Mohon tunggu...
Muarrifuzzulfa
Muarrifuzzulfa Mohon Tunggu... Perawat - Pekerja profesional di rumah sakit Jerman

Kesederhanaan. Suka membaca buku, mendengar, bertukar pikiran dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Sistem Perkabelan Rumah yang Berbeda (Pendidikan Anak Jerman dan Perkembangan Teknologi)

27 Juni 2024   14:49 Diperbarui: 11 Juli 2024   12:40 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sistem Perkabelan Rumah Yang Berbeda

Oleh : Muarrifuzzulfa

1. Sekolah

Setelah beberapa tahun saya mukim di negara Jerman, saya memutuskan untuk istirahat sejenak liburan mengunjungi keluarga dan beberapa teman kerabat di Indonesia. Ketika itu saya kedatangan dua sahabat lama dari Lamongan dan Tuban. Mereka mengunjungi kota Reog untuk keperluan tertentu.

Saya akhirnya mengajak mereka untuk menikmati sate khas Ponorogo. Tempat itu memang sudah terkenal dan beberapa Presiden Indonesia sudah mencicipi sate tersebut. Kami bertiga akhirnya pergi ke warung sate tersebut dan memesan sate dan lontong.

Setelah kami selesai makan dan perjalanan pulang, saya melihat di depan pintu masuk warung tersebut terdapat 4 anak kecil sekitar 7 sampai 9 tahun yang asyik membuat video tiktok.

Mereka berjajar seperti ular dan yang paling depan memegang hp. Mereka asyik berjoget seperti halnya video tiktok yang ada di platform tersebut. Di samping empat anak tersebut ada 1 temannya yang konsentrasi memegang hp seakan tidak memperdulikan 4 temannya yang sedang asyik membuat video.

Secara spontan apa yang ada dalam benak Anda? Fenomena anak kecil yang membuat video tiktok, hal itu mungkin sudah biasa terjadi di negara kita dan mungkin bagi sebagian banyak orang hal itu sesuatu yang tidak aneh. Saya melihatnya sangat miris. Ketika saat itu saya melihat fenomena tersebut saya langsung mengembalikan memori saya dengan kebiasaan anak-anak seumuran yang sama di negara Jerman.

Ketika selama beberapa tahun saya mendapatkan kesempatan untuk tinggal di negara ini, saya hampir selalu mengamati, meresapi dan merefleksi tentang kultur mereka.

Banyak dari kultur mereka yang jika dilihat dari sudut pandang Islam itu negatif atau tidak baik, tetapi ada banyak juga yang positif atau baik. Dan kita seharusnya mempunyai keinginan belajar hal positif dari mereka. Salah satunya mengenai kebiasaan bagaimana anak-anak di usia dini dan remaja mereka berkembang.

Dahulu ketika saya masih harus pergi ke kelas untuk belajar, setiap harinya saya selalu melewati sebuah sekolah setara dengan SMP. Dikarenakan jam masuk kelas saya dengan mereka mungkin sama, jadi saya berangkat pagi terkadang bersama mereka.

Dalam perjalanan menuju kelas, mereka terkadang berjalan sendiri-sendiri atau dengan teman mereka. Hal yang saya amati dari mereka ketika itu adalah langkah mereka. 

Tempo kecepatan langkah mereka sangat cepat. Seakan-akan mereka takut terlambat. Sebenarnya kecepatan tempo langkah ini adalah kultur mereka juga. Orang Jerman biasa berjalan dengan cepat.

Hal yang kedua yang saya amati dari mereka adalah tidak ada satupun dari semua anak yang menuju sekolah itu yang memegang handphone sewaktu perjalanan. Tidak ada yang berjalan santai.

Ketika jam istirahat saya sering juga melewati sekolahan itu. Saya memperhatikan apa yang mereka lakukan di jam istirahat. Kalau tidak salah mereka memiliki waktu 45 menit istirahat. Ketika mereka mendapatkan jam istirahat, mereka biasanya berkumpul di halaman sekolah, mereka bergerombolan berdiri membikin lingkaran sambil asyik ngobrol satu sama lain. Ada juga yang bermain tenis meja. Halaman sekolah biasanya sangat ramai oleh anak-anak sekolah. 

Yang saya perhatikan di sini adalah tidak ada satu anak pun di antara puluhan anak-anak sekolah yang sedang beristirahat di lapangan yang memegang handphone, sama sekali, dan ini saya lihat bukan satu atau dua hari, tetapi sangat sering.

Bisa Anda bayangkan di negara maju dalam hal teknologi dan ilmu pengetahuan sekelas Jerman  tidak ada satupun yang menggunakan handphone di sekolah. 

Secara resmi sebenarnya tidak ada larangan menggunakan handphone di area sekolah, tetapi ini adalah kultur mereka, mereka menggunakan waktu selama berada di sekolah untuk bertemu teman mereka dan saling berinteraksi satu sama lain.

Dengan terciptanya kultur anak-anak muda yang tidak kecanduan dengan handphone, pastinya hal ini tidak jauh dengan bagaimana orangtua mereka mendidik anak-anak dalam beradaptasi dengan hp.

Suatu ketika saya berdiskusi dengan dua rekan kerja saya yang sudah mempunyai anak, menanyakan bagaimana mereka mendidik anak dalam hal penggunaan handphone. Keduanya berhasil mendidik anaknya tanpa handphone sampai umur 12 tahun, sama sekali tidak ada hp dalam kehidupan anak mereka sampai umur 12 tahun.

Mereka mengatakan bahwa mendidik anak sama sekali tanpa memberikan handphone sampai umur sekian adalah pekerjaan yang sangat sulit. Mereka menyadari bahwa ini adalah sebuah tantangan dan konsekuensi dari seorang orangtua. 

Jika ingin anaknya tidak kecanduan dengan handphone artinya orangtuanya juga harus sangat membatasi dengan handphone. Mereka menambahkan bahwa pada umur tertentu mereka sudah tidak bisa lagi memaksa anaknya untuk tidak menggunakan handphone. 

Hal ini sangat wajar karena anak-anak mereka tidak hanya hidup di rumah, melainkan di sekolah dan di lingkungan. Teman-teman di sekolah dan juga lingkungan umum juga dapat mempengaruhi anak-anak mereka.

Oleh karenanya, rekan kerja saya hanya bisa mendidik anak-anak mereka tanpa memberikan hp sampai umur 12 tahun.

2. Pendakian

Suatu ketika saya bersama dengan teman sedang liburan di negara tetangga Jerman, yaitu Itali. Kami ketika itu ingin mendaki sebuah gunung di daerah pegunungan Sudtirol, Alpen. Area pegunungan yang sangat hijau dan sangat sejuk.

Daerah itu memang terkenal sebagai spot pendakian dan juga salah satu tujuan para pendaki dari berbagai negara, terkhusus para pecinta alam dari Jerman.

Ketika kami ingin mendaki, saya melihat puluhan anak-anak seumuran anak SMP sedang ingin melakukan pendakian di daerah tersebut. Mereka berkumpul di tempat start pendakian dan mereka asyik berbincang satu dengan yang lainya. Lalu apa yang saya sangat takjub dari mereka? Tidak ada satupun dari mereka yang memegang handphone, sama sekali, tidak ada dari mereka yang berfoto bersama maupun berselfie menggunakan handphone.

Ketika itu, sejenak saya mempelajari sesuatu dari fenomena anak-anak ini. Saya belajar dari mereka bahwa alam adalah salah satu tempat kembalinya manusia untuk menyadarkan diri bahwa manusia adalah makhluk hidup yang memerlukan interaksi dengan makhluk hidup lain seperti tumbuhan dan hewan dan bukan benda mati yang selalu ada digenggaman tangan masa kini, yaitu handphone. 

Manusia secara psikologis membutuhkan ketenangan, udara yang sejuk, manusia juga terlahir untuk selalu merefleksikan dirinya sendiri, berbicara dengan alam dan bukan berbicara dengan hal yang virtual.

Semuanya ini dapat kita dapatkan salah satunya adalah di alam yang luas dan tanpa gangguan dari sosial media. Sayangnya kultur di negara kita sangat sulit untuk puasa bersosial media.

Adalah perasaan yang sangat luar biasa dan membahagikan jika kita mencoba untuk puasa seharian dengan handphone dan pergi ke pegunungan berjalan-jalan atau mendaki dengan teman kita. Kita akan merasakan bagaimana keintensifan kita berkomunikasi dengan teman kita, empati kita akan terasah disana, emosional kita juga akan terasah dan banyak sekali yang akan kita pelajari jika kita fokus kepada kita sendiri tanpa ada gangguan dari external. 

Kita akan banyak sekali menanyakan hal-hal yang filosofis yang berhubungan dengan kita dan hal itu sangat esensial dalam kehidupan manusia. Sayangnya kita jarang berpikir untuk berpuasa sejenak untuk mencari tempat yang sunyi dan menyatu dengan alam. Sayangnya media sosial tidak mengizinkan kita untuk meluangkan waktu untuk hal itu. Kesadaran kita dicuri oleh algoritma media sosial.

3. Permainan Tradisional

Pengalaman dan pengamatan lain yang saya pelajari dari anak-anak jerman adalah mereka masih bermain permainan tradisional. Salah satu contohnya adalah permainan engklek. Masih sangat sering sekali saya melihat bekas permainan engklek di jalan-jalan aspal dekat perumahan yang digambari oleh para anak-anak kecil dengan menggunakan kapur papan tulis yang berwarna-warni. 

Ketika mereka asyik bermain bergembira ria satu sama lain, saya juga kemudian menanyakan ke diri saya, "Bagaimana bisa negara (Jerman) semaju ini dalam hal teknologi, pengetahuan, robotik dll masih bisa menjadikan dan menjaga kultur anak-anak mereka masih mencintai permainan tradisional? ini memang sangat luar biasa...".

Kenapa negara Jerman bisa menjaga kultur mereka yang positif ini? Salah satunya adalah karena sikap mereka yang selalu kritis terhadap sebuah fenomena yang terjadi. Ketika mereka melahirkan teknologi-teknologi baru secara bersamaan mereka mengkritisi penemuan-penemuan mereka yang baru itu. Mereka selalu menanyakan potensi-potensi apa yang akan terjadi jika teknologi baru tersebut lahir dan jika kita tidak bisa menghindari perkembangan tersebut, maka bagaimana sikap kita sebagai manusia.

Para ilmuwan dan pakar-pakar diinterview di berbagai stasiun TV untuk membicarakan manfaat dan ancaman teknologi yang paling aktual. Para ilmuwan dan pakar juga diundang di berbagai daerah di Jerman untuk memberikan ceramah kepada masyarakat umum.

TV di Jerman masih menjadi konsumsi masyarakat, karena dana mereka sangat besar yang mereka investasikan di media dan juga setiap rumah yang dihuni ada kewajiban membayar tiap bulannya. Hal ini berbanding terbalik apa yang terjadi di Indonesia, youtube seakan-akan sudah mengalahkan TV.

Mereka juga menulis buku dan menghindari bahasa-bahasa akademik agar esensi dari buku tersebut dapat dipahami oleh masyarakat umum. Ketika sudah terjadi percakapan antara ilmuwan dengan masyarakat umum ini, maka terbentuklah sebuah kepedulian bahwa masalah yang dihadapi kedepan mengenai ancaman teknologi adalah bukan masalah para ilmuwan saja atau masyarakat umum tetapi ini adalah masalah bersama dan untuk menyelesaikan masalah tersebut memerlukan kerja sama antara para ilmuwan, pakar dan masyarakat umum.

4. Tanggung Jawab

Apa yang kita bisa pelajari dari semua hal ini adalah bahwa perubahan hanya bisa dimulai dari pribadi kita masing-masing. Kalau kita sudah menjadi orangtua dan mengharapkan bahwa anak kita tidak ingin kecanduan handphone, maka orangtuanya sendiri juga harus tidak kecanduan. Ini semuanya adalah mengenai tanggung jawab dan konsekuensi. Bagaimana bisa mengajari atau memberi contoh anak untuk tidak menggunakan handphone sedangkan orangtuanya sendiri kecanduan handphone.

Terkadang ini bisa disebut dosa seorang orangtua kalau memakai pendekatan Islam. Seperti halnya setiap suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban masing-masing, jika tidak menempatkannya pada tempatnya maka kita bisa disebut zalim. Kalau kita mengkritisi mengenai pertumbuhan anak, seorang anak kecil memiliki hak untuk berinteraksi dengan alam, mengenal alam, belajar mengenali apa itu batu, tanah liat, pohon, air, angin, mereka juga mempunyai hak untuk menangis, merasakan tersandung batu, membaca dan mempelajari emosional orangtua mereka. 

Bagaimana jika hak anak kecil semua ini kita tidak berikan kepada mereka dan mengalihkannya dengan memberikan mereka handphone hanya untuk menghindari agar anak tidak menangis terus atau tidak mengganggu pembicaraan waktu ada tamu atau sedang bertamu? Apakah kita seorang orangtua tidak berdosa tidak memberikan hak mereka?

5. Neuroplastisitas

Kalau kita pahami lebih dalam lagi, dalam sudut pandang medis dan juga neuroscience ada istilah yang disebut neuroplastisitas. Dalam arti mudahnya adalah otak manusia membutuhkan rangsangan agar saraf-saraf otak bisa terkoneksi satu sama lain.

Agar bisa terkoneksi maka perlu rangsangan dari luar, seperti mengenali apa itu batu, apa itu air, bagaimana rasanya jatuh dari sepedah, apa itu menangis, apa itu sedih, bahagia dll. Dan mengkoneksikan saraf-saraf otak manusia ini sangatlah krusial di masa pertumbuhan anak.

Masa pertumbuhan anak adalah masa dimana saraf-saraf otak kita sangat efektif untuk dikoneksikan, karena mereka baru mengenali apa itu alam dunia ini. Mereka membutuhkan pengalaman-pengalaman dari dunia nyata agar hak-hak saraf otak mereka terpenuhi. Kalau kita lebih dalam lagi, kita akan ketemu dengan dunia sel. 

Saraf adalah sel dan sel adalah makhluk hidup. Artinya jika kita tidak memberikan hak anak untuk mengenal dan mengalami dunia nyata maka kita juga tidak memberikan hak saraf otak untuk mengkoneksikan satu sama lain dalam masa pertumbuhan dan juga kita tidak memberikan hak sel-sel saraf untuk bekerja sesuai semestinya. Dan cara untuk tidak memberikan hak anak di masa pertumbuhannya adalah sangat mudah yaitu dengan cara memberikan mereka handphone di masa dini.

Saraf manusia mirip seperti sistem perkabelan yang berada dirumah kita, sangat rumit untuk dipahami, yang kita tahu adalah listrik di rumah menyala seperti biasanya.

Pada dasarnya sistem perkabelan antara satu rumah dengan rumah lain relatif mirip, tetapi yang membedakan adalah penataan perkabelan yang disusun oleh ahlinya langsung atau perkabelan yang ditata hanya oleh orang biasa. Penataan perkabelan yang disusun oleh ahli mempunyai potensi fungsi jangka panjang dan sebaliknya jika disusun oleh orang biasa mempunyai potensi akan cepat rusak. 

Otak seorang anak di seluruh dunia secara konsep mempunyai sistem yang sama, yang berbeda adalah bagaimana seorang orangtua mendidik saraf-saraf tersebut melalui anak mereka.

Yang saya lihat para orangtua di Jerman kebanyakan mendidik anak-anak mereka dalam masa pertumbuhan tanpa menggunakan handphone, sedangkan banyak dari orangtua-orangtua di negara kita sudah membelikan handphone untuk anak kecil mereka, meskipun tidak semuanya seperti itu.

Tetapi sayangnya, kita harus jujur terhadap fenomena ini dan kita harus berani belajar kepada kultur lain yang mempunyai kebiasan yang lebih baik.

Sistem perkabelan antar rumah memang terlihat sama tetapi bisa mempunyai output yang berbeda. Saraf otak manusia memang relatif sama tetapi bisa mempunyai output yang berbeda juga. Semua tergantung orang yang menyusun dan menata kabel tersebut atau mendidik saraf-saraf anak tersebut.

Semua perubahan besar berasal dari perubahan kecil dan perubahan terkecil adalah perubahan yang dimulai dari pribadi kita masing masing. Tidak ada kata terlambat dalam perubahan.

Salah satu hal yang sangat bernilai dari diri kita adalah menjadi orang yang lebih bijak dari waktu ke waktu. Dengan cara melihat, mendengar, merasakan, mengamati dan merefleksikan semua ini semoga kita menjadi lebih baik dan menjadi orang yang lebih bijak dalam segala hal.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun