Tangan yang cuma dibersihkan dari kotoran yang menempel, yang diberi pelembab agar tangan saya selalu wangi dan tampak tidak kering.
Seharusnya, tangan saya menjadi "tangan yang pasti tangan" untuk selalu memohon pertolongan kepada Tuhan.Â
Tangan yang seharusnya tidak hanya saya letakkan di belakang pinggang, yang tak tahu penderitaan lingkungan sosial.
Tangan yang selalu bertolak pinggang untuk menunjukkan kesombongan saya di hadapan orang lain.
Saya ingin menjadikan "tangan yang dapat lambai" untuk tangan saya. Tangan yang dermawan, yang mudah mengulurkan sedekah bagi si miskin.Â
Amat ingin tangan saya menjadi "tangan yang sampai salam" yang mengasihi penuh sayang dan kelembutan bagi sesama manusia.Â
Tangan yang digunakan untuk membangun perdamaian dan bukan tangan yang mengundang peperangan, kekerasan, dan penindasan atas orang lain.
Tangan saya adalah tangan anda, tangan kalian, dan tangan semua manusia, yang memang seharusnya menjadikan tangan kita "bukan hanya tangan" dan "tangan tak cuma tangan".Â
Siapa pun kita dan apa pun posisi kita, jangan sampai memiliki tangan seperti yang Sutardji katakan: "walau lengkap tangan buntung".Â
Terlihat lengkap tangan kita -kanan dan kiri- tapi hakikatnya "buntung", yang tak mampu menebarkan kebaikan di muka bumi. Bila "segala buntung" pada kedua tangan kita, maka jadilah tangan kita "segala tak tangan", bukan tangan yang sesungguhya tangan.
Tardji, dengan tanganmu yang menulis puisi "Tangan", kau telah memilik tangan yang "bukan hanya tangan". Sebab "Tangan"-mu telah menampar kami hingga kami sadar, bahwa selama ini tangan kami "buntung".