Mohon tunggu...
Muchamad Iqbal Arief
Muchamad Iqbal Arief Mohon Tunggu... Freelancer - Independent Content Writer

Halo, saya Iqbal Arief. Sebagai penulis aktif di Kompasiana, saya senang berbagi wawasan dan informasi menarik dengan para pembaca. Minat saya cukup luas, meliputi berbagai topik penting seperti marketing, finansial, prinsip hidup, dan bisnis. Melalui tulisan-tulisan saya, saya berharap dapat memberikan perspektif baru dan pengetahuan yang bermanfaat bagi Anda. Mari bergabung dalam perjalanan intelektual saya di Kompasiana, di mana kita bisa bersama-sama menemukan inspirasi dan wawasan baru dalam berbagai aspek kehidupan dan karier. Selamat membaca!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dilema Toxic Positivity, Memotivasi atau Menutupi Masalah Sebenarnya?

27 September 2024   08:10 Diperbarui: 27 September 2024   08:13 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Kamu pasti pernah mengalami situasi di mana saat kamu sedang merasa terpuruk, orang-orang di sekitarmu berkata, "Tetap positif!" atau "Semua akan baik-baik saja." Di saat itu, mungkin kamu hanya butuh didengarkan, tapi kalimat-kalimat penuh harapan itu justru membuatmu merasa tertekan. Apakah kalimat tersebut benar-benar membantu atau hanya menutupi masalah yang sebenarnya?

Kondisi seperti ini disebut 'toxic positivity', di mana kamu diminta untuk selalu terlihat baik-baik saja, tidak peduli seberat apa pun situasi yang kamu hadapi. Optimisme memang penting, tapi jika terlalu dipaksakan, ia bisa membuat kita mengabaikan emosi negatif yang sebenarnya wajar dan manusiawi. Bukannya membuat kamu bangkit, toxic positivity justru bisa memperparah kondisi emosionalmu.

Apa Itu Toxic Positivity?

Toxic positivity adalah bentuk dukungan yang terlalu memaksa seseorang untuk berpikir positif, tanpa memperhatikan perasaan negatif yang sedang dialami. Kamu mungkin pernah mendapatkan komentar seperti, "Jangan terlalu dipikirkan, pasti semua akan baik-baik saja," ketika kamu sedang merasa sedih, marah, atau cemas. Meski niatnya baik, komentar semacam ini sering kali membuat perasaanmu jadi tak tervalidasi.

Pernahkah kamu merasa begitu? Saat kamu hanya ingin didengarkan, tapi malah diberi nasihat untuk "berpikir positif." Bukannya merasa lega, kamu malah merasa lebih tertekan karena merasa seolah-olah tidak boleh memiliki perasaan negatif. Inilah salah satu bahaya toxic positivity.

Baca juga: Mengapa "Bucin" Jadi Fenomena di Kalangan Milenial dan Gen Z

Kenapa Toxic Positivity Bisa Berbahaya?

  1. Menekan Emosi yang Wajar

    Saat kamu diminta untuk terus berpikir positif, kamu mungkin merasa harus menyembunyikan emosi yang sebenarnya. Padahal, perasaan negatif seperti sedih, marah, atau kecewa itu normal dan bagian dari proses penyembuhan. Menekan emosi ini bisa berujung pada akumulasi stres, kecemasan, bahkan depresi.

  2. Meremehkan Pengalaman Pribadi

    Setiap orang punya perjalanan hidup yang berbeda. Ketika kamu menghadapi masalah, mungkin kamu butuh lebih dari sekadar nasihat untuk "tetap positif." Kamu butuh seseorang yang mau mendengarkan dan menghargai perasaanmu. Toxic positivity bisa membuatmu merasa pengalamanmu tidak dihargai atau tidak penting.

  3. Menghambat Proses Pemulihan

    Pemulihan emosional tidak terjadi dalam semalam. Rasa sedih atau kecewa adalah bagian dari proses itu. Ketika kamu diminta untuk segera "berpikir positif" tanpa memberi waktu untuk merasakan perasaan yang ada, kamu kehilangan kesempatan untuk benar-benar menyembuhkan diri.

Apa Bedanya Healthy Positivity dan Toxic Positivity?

Penting untuk diingat, berpikir positif itu sebenarnya baik—tetapi harus dilakukan dengan cara yang tepat. Ada perbedaan besar antara healthy positivity dan toxic positivity. Healthy positivity mengakui bahwa ada masalah atau kesulitan, tapi juga memberimu ruang untuk merasakan dan memahami emosi negatif yang muncul.

Contohnya, kalimat seperti "Aku tahu ini sulit, tapi kita bisa mencari solusi bersama" adalah bentuk healthy positivity yang memberi ruang bagi perasaanmu sambil tetap memberikan dukungan. Sebaliknya, toxic positivity memaksa kamu untuk mengabaikan hal-hal negatif, seolah-olah hanya sisi baik saja yang boleh ada.

Bagaimana Menghadapi Toxic Positivity?

Jika kamu merasa sering terjebak dalam situasi toxic positivity, ada beberapa hal yang bisa kamu lakukan:

  • Mulailah dari dirimu sendiri. Saat kamu sedang bersama teman atau keluargamu yang sedang menghadapi kesulitan, cobalah untuk tidak langsung memberikan saran. Dengarkan mereka terlebih dahulu, validasi perasaan mereka, dan biarkan mereka merasakan emosi yang ada. Kadang, yang mereka butuhkan hanyalah didengarkan, bukan nasihat untuk "berpikir positif."
  • Izinkan dirimu merasa. Ketika kamu sendiri sedang menghadapi situasi sulit, jangan merasa harus selalu tampak kuat dan positif. Kamu boleh merasa sedih, marah, atau kecewa. Semua emosi itu wajar dan manusiawi. Beri dirimu ruang untuk merasakan semuanya, dan jangan terburu-buru untuk menutupi dengan sikap positif.

Kapan Positivitas Diperlukan?

Meskipun toxic positivity bisa berbahaya, bukan berarti kamu harus selalu fokus pada hal-hal negatif. Sikap positif tetap penting, tetapi harus dilakukan dengan seimbang. Saat kamu sudah melewati tahap mengakui dan menerima emosi negatif, sikap positif bisa menjadi kekuatan untuk bangkit dan melangkah maju. Yang paling penting adalah memastikan bahwa kamu tidak mengabaikan atau menekan emosi yang sah.

Baca juga: Bahaya Nomophobia: Mengapa 'No Signal' Lebih Menakutkan dari Kehilangan Pekerjaan?

Penutup

Toxic positivity sering kali lebih merugikan daripada membantu. Alih-alih memaksa orang untuk "tetap positif," penting bagi kita untuk menciptakan ruang yang aman bagi perasaan yang beragam. Hidup tidak selalu berjalan mulus, dan itulah bagian dari kehidupan yang harus kita hargai.

Jadi, saat kamu menghadapi tantangan atau ingin mendukung seseorang, ingatlah: Kamu boleh merasa sedih, marah, atau kecewa, dan orang lain juga demikian. Yang terpenting adalah kita memberi ruang bagi perasaan itu untuk muncul, memahaminya, dan tumbuh dari pengalaman tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun