Aku tersenyum "Kita punya pemikiran yang sama". Dia tampak puas.
      "Aku hanya melakukannya saja. Tidak ada spesial dan tiba-tiba saja semua yang terlibat terlihat puas dengan ketidaksadaranku".
Chairman mengakhiri 20 menit penuh hegemoni bangsa Belanda di dalam Volksraad ditengah kehadiran orang Jawa, Betawi, Sunda, Batak, Minang, Maluku, beserta orang Asia lainnya. Pertunjukkan yang menjemukan namun membuat senang diriku yang menyaksikannya. "Ini sangat hebat dan penuh ironi jika pemerintah membuat panggung penghinaan ini dengan nama 'dewan rakyat' " kataku dalam hati.
Selanjutnya rapat dilanjutkan pada pembahasan kinerja pemerintah yang tengah berjalan, salah satunya menimbang keputusan pemerintahan mengenai daftar surat kabar yang boleh beredar dan dilarang. Tentunya kupikir seperti surat kabar yang "boleh" adalah mereka yang "pro-Belanda", dan tentu sebaliknya.Â
Namun ada pemandangan yang menarik dari secarik kertas edaran yang kuterima ini. Semua yang didaftarkan pada kolom "dilarang" banyak diisi surat kabar berbahasa Indonesia yang kontras dengan surat kabar pada kolom "boleh" yang tidak ada surat kabar berbahasa Indonesia, bahkan diantara daftar tersebut ada surat kabar yang juga getol membahas Pembantaian Leles yang tentunya menyudutkan militer Hindia Belanda. Ini sudah jelas.
      "Mereka mencoba meredam budaya kita", ucap orang "tak jawa" itu.
      "Apa maksudmu" Tanyaku heran.
      "Kau tak menyadarinya", nada ucapnya cepat, "Kau lihat ini, aku kenal surat kabar yang ini", sembari menunjukkan padaku beserta kertas surat kabar yang ia maksud.
      "Dia benci dengan van Limburg, makanya dia pernah menulis habis-habisan tentang Pembantaian Leles. Jika kau baca halaman ini..." sembari menelunjukkan nomor halaman yang ia maksud.
      "Kau akan melihat bahwa surat kabar ini sebaiknya dibungkam kalau pemerintah ingin hegemoni mereka tak tergusur", dia menyandarkan diri kembali, "jika kau tahu maksudku".
      "Tuan,"