Mohon tunggu...
Muarif Essage
Muarif Essage Mohon Tunggu... Guru - pembaca sastra

lahir di Tegal, 25 Mei 1969. Seorang guru, ia lebih sering membaca karya sastra dan membicarakannya dalam bentuk ulasan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Puisi sebagai Latar Penciptaan dan Teknik Pilihan Penyair

9 Februari 2022   00:31 Diperbarui: 9 Februari 2022   00:37 799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya memang tidak membaca seluruh puisi yang pernah ditulis Afrizal Malna. Saya hanya dapat membaca kumpulan puisinya yang berjudul, Abad yang Berlari, Yang Berdiam dalam Mikropon, Kalung dari Teman, Arsitektur Hujan, Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing, Berlin Proposal, dan yang terakhir saya membaca Buka Pintu Kiri.

Sedangkan buku puisi Afrizal Malna lainnya yang pernah terbit, seperti Pada Bantal Berasap dan Teman-temanku dari Atap Bahasa -atau mungkin ada buku puisinya yang lain, yang saya tidak tahu- sama sekali belum pernah membacanya. 

Tiga buku puisi Afrizal Malna pernah saya ulas untuk mengikuti lomba penulisan kritik sastra dan sebuah ulasan yang saya terbitkan dalam bentuk buku berjudul Puisi, Ideologi, dan Pembaca yang Terkalahkan (penerbit Kekata Publisher, 2018).

Dari kerja saya menganalisis puisi-puisi Afrizal Malna, setelah terbit buku Abad yang Berlari, puisi Afrizal sepenuhnya lahir dari gagasan perpuisian penyair. Artinya pula, puisi-puisi Afrizal hampir tidak pernah saya baca sebagai puisi yang "memberi makna kepada pembaca". 

Sebagai penyair, ia terlalu sibuk dengan berbagai gagasan yang mengubah dari gagasan umum perpuisian Indonesia menjadi puisi dengan gagasan yang khas Afrizal Malna. 

Lihatlah, bagaimana pada tahun 1990-an hingga 2000-an ia sering sekali "memamerkan" gagasannya di banyak media massa cetak. Saya yakin, pembaca yang pada tahun-tahun tersebut rajin membaca surat kabar yang terbit pada hari minggu akan menemukan esai-esai Afrizal yang amat mendominasi ruang baca publik sastra kita.

Kita dapat membaca dengan amat terang bagaimana Afrizal Malna memproklamasikan gagasan "Aku-massa" dalam kerja penulisan puisi yang ingin menggeser kedudukan "Aku-lirik" dalam perpuisian Indonesia. Kita pun dengan amat blak-blakan diperlihatkan Afrizal perihal "puisi sebagai representasi dunia benda-benda". 

Sebagai penyair, ia memang amat kuat dan terus-menerus mempersoalkan penggunaan bahasa dalam puisi dan mencontohkan puisi-puisinya yang memang "khas-milik-Afrizal Malna". 

Sesungguhnya, sebagai pembaca saya menemukan kejenuhan karena tidak adanya pergeseran gagasan baru selain berbagai gagasan yang muncul dari pikiran-pikiran Afrizal. Ia amat konsisten memegang ideologi kepenyairannya, bahwa menulis puisi merupakan kerja penciptaan "bahasa-baru" yang diyakini sebagai representasi atas realitas yang dihadapinya.

Pemikiran Afrizal Malna yang sebenarnya sudah lama pernah diungkapkan itu, kini seperti menemukan revitalisasi pemikiran melalui buku karyanya yang berjudul Buka Pintu Kiri (penerbit Diva Press, 2018). Ada beberapa catatan awal yang ingin saya berikan atas buku ini. 

Pertama, di bagian sampul buku tertulis "kumpulan puisi", sementara itu Afrizal sendiri menyebut buku ini sebagai "galeri puisi". Saya lebih menyetujui istilah "galeri puisi" karena dalam buku Buka Pintu Kiri ditemukan puisi yang ditulis dengan "bahasa dalam kata-kata" dan puisi dengan "bahasa dalam beragam media non-kata". 

Memang, buku ini lebih mirip sebuah galeri. Kedua, meski disebut buku "galeri puisi", buku ini sepenuhnya tidak memuat puisi. Di antara puisi-puisi itu, saya menemukan esai dan cerita. Entahlah. Mengapa Afrizal menyebut "galeri puisi" dan bukan "galeri puisi dan prosa". Barangkali esai atau cerita itu, sebagai media, memiliki kedudukan yang sama sebagai puisi sebagaimana halnya gambar, coretan dan garis-garis, foto, desain, atau permainan media lainnya.

Seperti yang telah saya sebutkan, buku  berjudul Buka Pintu Kiri merupakan revitalisasi pemikiran Afrizal Malna.  Setelah mencuatkan gagasan "Aku-massa" dan "puisi benda-benda", kini muncul kembali buah pemikirannya. Mari kita membaca pernyataan Afrizal yang dimuat dalam bagian awal buku tersebut (2018: 5-6).

.... Persinggungan saya dengan medium lain di luar puisi, ikut memberikan semacam kerja perbandingan yang pada gilirannya membuat saya kembali terpikat pada puisi. Bahasa sebagai medium utama dalam kerja penciptaan puisi, merupakan sebuah medan kerja yang sarat pertentangan. Medan ini seperti sebuah gravitasi yang terhubung langsung dengan peralatan yang saya gunakan dalam mengubah bahasa menjadi tulisan dalam tarik-menarik yang sering tidak terduga....

Sifat bahasa yang immaterial, merupakan medan utama di mana pengalaman-pengalaman fisikal maupun traumatik, membuat bahasa mulai dipertentangkan sebagai kerja representasi di mana seorang penyair tidak melulu bekerja "di dalam bahasa". Hal yang terjadi sebaliknya dengan prosa yang absolut harus bekerja di dalam bahasa. 

Pada tingkat tertentu, puisi melibatkan tubuh penyair dan membuka kemungkinan penciptaan puisi di mana bahasa ditempatkan sebagai medium eksternal: puisi sebagai penciptaan "sebelum atau setelah bahasa". 

Maka sifat kerja representasi puisi dalam medan bahasa, cenderung di luar kaidah-kaidah bahasa. Sistem bahasa bisa dihancurkan agar kata mendapatkan tubuh baru sebagai usaha tubuh untuk keluar dari reduksi-reduksi laten dari bahasa dalam mewakili realitas yang kita alami.

Amat jelas pesan dalam teks kepenyairan yang diungkapkan Afrizal Malna. Kejelasan itu dapat kita tangkap dari frase-frase "Persinggungan saya dengan medium lain di luar puisi", "kerja perbandingan", "seorang penyair tidak melulu bekerja di dalam bahasa", "sifat kerja representasi puisi dalam medan bahasa, cenderung di luara kaidah-kaidah bahasa", dan frase "Sistem bahasa bisa dihancurkan agar kata mendapatkan tubuh baru." Melalui kata-kata kunci tersebut, kita dapat mengatakan, bahwa Afrizal bersinggungan dengan medium lain di luar bahasa. 

Dari persinggungan itu, ia melakukan perbandingan antara bahasa dalam puisi dengan medium di luar bahasa. Hasil yang didapat Afrizal adalah bahasa dalam puisi dapat dihancurkan atau diganti medium lain. Tujuannya agar mendapatkan "kata-kata baru" yang keluar dari kaidah-kaidah bahasa pada umumnya. 

Jelasnya, buku Buka Pintu Kiri merupakan bukti kerja penciptaan puisi Afrizal yang keluar dari kaidah bahasa. Pemakaian gambar, foto, siluet, bagan, garis-garis arsir lurus dan lengkung, serta kubus dengan beragam bentuk sudut sebagai usaha menghancurkan kata-kata untuk menciptakan "kata-kata baru".  Inilah yang menjadi isu sastra yang diangkat Afrizal dalam buku ini.

Barangkali, di antara pembaca akan menyebut puisi Afrizal dalam buku Buka Pintu Kiri sebagai puisi konkret dan mengatakan model puisi yang diciptakan Afrizal bukan hal yang baru dalam perpuisian Indonesia. 

Saya amat yakin, Afrizal tahu perihal model puisi konkret yang pernah dicipta para penyair sebelumnya dan menjadi tren puisi kala itu. Lalu, mengapa ia tetap menghadirkan bentuk-bentuk konkret dalam puisi-puisinya? Tentu, karena alasan ideologis lah ia menyajikan puisinya. 

Dirinya bersinggungan dengan banyak realitas fisik. Dirinya pun dihadapkan pada kekecewaan pada bahasanya sendiri, bahasa Indonesia, yang menurutnya telah mengalami "reduksi-reduksi laten dari bahasa dalam mewakili realitas yang kita alami" (2018: 6).

Saya bisa memaklumi Afrizal Malna dalam memandang dan menempatkan bahasa Indonesia secara traumatis dan ekstrem karena dunia benda-benda yang telah menguasai kehdupan manusia, politik eufemisme, dan kebijakan semantik melalui penerapan prinsip perlawanan makna kata (antonim) dan persamaan makna kata (sinonim). 

Saya amat tertarik dengan cara Afrizal menggunakan pola antonim dan sinonim sebagai teknik dalam memandang dunia kata dalam puisi. Mari kita baca tulisan Afrizal yang dimuat dalam buku Buka Pintu Kiri dengan judul yang amat semiotis, yakni "A>L>A>R>M" (2018: 95). Di bawah judul itu tertulis "(runtuh di dalam)" sebagai penjelasan judul yang bersifat ironis.

A>L>A>R>M

(runtuh di dalam)

....

Dalam kamus Besar bahasa Indonesia kata alarm dijelaskan sebagai: 1. tanda bahaya berupa sinyal, bunyi, sinar dan sebagainya. 2. alat mekanik yang dirancang untuk memperingatkan akan adanya bahaya atau kerusakan. Bisakah kedua pengertian ini digunakan untuk menjelaskan kata "Jiwa". Jiwa adalah  1. tanda bahaya berupa sinyal, bunyi, sinar dan sebagainya. 2. alat mekanik yang dirancang untuk memperingatkan akan adanya bahaya atau kerusakan.

Melalui premis di atas, saya memilih kata "hukum" sebagai kerabat maupun sebagai yang melawan kata "jiwa". Bagaimana kalau kata "hukum" juga didefinisikan dengan menggunakan pengertian tentang alarm. "Hukum" adalah, 1. tanda bahaya berupa sinyal, bunyi, sinar dan sebagainya. 2. alat mekanik yang dirancang untuk memperingatkan akan adanya bahaya atau kerusakan.

....

Alur penalaran di atas digunakan sebagai strategi untuk menurunkan konsep karya.

Apa sesungguhnya yang bisa kita tangkap dari maksud Afrizal Malna dengan tulisannya itu? Sungguh menarik dan kita bisa menyimpulkan: (1) Afrizal menunjukan kepada kita, bahwa sebuah pengertian dari kata tertentu ternyata dapat diantonimkan dan disinonimkan pada kata lain dengan pengertian yang sama. 

Kita bisa merasakan dan menerima kata "hukum" dalam pengertian yang sama dengan kata "alarm"; dan (2) Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri, ternyata di dalamnya mengandung pengertian yang tidak konsisten dan mutlak dalam mendefinisikan kata. Kekeliruan inilah yang dilihat Afrizal sebagai keruntuhan konsep kata dalam kamus bahasa Indonesia sebagai "(runtuh di dalam)". 

Berdasarkan pemahaman ini kita dapat mengatakan, bahwa konsep penciptaan puisi-puisi Afrizal dalam pemakian diksinya menggunakan pola antonim dan sinonim seperti itu. Maka dari itu, muncul lah pasangan-pasangan diksi yang tampak aneh, misalnya pada kata "mikropon" dalam judul yang berbunyi "Yang Berdiam dalam Mikropon"; kata "arsitektur" dalam judul "Arsitektur Hujan"; kata "propsal" dalam judul "Berlin Proposal"; juga kata "dokumen" dalam judul "Mesin Penghancur Dokumen".

Gagasan-gagasan atau konsep penciptaan puisi yang khas Afrizal Malna memang bisa jadi menarik untuk diikuti. Ada banyak penjelasan yang telah diberikan Afrizal sendiri perihal apa dan bagaimana puisi-puisinya harus dibaca dan dipahami pembaca. Bagi kalangan pembaca yang menyenangi "puisi sebagai konsep  penciptaan" akan tertarik untuk membicarakan cara kerja Afrizal sebagai penyair.

Namun demikian, untuk kalangan pembaca yang cenderung melihat puisi sebagai karya yang mengandung nilai bagi kehidupan pembaca, cenderung pula mengalihkan objek pembacaannya kepada puisi yang memiliki makna yang dianggap lebih jelas bagi diri pembaca.

Buku yang berjudul Buka Pintu Kiri memang tidak bisa menghindarkan diri dari anggapan, bahwa "galeri puisi" yang disajikan Afrizal Malna hadir untuk memberikan latar penciptaan puisi sebagai sebuah teknik yang dipilih seorang penyair. Afrizal memang ingin mengukuhkan kembali puisi sebagai medan konseptual.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun