Sajak-sajaknya Yudhistira memberikan kesan dibuat oleh anak-anak yang tiada berdosa dan lugu pikiran-pikirannya. Logikanya pun logika anak-anak yang dengan heran bertanya dan bertanya, anak-anak yang mengejar bayangannya sendiri, mencoba dan tiba pada kesimpulan-kesimpulan yang menggelikan. (HB. Jassin, "Beberapa Penyair Muda di Depan Forum", DKJ, 1976: 17).
Penyair Yudhistira ANM Massardi telah mampir ke Tegal dalam rangka Safari Sastra, 22 Maret kemarin. Saya menyaksikan "Si Biarin" itu membacakan karya-karyanya.Â
Entah mengapa kegiatan Safari Sastra yang dituanrumahi Dewan Kesenian Kota Tegal diberi tajuk "Yudhistira ANM Massardi Mencari Cinta". Tentu saja, penamaan ini merujuk pada karya novel yang pernah ditulis Yudhistira dengan judul Arjuna Mencari Cinta.Â
 Yudhistira -siapa pun yang membicarakannya- tidak melepas-kaitkan antara dirinya dengan novel tersebut. Ini sama dengan kita yang seringkali tidak bisa melepaskan diri Yudhistira dari puisinya yang berjudul "Biarin!" Fenomena Yudhistira merupakan fenomena atas ketenaran dua karya tersebut.
Menyikapi kehadiran Yudhistira di Tegal, ternyata membuat saya teringat pada ucapan kritikus besar yang pernah dimiliki negeri ini. Seperti yang saya kutip dalam bagian awal catatan ini, HB. Jassin memang berhak menganggap bahwa puisi-puisi Yudhistira memberikan kesan sebagai puisi yang dibuat anak-anak yang tidak berdosa dan lugu pikiran-pikirannya.Â
Penilaian yang pernah diberikan oleh HB. Jassin, menurut saya, tidaklah salah. Akan tetapi, penilaian itu tidak sepenuhnya benar. Jassin ternyata melihat puisi Yudhistira kala itu hanya dipandang sebagai cara seorang penyair menulis puisi. Jassin lupa, dia tidak meletakkan puisi-puisi Yudhistira sebagai cara penyair menyikapi sebuah zaman.
Yudhistira adalah generasi yang lahir dengan situasi yang jauh berbeda dengan generasi Chairil Anwar. Bila Chairil Anwar berhadapan dengan semangat zaman yang harus menegakkan eksistensi sebuah bangsa pada zaman revolusi sehingga membutuhkan generasi pemberani sebagaimana tergambar jelas lewat puisi "Diponegoro", Yudhistira justru dihadapkan pada tumbuhnya generasi "brengsek" di zamannya.Â
Puisi Yudhistira yang berjudul "Rudi Jalak Gugat" menurut saya merupakan puisi dihadirkan untuk mengkontraskan dua generasi dalam zaman yang berbeda. Mari kita bandingkan antara kutipan puisi Cahiril Anwar dengan kutipan puisi Yudhistira.
Di masa pembanguna ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawab banyaknya seribu kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
(Cahairil Anwar, puisi "Diponegoro")
Anak-anak zaman yang slebor
Merayap di mana-mana
Tangan muda-mudi yang belum dewasa
Menggenggam kayu dan besi
Mereka bergerak memecahkan hari di kota-kota
Paling depan, Rudi jalak berselendang
Giwang di kuping kanan
Celana blue jeans kemeja komprang
....
Rudi Jalak mempimpin barisan
Giwang di kuping kanan
Celana blue jeans kemeja komprang
Selendang di leher menutup cupang
....
Anak-anak zaman yang slebor
Merayap di mana-mana
Kecemasan mereka terhadap beban
Menyulap Baygon jadi minuman
"Selamat tidur, masa pembangunan"
(Yudhistira ANM Massardi, puisi "Rudi Jalak Gugat")
Apa yang dapat saya temukan dari perbandingan antara baris-baris puisi Chairil Anwar dengan Yudhistira? Puisi "Diponegoro" ditulis Chairil Anwar pada tahun 1943, sedangkan Yudhistira menulis puisi "Rudi Jalak Gugat" pada tahun 1982. Ada jarak 39 tahun antara kedua puisi tersebut. Namun, yang menarik bukan pada jarak kedua puisi itu ditulis. Amat jelas dalam puisi "Rudi Jalak Gugat", Yudhistira menjadikan puisi "Diponegoro" sebagai hipogram untuk mengontraskan dua generasi.Â
Semangat Chairil Anwar untuk generasinya agar menghidupkan semangat Diponegoro yang dengan "Pedang di kanan/keris di kiri/Berselempang semangat yang tak bisa mati", justru setelah 39 tahun kemudian yang muncul adalah generasi yang tidak mewarisi semangat Pangeran Diponegoro.Â
Yudhistira justru menemukan generasi semacam Rudi Jalak yang mengenakan "Giwang di kuping kanan/Celana blue jeans kemeja komprang/Selendang di leher menutup cupang". Yudhistira melihat sebuah generasi yang dipenuhi kecemasan dan keputusasaan.Â
Mereka adalah generasi yang "menyulap baygon menjadi minuman". Sungguh keadaan ironis ketika para generasi penerus ini pada akhirnya berucap, "Selamat tidur, masa pembangunan".
Dari catatan yang sederhana ini, saya tidak bisa mengikuti begitu saja pernyataan HB. Jassin. Sebaliknya, saya melihat bahwa Yudhistira merupakan penyair yang sanggup menunjukan kepada kita sebuah zaman yang dipenuhi oleh anak-anak muda yang hidup tanpa pendirian. Zaman telah berubah dan yang terjadi adalah dekadensi di segala aspek kehidupan sosial.Â
Kita tidak mendapatkan generasi yang diharapkan Chairil Anwar sebagai generasi yang sanggup "menyediakan api" semata untuk "bagimu negeri". Akan tetapi dari puisi Yudhistira, kita menemukan generasi dari "anak-anak zaman yang bimbang" dan generasi yang "bergerak dengan langkah gamang" sehingga hanya sanggup "menempuh jalan semakin remang".
Puisi-puisi Yudhistira hadir di mata pembaca bukan sekadar untuk memberi kesan, bahwa puisi ditulis hanya dengan cara berpikir anak-anak yang lugu. Demikian pula bukan puisi yang hadir untuk memberi kesan bahwa Yudhistira sedang bermain-main dalam pengertian yang sederhana dan ala kadarnya.Â
Yudhistira hanya sedang menjadikan dirinya sebagai bagian dari generasi yang sedang berubah. Puisinya yang berjudul "Biarin!" merupakan representasi dari pertentangan antara generasi sebelumnya yang merasa asing dengan kehadiran dan cara pandang generasi sesudahnya. Larik yang berbunyi, "kamu bilang hidup ini brengsek. Aku bilang biarin" adalah larik puisi yang hendak menunjukkan adanya perbedaa pandangan antar generasi.
Terima kasih, Yudhistira ANM Massardi persinggahanmu di Kota Tegal tetap akan menjadi jejak karyamu yang tiada terhapuskan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H