Mohon tunggu...
Muarif Essage
Muarif Essage Mohon Tunggu... Guru - pembaca sastra

lahir di Tegal, 25 Mei 1969. Seorang guru, ia lebih sering membaca karya sastra dan membicarakannya dalam bentuk ulasan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Karena "Padamu Jua" lah, Warna-warni Pelangi dan Kesemarakan Dunia Tercipta

28 Januari 2022   10:06 Diperbarui: 28 Januari 2022   10:11 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

engkau gairah baru bagi hidup

Mengalirlah darah, mengalir

dalam urat nadi Cintaku

karenamu, Kekasihku!

Bila kita mau memahami puisi "Engkau Angin" sama seperti cara HB Jassin dan Abdul Hadi WM  memahami puisi "Padamu Jua", maka akan muncul pendapat dari pembaca yang  menyebutkan bahwa puisi "Engkau Angin" merupakan puisi religius. Hal ini didasarkan pada pemakaian diksi  " Engkau" dan "Kekasihku" yang dimaksud Sitok adalah Tuhan. Begitu pun dengan diksi "Cinta tak berjamah" dan " Cintaku" (yang ditulis dengan huruf "C" kapital) yang dapat saja oleh pembaca tertentu dipahami sebagai cinta kepada Tuhan. Bahkan sangat memungkinkan sampai pada kesimpulan untuk menyebut puisi "Engkau Angin" bernafaskan sufi karena bersandar pada isi bait ketiga dan keempat.

Begitu pun sebaliknya, bila kita mau memahaminya seperti persepsi Damiri Mahmud atas puisi "Padamu Jua", maka akan mungkn muncul kesimpulan bahwa puisi "Engkau Angin" sebagai puisi yang menggambarkan kegagalan cinta Sitok Srengenge atas sosok perempuan yang disebutnya sebagai "Kekasihku". Hal ini disandarkan pada penggunaan diksi "Cinta tak berjamah" atau pada baris yang berbunyi "tak berjarak namun teramat jauh/teramat dekat namun tak tersentuh".

Membandingkan puisi "Padamu Jua" dengan puisi "Engkau Angin" amatlah menarik dalam perspektif "siapa yang membaca puisi". HB Jassin dan Abdul Hadi WM meyakini pemahamannya sendiri. Demikian pula dengan Damiri Mahmud yang meyakini persepsinya sendiri. Hal yang sama akan terjadi pula dengan puisi "Engkau Angin". Mengapa hal yang demikian dapat terjadi? Dunia tafsir merupakan ruang demokratis bagi pembaca mana pun untuk menyuarakan interpretasinya. Tak ada pembaca yang paling berkuasa untuk mengatakan dirinya sebagai pemilik kebenaran atas tafsir, tak terkecuali Paus Sastra HB Jassin atau sastrawan yang cendekiawan, seperti Abdul Hadi WM, juga Damiri Mahmud.

Inilah yang paling saya sukai dalam ruang tafsir puisi. Saya dapat ambil bagian sekalipun saya hanya pembaca biasa. Sesungguhnya, "padamu jua" lah wahai para pembaca, puisi menemukan warna-warni pelangi yang tak pernah habis untuk digali. Terima kasih, wahai para penyair, "padamu jua" lah  kesemarakan dunia tercipta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun