Sutradara asal India, Sandeep Reedy Vanga, mendadak namanya diperbincangkan publik, lantaran mengeluarkan statemen kontroversial.
Lantang dan tanpa ragu kepada salah satu wartawan ia mengatakan, "Jika dua orang saling mencintai, dan tidak menampar satu sama lain, maka tidak ada apapun di dalam hubungan itu."
Kalimat itu diucapkan untuk pembelaan akan film terbarunya berjudul "Kabir Singh" yang diperankan Shahid Kapoor dan Kiara Advani. Film itu rilis pada Juni 2019 lalu.
Dalam film itu, ada adegan yang cukup banyak dikritik kaum feminis. Yakni, seorang laki-laki yang tanpa ragu menampar seorang wanita, hanya karena alasan cinta.
Lebih dari adegan itu. "Kabir Singh" juga mengangkat pesan tentang misoginis, yakni kebencian terhadap wanita.
Meski masuk sebagai film dengan penghasilan tertinggi di India, "Kabir Singh" menguak kembali tentang muatan misoginis dalam perfilman Bollywood.
"Kabir Singh" bercerita tentang seorang mahasiswa kedokteran bernama Kabir Singh (Shahid Kapoor) yang jatuh hati kepada Preeti (Kiara Advani).
Singkat cerita, cinta keduanya terganjal restu orang tua dan Kabir Singh harus mengalami masa "ambyar", karena kekasihnya menikah dengan orang lain.
Cara Kabir Singh dalam "menikmati" kegalauannya itu disalurkan dengan menenggak minuman keras hingga obat-obatan terlarang.
Kepaiawaian Sandeep Reedy Vanga mengolah film ini, berujung pada pembenaran aksi Kabir Singh, sembari mengutuk Preeti karena tidak berjuang untuk cintanya.
Pada titik inilah, penonton mendapat pesan tentang misoginis, dimana Preeti menjadi alasan kesalahan dari Kabir Singh. Karakter Preeti yang mewakili wanita, menjadi disalahkan penonton.
Akhirnya, kebencian terhadap wanita, muncul dari pesan film itu. Bukan hanya saya yang bilang, namun beberapa kritikus film India rupanya juga memiliki pandangan sama.
Kisah hampir serupa banyak ditemui di Film India. Wanita dijadikan sebagai sasaran kesalahan atau bahkan yang lebih parah dijadikan sasaran aksi penguntitan. Digambarkan lemah tak berdaya, dan lantas menerima cinta sang "hero" dari upaya tidak normal-nya itu.
Ambil contoh adalah film "Tere Naam" yang diperankan oleh Salman Khan dan Bhoomika Chawla. Film yang dirilis pada tahun 2013 ini merupakan film sensasional Salman Khan, lantaran aktingnya yang sangat luar biasa.
Namun, tetap layaknya film India yang khas dengan anasir-anasir misoginis, film ini menggambarkan bagaimana Radhe (Salman Khan) harus menggunakan cara kekerasan agar Nirjara (Bhoomika Chawla) menerima cintanya. Nirjara, selain dikuntit, juga diculik oleh Radhe. Tentu adegan semacam ini lantas bisa dibenarkan oleh penonton film India.
Ada pula film "Daar" yang diperankan Shah Rukh Khan, Sunny Deol dan Juhi Chawla. Secara teknis, saya memuja akting Shah Rukh Khan dan keberaniannya mengambil peran "anti hero" di usia emas dalam karirnya.
Namun, anasir-anasir misoginis lagi-lagi tergambar dalam film tersebut. Rahul (Shah Rukh Khan) harus menerima fakta bahwa wanita pujaannya Kiran (Juhi Chawla) harus menikah dengan Sunil (Sunny Deol).
Memendam amarah dan dendam, Rahul kemudian menebar teror kepada Kiran. Menguntitnya saat bulan madu, hingga mengancam nyawa-nya. Lagi-lagi wanita menjadi "tumbal" dalam film-film India.
Hal lain misalnya ada dalam film "Badlapur" yang menggunakan wanita sebagai ajang balas dendam atas pembunuh keluarga sang pemeran utama. Atau, dalam film "Ranjhana" kisah cinta buta seorang laki-laki kepada wanita yang tidak mencintai dia.
Berusaha keras dari memotong pergelangan tangan, merusak pernikahan kekasihnya, memfitnah calon suami wanita pujaannya itu dan aksi tersebut lantas menjadi pembenar atas nama cinta. Sehingga, semua yang ada dalam film itu, lambat laun menjadi penyakit sosial di masyarakat.
Fenomena "Eve Teasing" dalam Film dan Imbasnya di Masyarakat
Saya mulai analisa ini dari hubungan film India dengan masyarakat. Industri Bollywood saat ini menjadi salah satu yang diperhitungkan di dunia.
Sekitar 1000 film diproduksi setiap tahunnya, dan tidak kurang dari 4 miliar penonton dari segala penjuru dunia menjadi pasar industri tersebut.
Tentu saja, pasar terbanyak adalah mereka yang hidup di India. Artikel saya di Kompasiana berjudul "Film India dari Penyebaran Ideologi Kiri hingga Lahan Kampanye Politisi", sedikit memaparkan bagaimana film dimanfaatkan untuk penyebaran ideologi maupun strategi pemenangan politik Perdana Menteri Narendra Modi.
Artinya, film bagi masyarakat India masih menjadi pedoman standar. Jika ada perilaku menyimpang, maka bisa jadi kebanyakan disebabkan oleh adegan dalam film.
Seperti halnya fenomena "Eve Teasing". Ia adalah ungkapan lebih halus dari pelecehan seksual yang digunakan di seluruh Asia Selatan meliputi, India, Pakistan, Bangladesh dan Nepal.
Sebuah video eksperimen sosial di India tentang "Eve Teasing" menggambarkan bagaimana perilaku ini ternyata normal di negara Sungai Gangga itu.
Dalam video itu, ada seorang wanita menggunakan pakaian warna hitam melintas di antara dua pria yang sedang berada di sebuah taman.
Mendadak sang pria menyeletuk kepada temannya dengan kalimat "aku akan memberikan wanita berbaju hitam untukmu secara gadis"
Sontak, kalimat itu membuat wanita berbaju hitam itu marah sampai mengeluarkan kalimat "apakah aku ini komoditas bagimu?"
Tentu aksi semacam itu, bisa jadi karena mereka meniru beberapa adegan dalam film India. Banyak film india yang saya tonton, mengandung unsur tersebut. Ada adegan wanita pemeran utama lewat, lantas digoda oleh sang "hero" dan mengamini godaannya.
Seorang Profesor bidang film India dari London University, Rachel Dwyer dalam sebuah wawancara di The Guardian mengatakan, "Walaupun film India itu tidak realistis, namun bagi sebagian penontonnya beberapa perilaku menyimpang seperti eve teasing atau pelecehan seksual dapat diterima dan dipraktikkan dalam dunia nyata".
Ia sampai pada kesimpulan itu, setelah melakukan beberapa penelitian terhadap beberapa film India.
Dwyer, mengatakan pada era tahun 1960-an aktor yang lagi naik daun, Shammi Kapoor, sudah mempertontonkan bagaimana "hero" dalam film india sudah menggunakan cara-cara tak lazim dalam menggoda perempuan. Lantas tindakan itu, menjadi suatu yang lumrah di masyarakat India.
Bahkan, The Guardian mencontohkan salah satu kasus di Australia. Seorang penjaga keamanan di India, lepas dari tuntutan akan pelecehan seksual terhadap seorang wanita. Ia melakukan pelecehan itu dengan menggunakan pesan singkat.
Pengacaranya bilang, bahwa perilaku tersebut sangat normal di India. Melakukan penguntitan terhadap wanita adalah hal yang biasa. Dan parahnya, perilaku itu dianggap biasa lantaran terinspirasi oleh film India.
Seorang laki-laki yang menguntit wanita hanya untuk memperjuangkan cinta, meski sang wanita tidak mencintai pria itu, sampai sang hawa jatuh hati karena keseriusan pria tersebut, bagi masyarakat India adalah perilaku biasa. Kisah begitu banyak dipertontonkan oleh Shah Rukh Khan, Saif Ali Khan, Salman Khan dan aktor lain di film India.
Film India dan Bias Gender
Swati Tandon salah seorang produser di India, cukup gerah dengan perilaku "eve teasing" yang melanda masyarakat India. Hal itu, disebabkan karena industri film India terlalu didominasi oleh laki-laki.
"Kami hampir tidak memiliki penulis skenario perempuan. Semua karakter perempuan dalam film ditulis oleh laki-laki dan disutradarai oleh laki-laki," kata Swati Tandon kepada Aljazeera.
Sebuah penelitian pada tahun 2007 yang menganalisa lebih dari 4000 film India, menemukan adanya bias gender dari alur cerita.
Maka tak salah jika ada beberapa film yang mencoba mendobrak maskulinitas dalam fim India, dimana perempuan digambarkan sebagai subjek yang memiliki kekuatan dan tidak tunduk kepada pria hanya karena cinta-cintaan semata.
Beberapa film seperti "Lipstick: Under My Burkha", "Pink" dan terakhir yang kontroversial adalah "Parched" mencoba untuk menggambarkan itu semua.
Mungkin judul terakhir "Parched" adalah bentuk perlawanan yang paling ekstrem terhadap maskulinitas dalam film India. Film ini naskahnya ditulis dan disutradarai langsung oleh Leena Yadav.
Sebagai wanita, Leena Yadav seolah merasakan bagaimana anasir misoginis masih mendominasi film Bollywood. Seakan ingin "bertobat" dari karya sebelumnya berjudul "Shabd" pada tahun 2005, dalam "Parched" ia sungguh-sungguh memberontak.
"Parched" adalah kisah tiga orang wanita yang hidup dibawah tekanan dari kuatnya arus paternialistik di sebuah desa di India. Karakter Lajjo yang diperankan Radhika Apte adalah sebagai gambaran yang ekstrem itu.
Lajjo dikisahkan adalah seorang istri yang selalu mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya baik secara fisik maupun batin. Ia pun tidak pernah mengalami kepuasan batin selama menjalin rumah tangga. Kehidupan seksualnya pun begitu hambar.
Lajjo juga disalahkan karena tidak memiliki keturunan.
Suatu saat, lantaran rasa berontak dan naluri sebagai manusia yang ingin merasakan kepuasan seksual ia lalu mencoba banyak hal baru. Termasuk mencoba berhubungan intim sesama jenis.
Akhirnya, ia juga memutuskan berhubungan intim dengan seseorang dan merasakan orgasme pertama kali seumur hidupnya selama pernikahan. Tentu saja, peran Lajjo yang dibebankan kepada Radhika Apte membuat aktris favorit saya itu harus tampil sensual, hingga telanjang di depan kamera. Film "Parched" yang masuk sebagai nominasi film terbaik dalam Toronto Film Festival, mendapat kritik tajam di negara-nya.
Adengan Lajjo memang tidak harus ditiru, tapi secara substantfi, itu adalah pemberontakan dari film india yang kerap menunjukkan anasir misoginis dan bias gender.
Bahkan, ketika sutradara Sanjay Leela Bhansali, dengan asyik mengangkat puisi tahun 1540 karya Malik Muhammad Jayasi dalam sebuah film berjudul "Padmavaat", adalah bentuk perlawanan terhadap misoginis itu sendiri.
"Padmavaat" bercerita tentang ratu cantik bernama "Padmavati" yang digilai oleh raja bernama "Khilji". Meski sudah memiliki suami, Khilji tetap saja ingin mepersunting gadis yang namanya tenar karena kecantikannya itu. Bahkan, menurut ramalan, jika Khilji mempersunting Padmavati maka ia akan menjadi raja yang tiada tanding.
Sampai disitu, kita melihat bagaimana wanita dijadikan sebuah subjek. Tidak dihargai, bahkan disamakan dengan benda yang bisa direbut dari tangan suami orang. Istilah jawa-nya merusak "Pagar Ayu". Tapi akhir film ini, menunjukkan bagaimana wanita India sejatinya punya harga diri.
Setelah sang suami meninggal lantaran dibunuh Allauddin Khilji, Padmavati lebih memilih "jauhar" atau membakar diri. Daripada ia hidup tunduk dibawah lelaki yang sudah merusak cinta-nya mending ia membakar diri-nya demi harga diri.
Tentu saja "Padmavat" adalah antitesa dari film India yang mengusung anasir misoginis. Bagaimana tidak, Allauddin Khilji karena saking cintanya kepada Padmavat, harus menerjukan ratusan ribu pasukan untuk menyerang kerajaan. Hidup kelaparan beberapa hari karena tidak ada makanan, hingga merendahkan diri untuk bertemu suami Padmavaat.
Artinya, meskipun sang anti hero ini sudah berjuang keras, namun wanita India tidak gampangan menerima cinta laki-laki sebagaimana banyak digambarkan film romansa Bollywood. Padmavati lebih mengakhiri hidupnya.
Pada akhirnya, bias gender yang ada di industri Bollywood sedikit demi sedikit dilawan oleh beberapa sineas dan produser yang mau mendanai film macam itu.
Maka, akhirnya saya berpesan, tidak semua film India baik untuk di review dan dijadikan satu bahan untuk analisa. Terlalu banyak film India yang mengandung pesan tidak mendidik. Pembenaran perselingkuhan atas nama cinta ada dalam film India.
Lebih parah lagi, aksi misoginis dan alur cerita bias gender lebih banyak diproduksi di India.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H