Munculnya narasi tandingan jangan dahulu dimusuhi, tapi dicoba narasinya lalu buat keputusan.
Sejarah kelam G30S/PKI di Indonesia tetap abadi dari awal kemunculannya pada tanggal 30 September hingga kini masih menyisakan berbagai rasa. Tentu ketakutan serta keraguan terhadap kiprah komunis di Indonesia dihembuskan dengan berbagai cara termasuk melalui berbagai media. Media film menjadi alat penting dan cepat guna membentuk perspektif publik mengenai lembar kehidupan yang belum tentu langsung dirasakan publik termasuk G30S/PKI.
Kita teringat wacana tiga tahun lalu yang pernah disebutkan presiden untuk membuat remake film yang pernah disutradarai oleh Arifin C. Noer tersebut. Penggiat HAM ASEAN, Daniel Awigra pun tak mempermasalahkan remake dari salah satu "alat propaganda" pemerintahan masa Orde Baru (Orba) tersebut (Tirto.id, 2017).Â
Permasalahan justru terlempar kepada publik yang menjadi makin liar karena tidak ada yang bisa menerka duduk perkara suatu remake terhadap film yang menceritakan tentang kejadian kelam yang berujung pada pemberian gelar Pahlawan Revolusi pada para Jendral korban G30S/PKI.
PPFN atau Pusat Produksi Film Nasional menjadi tulang punggung dalam produksi film ini. Sekalipun Sutradara Arifin C. Noer sering disebutkan, nampaknya peran PPFN sebagai mesin operasional yang mendapat restu dari Soeharto mulai terkubur seiring kemunculan wacana pemutaran film G30S/PKI oleh beberapa pihak. Memang patut dipahami karena media dan opini netizen lebih didominasi oleh mempermasalahkan fakta yang disajikan dalam film ketimbang rangkaian teknis produksi film tersebut.
Propaganda yang sukses dibangun melalui film Pengkhianatan G30S/PKI tersebut adalah propaganda "Name Calling" (Sarmiki, 2015). Beberapa adegan terutama adegan awal dimana kelompok PKI menyerang jemaah muslim yang tengah salat dan dengan lancar mereka memperlihatkan adegan yang tentunya sangat tidak disukai oleh umat Islam tentu sangat mudah memantik kebencian hanya dengan melihatnya.Â
PKI pun otomatis disebut sebagai "anti-Islam" dan didukung dengan fakta sejarah parsial dimana PKI memang berseteru dengan berbagai partai dan perkumpulan muslim sejak awal berdiri. Pada akhirnya "pahlawan" dalam film ini siapa? Tentunya Soeharto dan para kompatriotnya dari TNI AD yang menjadi pahlawan bagi masyarakat dalam film tersebut.
Namun apakah media hiburan yang berkaitan tentang G30S/PKI hanya "dikuasai" Orde Baru? Tentu tidak. Karena kejadian G30S/PKI yang begitu "kolosal" diceritakan dengan berbagai media mulai dari tulisan hingga gambar bergerak. Narasi yang terbangun ada yang pro-Orba ada yang kontra. Namun ada pula yang membicarakan kejadian ini dengan sudut pandang yang berbeda, yaitu pasca-kondusif G30S/PKI yang disajikan dalam bentuk dua video pilihan saya, yaitu film Jagal dan film Senyap.
Film Jagal (The Act of Killing) dan Film Senyap (The Look of Silence) berfokus pada satu hal dengan sudut pandang yang berbeda, yaitu kasus pembantaian orang-orang terduga PKI di kawasan Sumatera bagian Utara.Â
Kedua film ini meraih berbagai pencapaian seperti penghargaan, bahan review di beberapa kancah festival film di berbagai belahan dunia meskipun pencapaian "Jagal" lebih banyak ketimbang "Senyap" (Dragojlovic, 2018). Dua film ini menjadi kontra-naratif akan penggambaran PKI berdasarkan kondisi yang terjadi pada saat dan pasca pemberontakan berlangsung.