Pada judul catatan ini senagaja saya meminjam judul puisi karya Raja Pujangga Baru, Amir Hamzah. Karena pada puisi "Padamu Jua" pernah muncul dua kutub penafsiran. Kritkus HB. Jassin menyebut puisi "Padamu Jua" sebagai religius. Demikian juga penyair Abdul Hadi WM yang pernah memasukan puisi Amir Hamzah itu sebagai puisi religius, mistis, dan tasauf.Â
Beradasrkan puisi ini lah, Abdul Hadi WM berani menyebut Amir Hamzah sebagai penyair sufi. Namun, berbeda dengan keduanya, sastrawan Damiri Mahmud justru menolak tafsir yang menyebutkan puisi "Padamu Jua" sebagai puisi religius.Â
Bagi Mahmud, puisi "Padamu Jua" sebagai puisi pelarian kegagalan cinta Amir Hamzah  dengan seorang perempuan yang berasal dari Solo bernama Ilik Sundari. (lebih lengkapnya dapat dibaca dalam artikel "Nyanyi Sunyi Amir Hamzah Digugat" yang ditulis S. Purwanto dalam Harian Merdeka, 8 Maret 1992).
Saya tidak hendak membicarakan kembali dua kutub penafsiran atas puisi karya Amir Hamzah. Menurut saya, kedua kutub penafsiran tersebut masing-masih sah sebagai buah tafsir yang tidak terlepas dari personalitas pemahaman. Baik HB Jassin, Abdul Hadi WM, maupun Damiri Mahmud bukanlah pemilik tafsir yang paling benar. Ketiga orang tersebut sedang "bermain-main" dalam kemajemukan tafsir puisi sebagai dunia imajinasi yang serba mungkin.
Catatan ini, dengan menyingung puisi "Padamu Jua", akan saya arahkan untuk kepentingan dalam persentuhan dua puisi, yakni antara "Padamu Jua" karya Amir Hamzah dengan puisi "Engkau Angin" yang ditulis Sitok Srengenge. Kedua puisi dari dua generasi penyair yang berbeda itu, menurut saya -tentu saja sejauh pemahaman saya-, memiliki kesamaan pengucapan. Sekaligus pula sangat mungkin terjadi memiliki kesamaan dalam hal perbedaan tafsir di tangan pembacanya. Sebelum saya memberikan catatan lebih jauh, ada baiknya kita membaca bersama dua puisi yang saya maksud.
PADAMU JUA
Karya Amir Hamzah
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai perlahan
Sabar, setia selalu
satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berpulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu -bukan giliranku
Mati hari -bukan kawanku
ENGKAU ANGIN
Karya Sitok Srengenge
Semula aku sangka kau gelombang
tapi setiap kali aku renangi
engkau menggasing bagai angin
Peluh membuncah dan ruh dan tubuh gelisah
adalah ibadah bagi Cinta tak berjamah
Di situ, kunikmatkan teduhmu
sesekali sebelum kau berhembus pergi
Aku buru suara seruling di jauhan
yang kutemu dedahan bergesekan
Aku termangu tertipu gerakmu
sehening batu di kedalaman rinduku
Kini aku tahu, tak perlu memburumu
Engkau hidup di dalam dan di luar diriku
- tak berjarak namun teramat jauh
teramat dekat namun tak tersentuh
Jika benar engkaulah angin itu
semauku akan kuhirup kamu
Dalam jantung yang berdegup
engkau gairah baru bagi hidup
Mengalirlah darah, mengalir
dalam urat nadi Cintaku
karenamu, Kekasihku!
Bila kita mau memahami puisi "Engkau Angin" sama seperti cara HB Jassin dan Abdul Hadi WM  memahami puisi "Padamu Jua", maka akan muncul pendapat dari pembaca yang  menyebutkan bahwa puisi "Engkau Angin" merupakan puisi religius. Hal ini didasarkan pada pemakaian diksi  " Engkau" dan "Kekasihku" yang dimaksud Sitok adalah Tuhan. Begitu pun dengan diksi "Cinta tak berjamah" dan " Cintaku" (yang ditulis dengan huruf "C" kapital) yang dapat saja oleh pembaca tertentu dipahami sebagai cinta kepada Tuhan. Bahkan sangat memungkinkan sampai pada kesimpulan untuk menyebut puisi "Engkau Angin" bernafaskan sufi karena bersandar pada isi bait ketiga dan keempat.
Begitu pun sebaliknya, bila kita mau memahaminya seperti persepsi Damiri Mahmud atas puisi "Padamu Jua", maka akan mungkn muncul kesimpulan bahwa puisi "Engkau Angin" sebagai puisi yang menggambarkan kegagalan cinta Sitok Srengenge atas sosok perempuan yang disebutnya sebagai "Kekasihku". Hal ini disandarkan pada penggunaan diksi "Cinta tak berjamah" atau pada baris yang berbunyi "tak berjarak namun teramat jauh/teramat dekat namun tak tersentuh".
Membandingkan puisi "Padamu Jua" dengan puisi "Engkau Angin" amatlah menarik dalam perspektif "siapa yang membaca puisi". HB Jassin dan Abdul Hadi WM meyakini pemahamannya sendiri. Demikian pula dengan Damiri Mahmud yang meyakini persepsinya sendiri. Hal yang sama akan terjadi pula dengan puisi "Engkau Angin". Mengapa hal yang demikian dapat terjadi? Dunia tafsir merupakan ruang demokratis bagi pembaca mana pun untuk menyuarakan interpretasinya. Tak ada pembaca yang paling berkuasa untuk mengatakan dirinya sebagai pemilik kebenaran atas tafsir, tak terkecuali Paus Sastra HB Jassin atau sastrawan yang cendekiawan, seperti Abdul Hadi WM, juga Damiri Mahmud.
Inilah yang paling saya sukai dalam ruang tafsir puisi. Saya dapat ambil bagian sekalipun saya hanya pembaca biasa. Sesungguhnya, "padamu jua" lah wahai para pembaca, puisi menemukan warna-warni pelangi yang tak pernah habis untuk digali. Terima kasih, wahai para penyair, "padamu jua" lah  kesemarakan dunia tercipta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H