Mohon tunggu...
Muarif Essage
Muarif Essage Mohon Tunggu... Guru - pembaca sastra

lahir di Tegal, 25 Mei 1969. Seorang guru, ia lebih sering membaca karya sastra dan membicarakannya dalam bentuk ulasan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Puisi sebagai Latar Penciptaan dan Teknik Pilihan Penyair

9 Februari 2022   00:31 Diperbarui: 9 Februari 2022   00:37 799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Memang, buku ini lebih mirip sebuah galeri. Kedua, meski disebut buku "galeri puisi", buku ini sepenuhnya tidak memuat puisi. Di antara puisi-puisi itu, saya menemukan esai dan cerita. Entahlah. Mengapa Afrizal menyebut "galeri puisi" dan bukan "galeri puisi dan prosa". Barangkali esai atau cerita itu, sebagai media, memiliki kedudukan yang sama sebagai puisi sebagaimana halnya gambar, coretan dan garis-garis, foto, desain, atau permainan media lainnya.

Seperti yang telah saya sebutkan, buku  berjudul Buka Pintu Kiri merupakan revitalisasi pemikiran Afrizal Malna.  Setelah mencuatkan gagasan "Aku-massa" dan "puisi benda-benda", kini muncul kembali buah pemikirannya. Mari kita membaca pernyataan Afrizal yang dimuat dalam bagian awal buku tersebut (2018: 5-6).

.... Persinggungan saya dengan medium lain di luar puisi, ikut memberikan semacam kerja perbandingan yang pada gilirannya membuat saya kembali terpikat pada puisi. Bahasa sebagai medium utama dalam kerja penciptaan puisi, merupakan sebuah medan kerja yang sarat pertentangan. Medan ini seperti sebuah gravitasi yang terhubung langsung dengan peralatan yang saya gunakan dalam mengubah bahasa menjadi tulisan dalam tarik-menarik yang sering tidak terduga....

Sifat bahasa yang immaterial, merupakan medan utama di mana pengalaman-pengalaman fisikal maupun traumatik, membuat bahasa mulai dipertentangkan sebagai kerja representasi di mana seorang penyair tidak melulu bekerja "di dalam bahasa". Hal yang terjadi sebaliknya dengan prosa yang absolut harus bekerja di dalam bahasa. 

Pada tingkat tertentu, puisi melibatkan tubuh penyair dan membuka kemungkinan penciptaan puisi di mana bahasa ditempatkan sebagai medium eksternal: puisi sebagai penciptaan "sebelum atau setelah bahasa". 

Maka sifat kerja representasi puisi dalam medan bahasa, cenderung di luar kaidah-kaidah bahasa. Sistem bahasa bisa dihancurkan agar kata mendapatkan tubuh baru sebagai usaha tubuh untuk keluar dari reduksi-reduksi laten dari bahasa dalam mewakili realitas yang kita alami.

Amat jelas pesan dalam teks kepenyairan yang diungkapkan Afrizal Malna. Kejelasan itu dapat kita tangkap dari frase-frase "Persinggungan saya dengan medium lain di luar puisi", "kerja perbandingan", "seorang penyair tidak melulu bekerja di dalam bahasa", "sifat kerja representasi puisi dalam medan bahasa, cenderung di luara kaidah-kaidah bahasa", dan frase "Sistem bahasa bisa dihancurkan agar kata mendapatkan tubuh baru." Melalui kata-kata kunci tersebut, kita dapat mengatakan, bahwa Afrizal bersinggungan dengan medium lain di luar bahasa. 

Dari persinggungan itu, ia melakukan perbandingan antara bahasa dalam puisi dengan medium di luar bahasa. Hasil yang didapat Afrizal adalah bahasa dalam puisi dapat dihancurkan atau diganti medium lain. Tujuannya agar mendapatkan "kata-kata baru" yang keluar dari kaidah-kaidah bahasa pada umumnya. 

Jelasnya, buku Buka Pintu Kiri merupakan bukti kerja penciptaan puisi Afrizal yang keluar dari kaidah bahasa. Pemakaian gambar, foto, siluet, bagan, garis-garis arsir lurus dan lengkung, serta kubus dengan beragam bentuk sudut sebagai usaha menghancurkan kata-kata untuk menciptakan "kata-kata baru".  Inilah yang menjadi isu sastra yang diangkat Afrizal dalam buku ini.

Barangkali, di antara pembaca akan menyebut puisi Afrizal dalam buku Buka Pintu Kiri sebagai puisi konkret dan mengatakan model puisi yang diciptakan Afrizal bukan hal yang baru dalam perpuisian Indonesia. 

Saya amat yakin, Afrizal tahu perihal model puisi konkret yang pernah dicipta para penyair sebelumnya dan menjadi tren puisi kala itu. Lalu, mengapa ia tetap menghadirkan bentuk-bentuk konkret dalam puisi-puisinya? Tentu, karena alasan ideologis lah ia menyajikan puisinya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun