seharusnya  tangan bukan hanya tangan tapi tangan yang
memang tangan tak cuma tangan tapi tangan yang tangan
pasti tangan tepat  tangan  yang  dapat  lambai  yang  sam
pai salam
seharusnya  tangan bukan  segumpal  jari  menulis  sia  se
kedar  duri  menulis  luka  mengusap mata namun gerimis
tak juga reda
walau  lengkap  tangan buntung walau hampir tangan bun
tung  walau  satu tangan buntung  walau  setengah  tangan
buntung  yang  copot  tangan  buntung  yang  lepas tangan
buntung yang buntung tangan buntung
segala buntung segala tangan
hanya jam tangan lengkap tangan menunjuk entah kemana
Sesungguhnya saya merasa malu membaca bait pertama dari puisi Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul "Tangan" bersamaan memandang kedua tangan saya sendiri. Memandang yang saya lakukan bukan dengan mata, namun dengan hati dan pikiran.Â
Selama hidup saya, apa yang sudah saya lakukan dengan kedua tangan saya? Entah sudah berapa banyak dosa yang diperbuat melalui kedua tangan saya. Saya merasa belum banyak kebaikan yang diperbuat dengan tangan ini.Â
Tangan saya seharusnya banyak digunakan untuk menolong manusia yang kesulitan hidup. Tangan saya semestinya sering digunakan untuk membantu orang lain untuk sampai pada kebaikan.
Tangan saya "seharusnya tangan bukan hanya tangan" yang sekadar tulang, daging dan kulit, serta jari-jemari yang hanya digunakan sekadar untuk makan dan minum memenuhi kebutuhan diri sendiri.Â
Tangan saya semestinya "tangan yang memang tangan tak cuma tangan", yang saya gunakan hanya untuk mengambil semua kebutuhan saya.Â
Tangan yang hanya saya gunakan untuk memakai jam tangan atau cincin di jari-jari saya.Â
Tangan yang cuma dibersihkan dari kotoran yang menempel, yang diberi pelembab agar tangan saya selalu wangi dan tampak tidak kering.
Seharusnya, tangan saya menjadi "tangan yang pasti tangan" untuk selalu memohon pertolongan kepada Tuhan.Â
Tangan yang seharusnya tidak hanya saya letakkan di belakang pinggang, yang tak tahu penderitaan lingkungan sosial.
Tangan yang selalu bertolak pinggang untuk menunjukkan kesombongan saya di hadapan orang lain.
Saya ingin menjadikan "tangan yang dapat lambai" untuk tangan saya. Tangan yang dermawan, yang mudah mengulurkan sedekah bagi si miskin.Â
Amat ingin tangan saya menjadi "tangan yang sampai salam" yang mengasihi penuh sayang dan kelembutan bagi sesama manusia.Â
Tangan yang digunakan untuk membangun perdamaian dan bukan tangan yang mengundang peperangan, kekerasan, dan penindasan atas orang lain.
Tangan saya adalah tangan anda, tangan kalian, dan tangan semua manusia, yang memang seharusnya menjadikan tangan kita "bukan hanya tangan" dan "tangan tak cuma tangan".Â
Siapa pun kita dan apa pun posisi kita, jangan sampai memiliki tangan seperti yang Sutardji katakan: "walau lengkap tangan buntung".Â
Terlihat lengkap tangan kita -kanan dan kiri- tapi hakikatnya "buntung", yang tak mampu menebarkan kebaikan di muka bumi. Bila "segala buntung" pada kedua tangan kita, maka jadilah tangan kita "segala tak tangan", bukan tangan yang sesungguhya tangan.
Tardji, dengan tanganmu yang menulis puisi "Tangan", kau telah memilik tangan yang "bukan hanya tangan". Sebab "Tangan"-mu telah menampar kami hingga kami sadar, bahwa selama ini tangan kami "buntung".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H