Mohon tunggu...
Muara Alatas Marbun
Muara Alatas Marbun Mohon Tunggu... Guru - Alumni U Pe' I

Seorang lulusan yang sudah memperoleh pekerjaan dengan cara yang layak, bukan dengan "orang dalem", apalagi dengan "daleman orang"

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Karena Literasi Bukan Hanya tentang Membaca

23 April 2020   15:08 Diperbarui: 23 April 2020   20:07 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasarkan literatur pilihan, tingkat membaca dan evaluasi pembiasaan yang cukup memprihatinkan, seakan menegaskan bahwa tingkat literasi kita memang pantas berada di peringkat kedua dari bawah.

Selamat Hari Buku Internasional!

Saya rasa percuma saja bila saya mengetik panjang-panjang tulisan yang ditujukan untuk merayakan hari yang bermakna ini karena beberapa data mengenai ranking negara Indonesia dalam hal minat baca memang selalu buruk. 

Tahun 2012 lalu, UNESCO merilis data bahwa presentasi minat baca orang Indonesia hanya 0,001% dan Central Connecticut State University merilis hasil penelitian tentang minat membaca di sebagian negara-negara di dunia pada tahun 2016 dan memperlihatkan ranking minat membaca Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara (Baskoro, 2017).  

Negara kita cuma berada di atas Botswana, sebuah negara yang oleh beberapa pembaca tidak diketahui asal benua dan ibukotanya sebelum melakukan googling.

Jika kita melihat kondisi pendidikan dan sosial-budaya masyarakat Indonesia (terutama di Pulau Jawa) sesungguhnya kita tidak sejeblok itu kalau urusan buku dan membaca. 

Kemendikbud gencar melaksanakan GLS (Gerakan Literasi Sekolah), banyak perpustakaan yang diperindah bangunannya dan diperbaharui koleksinya, dan akses e-book makin mudah. 

Ternyata yang jadi permasalahan bukanlah fasilitas, melainkan peran SDM yang menjadi patokan UNESCO dan universitas tersebut untuk mengukur tingkat minat membaca. 

Jadi, apa yang salah dari upaya membaca yang dilakukan di negara kita baik itu di satuan pendidikan maupun masyarakat?

Menurut Patiung (2016), membaca adalah "...suatu cara untuk mendapatkan informasi dari sesuatu yang tertulis". Dari kutipan sederhana tersebut dapat dibayangkan bahwa kegiatan membaca tidak melulu tentang buku fisik namun bisa hingga pada kegiatan untuk membaca sesuatu yang seudah berbentuk digital, semisal e-book.

Jika e-book dirasa masih 'berat' untuk dibaca maka cukup membaca artikel atau opini yang diminati atau sedang populer. Itu tidak jadi masalah sebab sudah sesuai dengan pengertian membaca yang sudah saya kutip. 

Masalah yang ingin diungkit adalah, meskipun akses menuju sumber bacaan sudah 'dipermudah' tetap saja meragukan bahwa minat baca akan meningkat.

Kita ambil contoh dari penelitian terhadap mahasiswa di salah satu kampus negeri di Makasar, Sulawesi Selatan dimana peneliti mencari tahu mengenai tingkat membaca mahasiswa. 

Dari 110 mahasiswa yang menjadi subjek penelitian, sekitar 6 % dari 110 mahasiswa sering ke Perpustakaan dan 16 % dari 110 mahasiswa sering melaksanakan kegiatan membaca sebagai aktivitas pasca kuliah (Julia dkk., 2020). 

Sekitar 22% mahasiswa di kampus menghabiskan waktu luang dengan sesuatu yang berhubungan dengan buku dan melakukan kegiatan membaca.

Tingkat membaca di masyarakat menurut Saepudin (2015) bisa dikatakan sudah cukup dilaksanakan dengan baik dan hal tersebut dilihat dari indikator fasilitas baca yang cukup, pemanfaatan sumber bacaan yang semestinya, dan kebiasaan membaca yang biasa dilakukan. 

Fasilitas membaca menjadi kunci dalam meningkatkan budaya membaca masyarakat karena dapat dijadikan sebagai tujuan tempat untuk mendapatkan kenyamanan dalam membaca, baik itu untuk mencari literatur maupun kondisi yang terjaga agar kegiatan membaca menjadi lebih fokus. 

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka pemerintah punya peluang untuk mengembangkan fasilitas baca yang ada sesuai dengan keinginan masyarakat serta efektif dapat dijangkau baik dari segi akses dan waktu ketersediaan fasilitas.

Pembiasaan Budaya Membaca menjadi salah satu solusi massal dan struktural yang dapat dijalankan oleh satuan pendidikan. 

Dari pelaksanaan program di SDN Tengaran, Semarang setiap teknis kegiatan memang terselenggara dengan baik meskipun ada kendala-kendala seperti kurang tertibnya guru dalam mengikuti jadwal pembiasaan hingga minimnya peran orang tua dalam meneruskan teknis ini dalam lingkup keluarga (Sulistyo, 2017). 

Ternyata dari solusi tersebut tetap memiliki kekurangan dan sedihnya hal tersebut muncul dari insan yang seharusnya bertindak sebagai pembimbing dan motivator dalam mewujudkan budaya membaca di tingkat sekolah.

Tampaknya minat membaca kita justru terhambat oleh manusia selaku makhluk Tuhan yang bisa baca. Ukuran prioritas kita dalam membagi waktu dan uang untuk membaca bisa dikatakan berbeda-beda pada tiap individu. 

Jika statistik yang dilakukan oleh dua instansi tersebut mencerminkan betapa buruknya kita dalam menjalankan budaya membaca sementara fasilitas sekiranya mencukupi, maka itu seharusnya cukup untuk menggambarkan betapa kita mempersulit diri untuk meluangkan waktu demi menambah ilmu lewat membaca.

Sumber :

Jurnal dari UIN Alauddin | Jurnal dari Universitas Padjadjaran | Jurnal dari Universitas Kristen Satya Wacana | Jurnal dari Universitas Hasanudin | Okezone.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun