Mohon tunggu...
Muara Alatas Marbun
Muara Alatas Marbun Mohon Tunggu... Guru - Alumni U Pe' I

Seorang lulusan yang sudah memperoleh pekerjaan dengan cara yang layak, bukan dengan "orang dalem", apalagi dengan "daleman orang"

Selanjutnya

Tutup

Film

Kepungan Perbedaan Narasi tentang G30S/PKI

4 Oktober 2020   19:51 Diperbarui: 4 Oktober 2020   20:01 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: IMDb dan ericsasono.com

Munculnya narasi tandingan jangan dahulu dimusuhi, tapi dicoba narasinya lalu buat keputusan.

Sejarah kelam G30S/PKI di Indonesia tetap abadi dari awal kemunculannya pada tanggal 30 September hingga kini masih menyisakan berbagai rasa. Tentu ketakutan serta keraguan terhadap kiprah komunis di Indonesia dihembuskan dengan berbagai cara termasuk melalui berbagai media. Media film menjadi alat penting dan cepat guna membentuk perspektif publik mengenai lembar kehidupan yang belum tentu langsung dirasakan publik termasuk G30S/PKI.

Kita teringat wacana tiga tahun lalu yang pernah disebutkan presiden untuk membuat remake film yang pernah disutradarai oleh Arifin C. Noer tersebut. Penggiat HAM ASEAN, Daniel Awigra pun tak mempermasalahkan remake dari salah satu "alat propaganda" pemerintahan masa Orde Baru (Orba) tersebut (Tirto.id, 2017). 

Permasalahan justru terlempar kepada publik yang menjadi makin liar karena tidak ada yang bisa menerka duduk perkara suatu remake terhadap film yang menceritakan tentang kejadian kelam yang berujung pada pemberian gelar Pahlawan Revolusi pada para Jendral korban G30S/PKI.

PPFN atau Pusat Produksi Film Nasional menjadi tulang punggung dalam produksi film ini. Sekalipun Sutradara Arifin C. Noer sering disebutkan, nampaknya peran PPFN sebagai mesin operasional yang mendapat restu dari Soeharto mulai terkubur seiring kemunculan wacana pemutaran film G30S/PKI oleh beberapa pihak. Memang patut dipahami karena media dan opini netizen lebih didominasi oleh mempermasalahkan fakta yang disajikan dalam film ketimbang rangkaian teknis produksi film tersebut.

Propaganda yang sukses dibangun melalui film Pengkhianatan G30S/PKI tersebut adalah propaganda "Name Calling" (Sarmiki, 2015). Beberapa adegan terutama adegan awal dimana kelompok PKI menyerang jemaah muslim yang tengah salat dan dengan lancar mereka memperlihatkan adegan yang tentunya sangat tidak disukai oleh umat Islam tentu sangat mudah memantik kebencian hanya dengan melihatnya. 

PKI pun otomatis disebut sebagai "anti-Islam" dan didukung dengan fakta sejarah parsial dimana PKI memang berseteru dengan berbagai partai dan perkumpulan muslim sejak awal berdiri. Pada akhirnya "pahlawan" dalam film ini siapa? Tentunya Soeharto dan para kompatriotnya dari TNI AD yang menjadi pahlawan bagi masyarakat dalam film tersebut.

Namun apakah media hiburan yang berkaitan tentang G30S/PKI hanya "dikuasai" Orde Baru? Tentu tidak. Karena kejadian G30S/PKI yang begitu "kolosal" diceritakan dengan berbagai media mulai dari tulisan hingga gambar bergerak. Narasi yang terbangun ada yang pro-Orba ada yang kontra. Namun ada pula yang membicarakan kejadian ini dengan sudut pandang yang berbeda, yaitu pasca-kondusif G30S/PKI yang disajikan dalam bentuk dua video pilihan saya, yaitu film Jagal dan film Senyap.

Film Jagal (The Act of Killing) dan Film Senyap (The Look of Silence) berfokus pada satu hal dengan sudut pandang yang berbeda, yaitu kasus pembantaian orang-orang terduga PKI di kawasan Sumatera bagian Utara. 

Kedua film ini meraih berbagai pencapaian seperti penghargaan, bahan review di beberapa kancah festival film di berbagai belahan dunia meskipun pencapaian "Jagal" lebih banyak ketimbang "Senyap" (Dragojlovic, 2018). Dua film ini menjadi kontra-naratif akan penggambaran PKI berdasarkan kondisi yang terjadi pada saat dan pasca pemberontakan berlangsung.

Film Jagal mengisahkan seorang kakek tua yang ternyata memiliki pengalaman membunuh dan tertantang untuk membentuk film yang melibatkan pengalamannya tersebut dalam membunuh simpatisan PKI. 

Film Senyap mengisahkan seorang pria yang berkeliling mewawancarai "para pembunuh" kakaknya yang diduga tergabung PKI. Dua film ini cukup menggugah bagi saya karena menampilkan dua hal, yaitu kejujuran perilaku para "pemeran" dalam pengambilan gambar serta perasaan yang disampaikan dua pemeran utama pada masing-masing film.

Jika membandingkan ketiga film tersebut, mereka sesungguhnya tidak saling menabrakan narasi tapi menempati sudut pandang kejadian yang berbeda meskipun punya hubungan historis yang serupa. 

Film Pengkhianatan G30S/PKI lebih membicarakan major history dari kejadian pemberontakan tersebut, berbeda dengan film Jagal dan film Senyap yang mengambil sudut pandang pasca pemberontakan, dan itupun berlokasi jauh dari Pulau Jawa. Jadi cukup aneh bila menganggap film Jagal dan film Senyap merupakan kontra narasi dari film produksi PPFN tersebut, justru mereka berdiri pada narasi dan referensi kejadian yang berbeda namun berdampingan.

Tragedi Pemberontakan G30S/PKI menjadi masa kelam bangsa Indonesia dan patut diceritakan pada generasi selanjutnya. Hal yang tidak boleh dilakukan adalah melakukan monopoli narasi dalam menceritakan kejadian tersebut. Karena cerita dari masa lalu sesungguhnya merupakan bagian dari ilmu yang memiliki luas yang abstrak sehingga sudah maklum bila banyak orang membentuk narasi yang berbeda, selama berasal dari fakta sejarah yang tersaji.

Sumber :

Tirto

Skripsi dari UIN Syarif Hidayatullah

Dragojlovic, A. (2018). The Indonesian Genocide of  1965 (eds.: McGregor, K., et al). London: Palgrave Macmillan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun