Film Jagal mengisahkan seorang kakek tua yang ternyata memiliki pengalaman membunuh dan tertantang untuk membentuk film yang melibatkan pengalamannya tersebut dalam membunuh simpatisan PKI.Â
Film Senyap mengisahkan seorang pria yang berkeliling mewawancarai "para pembunuh" kakaknya yang diduga tergabung PKI. Dua film ini cukup menggugah bagi saya karena menampilkan dua hal, yaitu kejujuran perilaku para "pemeran" dalam pengambilan gambar serta perasaan yang disampaikan dua pemeran utama pada masing-masing film.
Jika membandingkan ketiga film tersebut, mereka sesungguhnya tidak saling menabrakan narasi tapi menempati sudut pandang kejadian yang berbeda meskipun punya hubungan historis yang serupa.Â
Film Pengkhianatan G30S/PKI lebih membicarakan major history dari kejadian pemberontakan tersebut, berbeda dengan film Jagal dan film Senyap yang mengambil sudut pandang pasca pemberontakan, dan itupun berlokasi jauh dari Pulau Jawa. Jadi cukup aneh bila menganggap film Jagal dan film Senyap merupakan kontra narasi dari film produksi PPFN tersebut, justru mereka berdiri pada narasi dan referensi kejadian yang berbeda namun berdampingan.
Tragedi Pemberontakan G30S/PKI menjadi masa kelam bangsa Indonesia dan patut diceritakan pada generasi selanjutnya. Hal yang tidak boleh dilakukan adalah melakukan monopoli narasi dalam menceritakan kejadian tersebut. Karena cerita dari masa lalu sesungguhnya merupakan bagian dari ilmu yang memiliki luas yang abstrak sehingga sudah maklum bila banyak orang membentuk narasi yang berbeda, selama berasal dari fakta sejarah yang tersaji.
Sumber :
Skripsi dari UIN Syarif Hidayatullah
Dragojlovic, A. (2018). The Indonesian Genocide of  1965 (eds.: McGregor, K., et al). London: Palgrave Macmillan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H