engkau gairah baru bagi hidup
Mengalirlah darah, mengalir
dalam urat nadi Cintaku
karenamu, Kekasihku!
Bila kita mau memahami puisi "Engkau Angin" sama seperti cara HB Jassin dan Abdul Hadi WM  memahami puisi "Padamu Jua", maka akan muncul pendapat dari pembaca yang  menyebutkan bahwa puisi "Engkau Angin" merupakan puisi religius. Hal ini didasarkan pada pemakaian diksi  " Engkau" dan "Kekasihku" yang dimaksud Sitok adalah Tuhan. Begitu pun dengan diksi "Cinta tak berjamah" dan " Cintaku" (yang ditulis dengan huruf "C" kapital) yang dapat saja oleh pembaca tertentu dipahami sebagai cinta kepada Tuhan. Bahkan sangat memungkinkan sampai pada kesimpulan untuk menyebut puisi "Engkau Angin" bernafaskan sufi karena bersandar pada isi bait ketiga dan keempat.
Begitu pun sebaliknya, bila kita mau memahaminya seperti persepsi Damiri Mahmud atas puisi "Padamu Jua", maka akan mungkn muncul kesimpulan bahwa puisi "Engkau Angin" sebagai puisi yang menggambarkan kegagalan cinta Sitok Srengenge atas sosok perempuan yang disebutnya sebagai "Kekasihku". Hal ini disandarkan pada penggunaan diksi "Cinta tak berjamah" atau pada baris yang berbunyi "tak berjarak namun teramat jauh/teramat dekat namun tak tersentuh".
Membandingkan puisi "Padamu Jua" dengan puisi "Engkau Angin" amatlah menarik dalam perspektif "siapa yang membaca puisi". HB Jassin dan Abdul Hadi WM meyakini pemahamannya sendiri. Demikian pula dengan Damiri Mahmud yang meyakini persepsinya sendiri. Hal yang sama akan terjadi pula dengan puisi "Engkau Angin". Mengapa hal yang demikian dapat terjadi? Dunia tafsir merupakan ruang demokratis bagi pembaca mana pun untuk menyuarakan interpretasinya. Tak ada pembaca yang paling berkuasa untuk mengatakan dirinya sebagai pemilik kebenaran atas tafsir, tak terkecuali Paus Sastra HB Jassin atau sastrawan yang cendekiawan, seperti Abdul Hadi WM, juga Damiri Mahmud.
Inilah yang paling saya sukai dalam ruang tafsir puisi. Saya dapat ambil bagian sekalipun saya hanya pembaca biasa. Sesungguhnya, "padamu jua" lah wahai para pembaca, puisi menemukan warna-warni pelangi yang tak pernah habis untuk digali. Terima kasih, wahai para penyair, "padamu jua" lah  kesemarakan dunia tercipta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H