Berdasarkan literatur pilihan, tingkat membaca dan evaluasi pembiasaan yang cukup memprihatinkan, seakan menegaskan bahwa tingkat literasi kita memang pantas berada di peringkat kedua dari bawah.
Selamat Hari Buku Internasional!
Saya rasa percuma saja bila saya mengetik panjang-panjang tulisan yang ditujukan untuk merayakan hari yang bermakna ini karena beberapa data mengenai ranking negara Indonesia dalam hal minat baca memang selalu buruk.Â
Tahun 2012 lalu, UNESCO merilis data bahwa presentasi minat baca orang Indonesia hanya 0,001% dan Central Connecticut State University merilis hasil penelitian tentang minat membaca di sebagian negara-negara di dunia pada tahun 2016 dan memperlihatkan ranking minat membaca Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara (Baskoro, 2017). Â
Negara kita cuma berada di atas Botswana, sebuah negara yang oleh beberapa pembaca tidak diketahui asal benua dan ibukotanya sebelum melakukan googling.
Jika kita melihat kondisi pendidikan dan sosial-budaya masyarakat Indonesia (terutama di Pulau Jawa) sesungguhnya kita tidak sejeblok itu kalau urusan buku dan membaca.Â
Kemendikbud gencar melaksanakan GLS (Gerakan Literasi Sekolah), banyak perpustakaan yang diperindah bangunannya dan diperbaharui koleksinya, dan akses e-book makin mudah.Â
Ternyata yang jadi permasalahan bukanlah fasilitas, melainkan peran SDM yang menjadi patokan UNESCO dan universitas tersebut untuk mengukur tingkat minat membaca.Â
Jadi, apa yang salah dari upaya membaca yang dilakukan di negara kita baik itu di satuan pendidikan maupun masyarakat?
Menurut Patiung (2016), membaca adalah "...suatu cara untuk mendapatkan informasi dari sesuatu yang tertulis". Dari kutipan sederhana tersebut dapat dibayangkan bahwa kegiatan membaca tidak melulu tentang buku fisik namun bisa hingga pada kegiatan untuk membaca sesuatu yang seudah berbentuk digital, semisal e-book.