Mohon tunggu...
Muara Alatas Marbun
Muara Alatas Marbun Mohon Tunggu... Guru - Alumni U Pe' I

Seorang lulusan yang sudah memperoleh pekerjaan dengan cara yang layak, bukan dengan "orang dalem", apalagi dengan "daleman orang"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Dewan, Aku Membela Kertas (1)

18 April 2019   08:55 Diperbarui: 18 April 2019   09:11 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.donisetyawan.com

20 April 1920.

Duduk dalam lamunan, melihat jam saku dari kantung jas sebelah kanan, dan menatap sekitar ruang rapat utama Volksraad yang masih hanya berisi beberapa orang. Itulah keseharianku sebagai anggota Volksraad yang diharapkan mampu menyampaikan suara rakyat Hindia Belanda pada sang penguasa, Gubernur Jendral van Limburg. Harusnya itu yang aku lakukan selama ini, namun tentunya yang harus kulakukan pertama adalah menyampaikan pemuas lapar yang bergejolak keras dalam ruang-ruang lambungku. Aku lapar.

Sebelum daku duuduk dalam singgasana bersama puluhan "orang pilihan" lainnya, diriku hanyalah seorang pegawai swasta di sebuah pelabuhan di Tanjung Priok. Lulus dari HBS aku punya mimpi untuk bersekolah di sekolah hukum di Belanda sana, namun nasib malah membawaku menjadi kepala administrasi salah satu saudagar di sana. Aku tak menuntut diriku untuk beraksi maksimal jika mendapat pekerjaan. Aku hanya melaksanakan yang semestinya. Apapun tekanan yang ada, aku kerjakan begitu saja seakan tekanan itu bagian dari pekerjaan. Hasilnya bagi orang lain selalu bagus, tapi aku sendiri yang mengerjakannya tak menyadari itu. Tahu-tahu, diriku melenggang untuk ditawarkan duduk di kursi Volksraad, posisi yang penting meskipun tak punya kuasa penting.

            "Sebentar lagi, meneer van Limburg akan datang", seru seorang pegawai gedung yang bersuara sangat keras.

            "Hey", ucap seorang Belanda, tapi kupikir dia hanyalah Belanda campuran karena tinggi badannya yang hampir sama dengan diriku, seorang Indo-Tionghoa campuran.

            "Kau orang baru disini ?"

            "Ya, baru dipindahkan dari pelabuhan"

Orang tersebut mencoba menahan tawanya agar tak lepas ditengah penantian gedung dan orang-orang menyambut orang nomor satu di kepulauan ini. Dia mungkin berpikir "orang ini memang lucu, atau tengah melakukan satir seperti mahasiswa di STOVIA yang membentuk Boedi Oetomo itu". Ah, aku hanya mengatakan sebenarnya. Itu saja.

Rapat berlangsung hikmat ditengah kehadiran sang gubernur jendral yang terlihat hangat memandang "masterpiece"-nya yang ia ciptakan dua tahun yang lalu. Sang Chairman --yang juga seorang Belanda- membuka rapat dengan membacakan hasil pencapaian pemerintah kepada para wakil rakyat yang berkumpul. Kontennya selalu sama tiap rapat, yaitu memuji segala yang bagus dari kerja pemerintah kolonial. Jikalau di masyarakat telah beredar desas desus jelek mengenai pencapaian tersebut, hal tersebut tentu dihindari bahkan langsung di cap bohong.

"Tak sedap kali aku dengar ocehan pemerintah ini" ucap pelan seorang pribumi yang kelihatannya "tak Jawa" ini. Dia melanjutkan "Dia pikir kasus pembantaian di Leles Garut itu bukan pencapaiannya ?", sembari mengambil nafas dan menahan kekesalan. Dia menoleh untuk menggali tanggapanku.

            Aku tersenyum "Kita punya pemikiran yang sama". Dia tampak puas.

            "Aku hanya melakukannya saja. Tidak ada spesial dan tiba-tiba saja semua yang terlibat terlihat puas dengan ketidaksadaranku".

Chairman mengakhiri 20 menit penuh hegemoni bangsa Belanda di dalam Volksraad ditengah kehadiran orang Jawa, Betawi, Sunda, Batak, Minang, Maluku, beserta orang Asia lainnya. Pertunjukkan yang menjemukan namun membuat senang diriku yang menyaksikannya. "Ini sangat hebat dan penuh ironi jika pemerintah membuat panggung penghinaan ini dengan nama 'dewan rakyat' " kataku dalam hati.

Selanjutnya rapat dilanjutkan pada pembahasan kinerja pemerintah yang tengah berjalan, salah satunya menimbang keputusan pemerintahan mengenai daftar surat kabar yang boleh beredar dan dilarang. Tentunya kupikir seperti surat kabar yang "boleh" adalah mereka yang "pro-Belanda", dan tentu sebaliknya. 

Namun ada pemandangan yang menarik dari secarik kertas edaran yang kuterima ini. Semua yang didaftarkan pada kolom "dilarang" banyak diisi surat kabar berbahasa Indonesia yang kontras dengan surat kabar pada kolom "boleh" yang tidak ada surat kabar berbahasa Indonesia, bahkan diantara daftar tersebut ada surat kabar yang juga getol membahas Pembantaian Leles yang tentunya menyudutkan militer Hindia Belanda. Ini sudah jelas.

            "Mereka mencoba meredam budaya kita", ucap orang "tak jawa" itu.

            "Apa maksudmu" Tanyaku heran.

            "Kau tak menyadarinya", nada ucapnya cepat, "Kau lihat ini, aku kenal surat kabar yang ini", sembari menunjukkan padaku beserta kertas surat kabar yang ia maksud.

            "Dia benci dengan van Limburg, makanya dia pernah menulis habis-habisan tentang Pembantaian Leles. Jika kau baca halaman ini..." sembari menelunjukkan nomor halaman yang ia maksud.

            "Kau akan melihat bahwa surat kabar ini sebaiknya dibungkam kalau pemerintah ingin hegemoni mereka tak tergusur", dia menyandarkan diri kembali, "jika kau tahu maksudku".

            "Tuan,"

            "Ya ?"

            "Proteslah, aku tak masalah dengan surat kabar"

            Ekspresi marahnya banting setir, dari arah kertas edaran menjadi kearahku.

Petugas keamanan rapat masuk ke area tempat duduk untuk menenangkan beberapa anggota yang berdiri dan menggoyangkan kertas yang mereka pegang ke arah pimpinan rapat, dan tentunya Limburg. Protes itu memaksa rapat diskor dan beberapa anggota pribumi digiring ke luar rapat. Dan mereka nantinya belum kembali seharian itu.

Memang ada desas-desus dalam Volksraad jika ada anggota yang protes keras maka mereka akan diproses posisinya. Baik itu diskors dari rapat, pembekuan keanggotaan hingga mutasi ke luar jawa. Tapi banyak anggota pribumi disana menyebutnya pengasingan, saking menakutkannya pandangan mereka terhadap perlakuan pemerintah kepada mereka.

Aku aman karena saat itu aku duduk manis saja sambil menatap orang-orang yang marah itu. Tersisa 8 orang Indonesia, seorang tionghoa, dua orang arab --salah satunya campur dengan darah eropa- , bersama 22 orang Belanda, total 33 orang dari 45 orang yang hadir pada saat itu. Skors masih berlanjut dan aku mengasingkan diri dengan minum kopi di luar gedung Volksraad itu.

Emperan warung dengan bangku panjang, dan aku memesan kopi dan penganan lokal disana. Dua orang disana terdapat disana duduk dengan alasan yang sama: bersantai dan bergosip. Hingga akhirnya ada seorang pribumi lusuh mendekat ke sampingku. Dari dialah aku mulai berubah....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun