Kita bisa merasakan dan menerima kata "hukum" dalam pengertian yang sama dengan kata "alarm"; dan (2) Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri, ternyata di dalamnya mengandung pengertian yang tidak konsisten dan mutlak dalam mendefinisikan kata. Kekeliruan inilah yang dilihat Afrizal sebagai keruntuhan konsep kata dalam kamus bahasa Indonesia sebagai "(runtuh di dalam)".Â
Berdasarkan pemahaman ini kita dapat mengatakan, bahwa konsep penciptaan puisi-puisi Afrizal dalam pemakian diksinya menggunakan pola antonim dan sinonim seperti itu. Maka dari itu, muncul lah pasangan-pasangan diksi yang tampak aneh, misalnya pada kata "mikropon" dalam judul yang berbunyi "Yang Berdiam dalam Mikropon"; kata "arsitektur" dalam judul "Arsitektur Hujan"; kata "propsal" dalam judul "Berlin Proposal"; juga kata "dokumen" dalam judul "Mesin Penghancur Dokumen".
Gagasan-gagasan atau konsep penciptaan puisi yang khas Afrizal Malna memang bisa jadi menarik untuk diikuti. Ada banyak penjelasan yang telah diberikan Afrizal sendiri perihal apa dan bagaimana puisi-puisinya harus dibaca dan dipahami pembaca. Bagi kalangan pembaca yang menyenangi "puisi sebagai konsep  penciptaan" akan tertarik untuk membicarakan cara kerja Afrizal sebagai penyair.
Namun demikian, untuk kalangan pembaca yang cenderung melihat puisi sebagai karya yang mengandung nilai bagi kehidupan pembaca, cenderung pula mengalihkan objek pembacaannya kepada puisi yang memiliki makna yang dianggap lebih jelas bagi diri pembaca.
Buku yang berjudul Buka Pintu Kiri memang tidak bisa menghindarkan diri dari anggapan, bahwa "galeri puisi" yang disajikan Afrizal Malna hadir untuk memberikan latar penciptaan puisi sebagai sebuah teknik yang dipilih seorang penyair. Afrizal memang ingin mengukuhkan kembali puisi sebagai medan konseptual.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI