20 April 1920.
Duduk dalam lamunan, melihat jam saku dari kantung jas sebelah kanan, dan menatap sekitar ruang rapat utama Volksraad yang masih hanya berisi beberapa orang. Itulah keseharianku sebagai anggota Volksraad yang diharapkan mampu menyampaikan suara rakyat Hindia Belanda pada sang penguasa, Gubernur Jendral van Limburg. Harusnya itu yang aku lakukan selama ini, namun tentunya yang harus kulakukan pertama adalah menyampaikan pemuas lapar yang bergejolak keras dalam ruang-ruang lambungku. Aku lapar.
Sebelum daku duuduk dalam singgasana bersama puluhan "orang pilihan" lainnya, diriku hanyalah seorang pegawai swasta di sebuah pelabuhan di Tanjung Priok. Lulus dari HBS aku punya mimpi untuk bersekolah di sekolah hukum di Belanda sana, namun nasib malah membawaku menjadi kepala administrasi salah satu saudagar di sana. Aku tak menuntut diriku untuk beraksi maksimal jika mendapat pekerjaan. Aku hanya melaksanakan yang semestinya. Apapun tekanan yang ada, aku kerjakan begitu saja seakan tekanan itu bagian dari pekerjaan. Hasilnya bagi orang lain selalu bagus, tapi aku sendiri yang mengerjakannya tak menyadari itu. Tahu-tahu, diriku melenggang untuk ditawarkan duduk di kursi Volksraad, posisi yang penting meskipun tak punya kuasa penting.
      "Sebentar lagi, meneer van Limburg akan datang", seru seorang pegawai gedung yang bersuara sangat keras.
      "Hey", ucap seorang Belanda, tapi kupikir dia hanyalah Belanda campuran karena tinggi badannya yang hampir sama dengan diriku, seorang Indo-Tionghoa campuran.
      "Kau orang baru disini ?"
      "Ya, baru dipindahkan dari pelabuhan"
Orang tersebut mencoba menahan tawanya agar tak lepas ditengah penantian gedung dan orang-orang menyambut orang nomor satu di kepulauan ini. Dia mungkin berpikir "orang ini memang lucu, atau tengah melakukan satir seperti mahasiswa di STOVIA yang membentuk Boedi Oetomo itu". Ah, aku hanya mengatakan sebenarnya. Itu saja.
Rapat berlangsung hikmat ditengah kehadiran sang gubernur jendral yang terlihat hangat memandang "masterpiece"-nya yang ia ciptakan dua tahun yang lalu. Sang Chairman --yang juga seorang Belanda- membuka rapat dengan membacakan hasil pencapaian pemerintah kepada para wakil rakyat yang berkumpul. Kontennya selalu sama tiap rapat, yaitu memuji segala yang bagus dari kerja pemerintah kolonial. Jikalau di masyarakat telah beredar desas desus jelek mengenai pencapaian tersebut, hal tersebut tentu dihindari bahkan langsung di cap bohong.
"Tak sedap kali aku dengar ocehan pemerintah ini" ucap pelan seorang pribumi yang kelihatannya "tak Jawa" ini. Dia melanjutkan "Dia pikir kasus pembantaian di Leles Garut itu bukan pencapaiannya ?", sembari mengambil nafas dan menahan kekesalan. Dia menoleh untuk menggali tanggapanku.