Mohon tunggu...
Muarif Essage
Muarif Essage Mohon Tunggu... Guru - pembaca sastra

lahir di Tegal, 25 Mei 1969. Seorang guru, ia lebih sering membaca karya sastra dan membicarakannya dalam bentuk ulasan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Karena "Padamu Jua" lah, Warna-warni Pelangi dan Kesemarakan Dunia Tercipta

28 Januari 2022   10:06 Diperbarui: 28 Januari 2022   10:11 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada judul catatan ini senagaja saya meminjam judul puisi karya Raja Pujangga Baru, Amir Hamzah. Karena pada puisi "Padamu Jua" pernah muncul dua kutub penafsiran. Kritkus HB. Jassin menyebut puisi "Padamu Jua" sebagai religius. Demikian juga penyair Abdul Hadi WM yang pernah memasukan puisi Amir Hamzah itu sebagai puisi religius, mistis, dan tasauf. 

Beradasrkan puisi ini lah, Abdul Hadi WM berani menyebut Amir Hamzah sebagai penyair sufi. Namun, berbeda dengan keduanya, sastrawan Damiri Mahmud justru menolak tafsir yang menyebutkan puisi "Padamu Jua" sebagai puisi religius. 

Bagi Mahmud, puisi "Padamu Jua" sebagai puisi pelarian kegagalan cinta Amir Hamzah  dengan seorang perempuan yang berasal dari Solo bernama Ilik Sundari. (lebih lengkapnya dapat dibaca dalam artikel "Nyanyi Sunyi Amir Hamzah Digugat" yang ditulis S. Purwanto dalam Harian Merdeka, 8 Maret 1992).

Saya tidak hendak membicarakan kembali dua kutub penafsiran atas puisi karya Amir Hamzah. Menurut saya, kedua kutub penafsiran tersebut masing-masih sah sebagai buah tafsir yang tidak terlepas dari personalitas pemahaman. Baik HB Jassin, Abdul Hadi WM, maupun Damiri Mahmud bukanlah pemilik tafsir yang paling benar. Ketiga orang tersebut sedang "bermain-main" dalam kemajemukan tafsir puisi sebagai dunia imajinasi yang serba mungkin.

Catatan ini, dengan menyingung puisi "Padamu Jua", akan saya arahkan untuk kepentingan dalam persentuhan dua puisi, yakni antara "Padamu Jua" karya Amir Hamzah dengan puisi "Engkau Angin" yang ditulis Sitok Srengenge. Kedua puisi dari dua generasi penyair yang berbeda itu, menurut saya -tentu saja sejauh pemahaman saya-, memiliki kesamaan pengucapan. Sekaligus pula sangat mungkin terjadi memiliki kesamaan dalam hal perbedaan tafsir di tangan pembacanya. Sebelum saya memberikan catatan lebih jauh, ada baiknya kita membaca bersama dua puisi yang saya maksud.

PADAMU JUA

Karya Amir Hamzah

Habis kikis

Segala cintaku hilang terbang

Pulang kembali aku padamu

Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap

Pelita jendela di malam gelap

Melambai perlahan

Sabar, setia selalu

satu kekasihku

Aku manusia

Rindu rasa

Rindu rupa

Di mana engkau

Rupa tiada

Suara sayup

Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu

Engkau ganas

Mangsa aku dalam cakarmu

Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar

Sayang berpulang padamu jua

Engkau pelik menarik ingin

Serupa dara di balik tirai

Kasihmu sunyi

Menunggu seorang diri

Lalu waktu -bukan giliranku

Mati hari -bukan kawanku

ENGKAU ANGIN

Karya Sitok Srengenge

Semula aku sangka kau gelombang

tapi setiap kali aku renangi

engkau menggasing bagai angin

Peluh membuncah dan ruh dan tubuh gelisah

adalah ibadah bagi Cinta tak berjamah

Di situ, kunikmatkan teduhmu

sesekali sebelum kau berhembus pergi

Aku buru suara seruling di jauhan

yang kutemu dedahan bergesekan

Aku termangu tertipu gerakmu

sehening batu di kedalaman rinduku

Kini aku tahu, tak perlu memburumu

Engkau hidup di dalam dan di luar diriku

- tak berjarak namun teramat jauh

teramat dekat namun tak tersentuh

Jika benar engkaulah angin itu

semauku akan kuhirup kamu

Dalam jantung yang berdegup

engkau gairah baru bagi hidup

Mengalirlah darah, mengalir

dalam urat nadi Cintaku

karenamu, Kekasihku!

Bila kita mau memahami puisi "Engkau Angin" sama seperti cara HB Jassin dan Abdul Hadi WM  memahami puisi "Padamu Jua", maka akan muncul pendapat dari pembaca yang  menyebutkan bahwa puisi "Engkau Angin" merupakan puisi religius. Hal ini didasarkan pada pemakaian diksi  " Engkau" dan "Kekasihku" yang dimaksud Sitok adalah Tuhan. Begitu pun dengan diksi "Cinta tak berjamah" dan " Cintaku" (yang ditulis dengan huruf "C" kapital) yang dapat saja oleh pembaca tertentu dipahami sebagai cinta kepada Tuhan. Bahkan sangat memungkinkan sampai pada kesimpulan untuk menyebut puisi "Engkau Angin" bernafaskan sufi karena bersandar pada isi bait ketiga dan keempat.

Begitu pun sebaliknya, bila kita mau memahaminya seperti persepsi Damiri Mahmud atas puisi "Padamu Jua", maka akan mungkn muncul kesimpulan bahwa puisi "Engkau Angin" sebagai puisi yang menggambarkan kegagalan cinta Sitok Srengenge atas sosok perempuan yang disebutnya sebagai "Kekasihku". Hal ini disandarkan pada penggunaan diksi "Cinta tak berjamah" atau pada baris yang berbunyi "tak berjarak namun teramat jauh/teramat dekat namun tak tersentuh".

Membandingkan puisi "Padamu Jua" dengan puisi "Engkau Angin" amatlah menarik dalam perspektif "siapa yang membaca puisi". HB Jassin dan Abdul Hadi WM meyakini pemahamannya sendiri. Demikian pula dengan Damiri Mahmud yang meyakini persepsinya sendiri. Hal yang sama akan terjadi pula dengan puisi "Engkau Angin". Mengapa hal yang demikian dapat terjadi? Dunia tafsir merupakan ruang demokratis bagi pembaca mana pun untuk menyuarakan interpretasinya. Tak ada pembaca yang paling berkuasa untuk mengatakan dirinya sebagai pemilik kebenaran atas tafsir, tak terkecuali Paus Sastra HB Jassin atau sastrawan yang cendekiawan, seperti Abdul Hadi WM, juga Damiri Mahmud.

Inilah yang paling saya sukai dalam ruang tafsir puisi. Saya dapat ambil bagian sekalipun saya hanya pembaca biasa. Sesungguhnya, "padamu jua" lah wahai para pembaca, puisi menemukan warna-warni pelangi yang tak pernah habis untuk digali. Terima kasih, wahai para penyair, "padamu jua" lah  kesemarakan dunia tercipta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun