dengan film "Mausam" gaya berpakaian Sharmila Tagore disini sudah layaknya seperti ibu rumah tangga, dengan seorang suami dan anak. Kesan ini diciptakan untuk memperhalus peran PSK dan juga sebagai gambaran bagaimana sejatinya seorang PSK juga bercita-cita untuk menjadi ibu rumah tangga yang normal.

Sama, pada era tahun 2000-an film yang cukup tenar, "Chori-Chori Chupke Chupke" yang diperankan Salman Khan, Preety Zinta dan Ranu Mukherjee juga menggambarkan bagaimana PSK yang menjadi subjek bagi peran utamanya.

Film ini sedikit mengimitasi peran Julia Roberts dalam film "Preety Woman", dimana seorang PSK yang ingin diangkat derajatnya oleh sang tokoh utama.

Bedanya, kisah film India ini, sang PSK yang diperankan Preety Zinta harus menjadi subjek untuk menolong peran utama.

Dikisahkan pasangan Salman Khan dan Rani Mukherjee harus kehilangan anaknya karena keguguran. Rani dalam film ini harus menjalankan operasi dan diangkat rahimnya. Artinya, pupus sudah harapan sang suami memiliki anak.

Lantas istrinya menyuruh agar sang suami memiliki anak dari benih langsung suaminya. Sontak, seorang PSK bernama Madhuballa menerima tawaran Salman Khan untuk "menitip" benih di rahimnya.

Drama film ini berlanjut ketika Madhuballa yang seorang PSK akhirnya keluar naluri keibuannya. Ia tidak ingin menyerahkan anaknya kepada Salman dan Rani. Meskipun akhir cerita ini, sang PSK harus tak berdaya, menyerahkan bayinya.

Bahkan, dalam salah satu adegan film "Devdas" yang diperankan Shah Rukh Khan, PSK tidak dianggap sebagai wanita. Kala itu, Devdas yang diperankan Shah Rukh Khan bertemu dengan seorang PSK yang diperankan Madhuri Dixit.

Dalam sebuah percakapan, terlontar Devdas mengatakan "Seorang wanita adalah seorang ibu, seorang istri, seorang teman dan seorang saudara perempuan. Jika ia tidak masuk salah satu darinya maka dia adalah pelacur,". Kalimat jelas yang menegasikan pelacur bukanlah wanita.

Akan tetapi, pada era terakhir film India menunjukkan bagaimana stereotip tentang pelacur atau PSK mulai berubah. Film "Chamelli" yang diperankan Kareena Kapoor dan Rahul Bose adalah salah satu contohnya.

Jika di berbagai film lawas India PSK seolah menjadi subjek, kini mereka tampil sebagai sosok independen. Tidak membutuhkan uang dari kekasihnya atau tidak meminta diselamatkan oleh kekasihnya untuk keluar dari lingkaran gelap dunianya.

"Chamelli" adalah film dimana PSK ditempatkan secara sederajat dengan aktor utamanya Rahul Bose. Meski ditampilkan dalam bentuk norak, PSK yang merokok, duduk seperti lelaki, jauh dari kata elegan, namun penggambaran "Chamelli" lebih baik dari film-film sebelumnya.

Berdurasi hanya 1,5 jam--di luar umumnya film India--"Chamelli" banyak mendapatkan kritik positif lantaran penggambaran PSK yang independen dan memiliki sikap itu.

Lebih ekstrem lagi adalah film "Beguum Jaan" yang diperankan aktris favorit saya Vidya Balan. Film ini sejatinya adalah film sejarah berkaitan dengan pemisahan India dan Pakistan.

Dikisahkan, lokalisasi milik "Beguum Jaan" yang diperankan oleh Vidya Balan berada di garis persis perbatasan antara India dan Pakistan.

Pemerintah, lantas menginginkan agar lokalisasi Beguum Jaan digusur  karena lokasinya yang tidak strategis itu.

Artinya, dari titik ini, film tersebut menceritakan tentang seorang germo dengan sembilan pelacur harus berhadap-hadapan langsung dengan pemerintah. Beguum Jaan memilih melakukan perlawanan.

Bahkan dalam sebuah adegan "Beguum Jaan" harus mengacungkan celurit kepada salah satu pejabat yang menyerahkan surat kepadanya lantaran menolak untuk dipindahkan.

Beberapa pejabat pemerintahan justru adalah langganan dari rumah bordil Beguum Jaan. Film ini diakhiri dengan aksi baku tembak, oleh Beguum Jaan dengan pasukan pemerintah. Beguum Jaan lantas meregang nyawa lantaran mempertahankan tahta lokalisasinya yang sekaligus sebagai kehormatannya.

Lebih dari "Chamelli" film "Beguum Jaan" tidak saja menunjukkan bagaimana PSK yang independen semata, melainkan berani melawan dan memiliki sikap tegas terhadap pemerintah.

Film ini juga membawa anasir-anasir kemunafikan, dimana mereka yang pergi "jajan" ke rumah bordil "Beguum Jaan" namun akhirnya harus melawan sang germo dan PSK yang sudah dinikmatinya.

Gambaran film India tentang PSK seolah menegasikan wanita malam dari seorang penghibur menjadi seorang yang memiliki dan mempertahankan jati diri dan harga diri.

PSK sudah tak lagi jadi subjek dalam berbagai film India, melainkan menjadi sosok yang independen dengan sikap dan pilihan hidupnya.

PSK yang ditangkap tangan dalam kasus Andre Rosiadi masih terlintas dibenak saya digambarkan sebagai PSK pada era film India tahun 1950-an. Menjadi subjek untuk dijebak dan digrebek (bahkan "dipakai" dahulu). Tentu ini adalah preseden buruk yang harus dipikirkan bersama.

Melawan prostitusi bisa jadi adalah hal yang harus dilakukan, tapi memanusiakan manusia dengan segala profesinya sejatinya adalah kewajiban seluruh umat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun